tirto.id - Menonton The Darkest Minds seperti melihat Anne Hathaway diburu-buru Meryl Streep dalam film The Devil Wears Prada (2006). Si karyawan baru cengap-cengap untuk paham ritme kerja padat merayap sang bos, dalam waktu sesingkat-singkatnya. Meski tunggang langgang, Hathaway akhirnya bisa mengimbangi si bos, bahkan dapat impresi bagus.
Sutradara Jennifer Yuh Nelson juga kelihatan amat keteteran dalam menggarap The Darkest Minds. Durasi 1 jam 45 menit sepertinya tak cukup buat Nelson mengemas apik film yang diadaptasi dari novel karya Alexandra Bracken. Sejak adegan pertama, ia bersama penulis naskah Chad Hodge sudah terlihat terburu-buru. Mereka kepayahan menjelaskan semesta distopia yang dibangun Bracken.
The Darkest Minds akhirnya tampil melempem—nyaris konyol. Dua menit pertama dipakai Nelson untuk menjelaskan Idiopathic Adolescent Acute Neurodegeneration alias IAAN—sebuah virus dadakan yang bikin 90 persen anak-anak meninggal. Mereka yang tak ikut semaput malah sekonyong-konyong punya kekuatan super. Alih-alih khawatir dengan jumlah kematian anak-anak (yang artinya kemandulan regenerasi), pemerintah Amerika Serikat—latar cerita ini—justru menangkapi semua bocah untuk dimasukkan kemah militer, yang lebih mirip penjara Nazi.
Di sana, mereka dipisahkan berdasarkan warna. Jika apartheid memisahkan manusia berdasarkan warna kulit, maka semesta The Darkest Minds memisahkan bocah-bocah ini dengan warna mata. Idenya muncul karena setiap warna memiliki kekuatan super yang beda: hijau berarti superintelijen, biru menunjukkan telekinesis, emas adalah kekuatan elektris, merah berarti kekuatan memanipulasi api, dan oranye kekuatan mengontrol pikiran. Dua warna terakhir dianggap paling bahaya. Sehingga hukuman buat mereka adalah eutanasia—kalau tak dibunuh secara keji.
Bayangkan informasi sebanyak itu cuma dijelaskan dalam potongan-potongan adegan dua menit. Mungkin Anda tetap bisa mengerti, karena mau tak mau harus mengonsumsinya. Sayang, adegan per adegan dibuat terlalu mepet. Rasanya susah membuang kesan buru-buru saat semua informasi itu dinarasikan Ruby Daly (Amandla Stenberg), si tokoh utama.
Masih dalam menit-menit pertama, kita lalu diseret untuk mengenal latar belakang hidup Ruby. Sekali lagi, adegan per adegan dibikin sekilat mungkin. Intinya agar kita paham bahwa Ruby menghapus dirinya sendiri dari memori orangtuanya, sehingga ia harus rela ditangkap militer tanpa ada yang mengkhawatirkan.
Di pengasingan, Ruby nyaris mati karena didiagnosis sebagai seorang oranye. Tapi, ia berhasil memanipulasi pikiran dokter yang memeriksanya sehingga dipalsukan menjadi seorang hijau. Selama enam tahun berikutnya, Ruby berhasil hidup dengan identitas gadungan. Sampai akhirnya semua itu terbongkar, dan ia nyaris mati lagi. Tapi, kali ini seorang pemberontak berkedok dokter bohongan (Mandy Moore) membantu pelarian Ruby. Tenang, ini bukan spoiler besar. Film baru berjalan beberapa menit saja. Nelson masih membangun konteks buat kita: hadirat penonton sekalian. Petualangan The Darkest Minds baru benar-benar dimulai ketika Ruby melarikan diri.
Durasi Nelson membangun konteks yang terlampau lama dan berlarut-larut bukan berarti bikin penonton mudah paham. Justru adegan-adegan singkat tersebut menciptakan pertanyaan-pertanyaan baru yang bikin dahi mengernyit.
Misalnya, dalam adegan Ruby menghapus ingatan orangtuanya: apakah Ruby tak punya akta lahir? Atau bingkai-bingkai foto yang berisikan dirinya di rumah itu? Apa orang tua Ruby tak heran kalau di rumah mereka ada sepetak kamar yang berisikan barang-barang bocah 10 tahun?
Atau:
Kenapa tentara yang mengawasi Ruby saat bekerja, saat di klinik, dan penjaga gerbang kemah militer adalah orang yang sama? Prajurit ini (diperankan bengis oleh Wade William) juga akan jadi tokoh utama yang berusaha menangkap Ruby dan bocah-bocah pelarian lainnya di ujung film. Bukankah militer mengenal jenjang pangkat dan pembagian tugas?
Dan pertanyaan-pertanyaan di atas bukan satu-satunya kekonyolan yang perlu dipertanyakan. Masih ada wig Lady Jane (Gwendoline Christie), adegan serangan di mal, dan manusia-manusia naga penyembur api dari mulutnya yang akan bikin kita nyengir pahit.
Terlalu sibuk menjelaskan konteks distopia bikin Nelson juga keteteran merakit pembangunan karakter yang kokoh. Sejumlah tokoh akhirnya cuma sekadar lewat. Tak ada yang bikin kita simpati sehingga cerita film ini jadi lebih kuat. Mandy Moore yang cuma tampil seuprit, misalnya. Ia akan jadi salah satu pertanyaan terbesar yang tak akan terjawab sampai film tamat.
Informasi tentang dirinya cuma disuguhkan sekelumit, kehadirannya begitu tiba-tiba, lalu dialog yang keluar dari mulutnya cuma sepotong-potong. Bahkan jika semua elemen itu digabung, kita masih tak tahu kenapa Ruby percaya belaka padanya, dan mau diajak kabur.
Selain karakter Mandy Moore, ada karakter ibu, ayah, Pak Presiden, dan Lady Jane yang juga tampil sesaat dan tak dirakit kuat. Sudah begitu, Nelson dan Hodge lebih memilih teknik tell and show dalam menuturkan The Darkest of Minds. Karena kita akan lebih banyak diberitahu ketimbang diperlihatkan. Konon, teknik itu lebih gampang bikin penonton bosan ketimbang sebaliknya.
Padahal, The Darkest Minds punya premis-premis menarik. Misalnya cerita tentang segregasi berdasarkan warna, atau cerita tentang kemandulan dan kematian anak-anak secara masal. Children ofMen (2006) karya sutradara Alfonso Cuarón pernah memvisualisasikan tema itu menjadi sebuah distopia mengerikan yang enak ditonton. Logika-logika yang muncul pasca-bencana dramatis itu juga tak sembarangan, sehingga efek setelah menonton yang ditimbulkan lebih terasa.
The Darkest Minds punya potensi cerita ke sana. Belum lagi, para pemain diisi oleh nama-nama besar yang harusnya bisa bikin konten film ini lebih dalam. Tapi, sayang Nelson yang dikenal karena Kung Fu Panda 2 dan Kung Fu Panda 3, tak jeli melihat peluang ke sana. Ia cuma fokus pada empat karakter utamanya, yang memang akhirnya dimainkan dengan sangat baik oleh para aktornya. Chemistry Amandla Stenberg, Harris Dickinson, Skylan Brooks, dan Miya Cech memang jadi matahari tunggal dalam semesta The Darkest Minds. Keintiman di antara mereka jadi satu-satunya pencuri pertunjukan.
Editor: Windu Jusuf