tirto.id - Industri otomotif sedang memulai perubahan besarnya. Mobil-mobil listrik mulai digemari, sementara mobil-mobil berbahan bakar fosil secara perlahan mulai ditinggalkan. Evolusinya mungkin belum terlalu terasa saat ini, akan tetapi dalam beberapa tahun ke depan diperkirakan terjadi perubahan besar-besaran.
Tesla adalah salah satu yang mempelopori peralihan industri ini. Perusahaan besutan Elon Musk ini bahkan telah menjadi bintang baru di Wall Street. Kinerjanya moncer sehingga mengerek Elon Musk menjadi orang terkaya di dunia. Selama 2020, Tesla memproduksi mencapai 509.737 unit, dengan jumlah yang dikirim mencapai 499.550. Tesla memperkirakan pengiriman kendaraannya bisa tumbuh rata-rata 50% per tahun.
Mobil listrik memang bukan satu-satunya bisnis, akan tetapi ia memberikan peran besar dalam pertumbuhan kinerja Tesla. Selama kuartal terakhir tahun 2020, harga saham naik hingga 3 kali lipat sehingga membawa kapitalisasi pasar di atas USD 800 miliar. Tesla naik ke peringkat ke-5 dalam daftar “Most Valuable Company”.
Selain Tesla, sejumlah produsen otomotif besar juga sudah merilis dan mengembangkan mobil listrik. Ini karena mereka harus menangkap peluang mobil listrik di masa depan.
Data dari International Energy Agency (IEA) menunjukkan tren kenaikan penjualan penjualan mobil listrik. Jika pada tahun 2010, penjualan mobil listrik secara global hanya 17.000 unit, angkanya melonjak menjadi 2,1 juta unit pada 2019 sehingga total mobil listrik yang mengaspal di jalanan mencapai 7,2 juta unit. Sayangnya, 90% penjualan masih terkonsentrasi di Cina, Eropa, dan Amerika Serikat.
Riset JP Morgan memperkirakan ada lonjakan penjualan mobil listrik baik electric vehicles (EVs) dan hybrid electric vehicles (HEVs), sehingga pada 2025 mobil listrik diproyeksikan akan menguasai 30% dari seluruh penjualan kendaraan. Ini merupakan sebuah loncatan dibandingkan tahun 2016 yang hanya 1 juta unit atau 1% dari total penjualan gloal.
Permintaan Meningkat, Harga Merayap Naik
Kenaikan penjualan mobil listrik berperan besar dalam peningkatan permintaan nikel dunia dan akan mengubah pula komposisi konsumsi nikel. Saat ini, konsumsi terbesar nikel adalah untuk bahan stainless steel atau baja tahan karat. Menurut riset DBS bertajuk “Nickel and Battery, A Paradigm Shift”, sebanyak 70% permintaan nikel dunia pada tahun 2019 adalah untuk bahan baku stainless steel. Namun, porsinya diperkirakan menciut menjadi hanya 52 persen pada 2030.
Di sisi lain, permintaan nikel untuk produk baterai diperkirakan meningkat pesat, dengan pertumbuhan compound annual growth rate (CAGR) 32% selama tahun 2019-2030, menurut riset DBS. Hal itu mendorong konsumsi nikel untuk baterai yang bisa diisi ulang (rechargeable battery) naik jadi 24% per tahun menjadi 1,27 juta ton pada 2030. Kontribusi konsumsi rechargeable batteries terhadap total konsumsi nikel pun meningkat dari 5% pada 2019 menjadi 30% pada 2030.
Bandingkan permintaan nikel untuk stainless steel yang diperkirakan hanya tumbuh 2,25 per tahun hingga 2030, sejalan dengan pertumbuhan produksinya sebesar 2,7%.
Pertumbuhan produksi stainless steel yang kuat didorong oleh ekspansi kapasitas yang kuat di Cina dan Indonesia. Namun turunnya konsumsi stainles dengan CAGR 2,7% pada 2019-2030 (dari sebelumnya 6% pada 2010-2019) mengindikasikan potensi pertumbuhannya mulai terbatas jika dibandingkan dengan booming mobil listrik.
Secara total, DBS memperkirakan permintaan nikel akan tumbuh dengan CAGR 4,15% dan 5% pada 2025 dan 2030.
Dari sisi produksi, DBS memperkirakan produksi nikel murni global tumbuh dengan CAGR 3,7% (yoy) pada rentang 2019-2025, terutama didukung oleh ekspansi proyek nikel di Indonesia. Sementara produksi nikel mentah diperkirakan tumbuh dengan CAGR 3% pada rentang 2019-2025. Khusus untuk tahun 2020, sehubungan dengan pandemi, produksi untuk tambang nikel akan turun 1,6% dan nikel pemurnian turun 9% secara yoy.
Pada tahun 2019, produksi tambang nikel global tercatat sebesar 2,593 juta ton. Tahun 2020, diperkirakan turun menjadi 2,359 juta ton. Indonesia yang merupakan penghasil utama nikel juga menghadapi penurunan, dari 917,5 ribu ton pada 2019, menjadi 693 ribu ton pada 2020.
Untuk nikel murni, tahun 2019 diperkirakan produksi globalnya mencapai 2,410 juta ton. Namun, tahun 2020 turun menjadi 2,372 juta ton. Khusus untuk Indonesia, produksi nikel murni tahun 2019 mencapai 360,8 ribu ton, naik menjadi 545 ribu ton pada 2020, berdasarkan riset DBS.
Menurut WBMS yang dikutip dalam riset DBS, ekspor nikel mentah dan konsentrat Indonesia anjlok dari 12,3 juta ton pada semester I-2019 menjadi nol karena kebijakan larangan ekspor Indonesia. DBS memperkirakan suplai tambang nikel Indonesia akan tumbuh dengan CAGR 4,9%. Kontribusi pada suplai global akan meningkat menjadi 39% pada 2025, dibandingkan 35% pada 2019.
Produksi & Larangan Ekspor Indonesia
Permintaan meningkat, sementara suplai tergantung pada beberapa negara produsen besar, salah satunya Indonesia. Sebagai pemilik cadangan sekaligus produsen nikel terbesar dunia, Indonesia memang memainkan peran kunci. Pemerintah Indonesia menyadari itu.
Dengan potensi yang sedemikian besar, pemerintah berniat untuk mengambil potensi ekonomi sebesar-besarnya. Salah satunya dengan mengeluarkan larangan ekspor. Dengan aturan ini, harapannya nikel yang keluar dari Indonesia tidak sekadar barang mentah, tetapi sudah dalam bentuk yang memiliki nilai tambah. Pengolahan dari mineral mentah menjadi nikel yang sudah murni melalui pengolahan dalam negeri, diharapkan bisa menciptakan keuntungan ekonomi bagi negara.
Larangan ekspor mineral mentah tertuang dalam Pasal 103 ayat (1) UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Penerapannya sempat beberapa kali tertunda karena belum siapnya smelter dalam negeri. Hingga akhirnya keluar Permen ESDM No. 11 Tahun 2019 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara, tenggat waktu pelarangan ekspor bijih berlaku mulai 1 Januari 2020. Namun, Kepala BKPM Bahlil Lahadalia yang baru dilantik ketika itu, mempercepatnya dua bulan. Kapal yang sudah bertolak untuk ekspor diminta untuk pulang, dan nikelnya diserap oleh perusahaan tambang lokal.
Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, larangan ekspor dipercepat karena terdapat lonjakan volume ekspor nikel hingga 100-130 kapal per bulan dari biasanya hanya 30 kapal per bulan. Setelah berlaku, ekspor nikel mentah Indonesia nyaris turun ke angka nol.
Sayangnya, aturan ini menuai protes dari negara-negara Eropa. Uni Eropa bahkan melayangkan gugatan ke WTO. Pada Januari 2021, gugatan ini bahkan sudah memasuki tahap pembentukan panel World Trade Organization (WTO). Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengungkapkan kekecewaannya karena tidak adanya penyelesaian setelah konsultasi bilateral, yang biasanya dilakukan untuk penyelesaian sengketa tanpa melalui sidang resmi WTO. Dengan pembentukan panel, masalah ini lanjut ke tahap ajudikasi yang memungkinkan WTO menjatuhkan putusan mengikat bagi Indonesia dan Uni Eropa.
Dalam gugatannya, Komisi Eropa yang mengoordinasikan kebijakan perdagangan untuk 27 negara Uni Eropa menyatakan, larangan ekspor nikel mentah dan kewajiban pengolahan dalam negeri sebagai kebijakan ilegal dan tidak adil untuk produsen baja Uni Eropa.
Menurut Komisi Eropa, seperti dilansir Reuters, produksi industri stainless steel Uni Eropa turun ke titik terendahnya dalam 10 tahun, sementara Indonesia menjadi produsen terbesar kedua setelah Cina, berkat kebijakan tersebut. Kebijakan Indonesia dianggap sangat memengaruhi industri baja Uni Eropa yang bernilai 20 miliar euro, dengan jumlah tenaga kerja langsung 30.000 orang.
Produk nikel mentah Indonesia sendiri sebenarnya tidak pernah dikirim ke Uni Eropa. Sebelum larangan berlaku, ekspor nikel mentah Indonesia pada tahun 2019 menurut data BPS mencapai 1,097 miliar dolar AS. Dari jumlah itu, sebesar 1,051 miliar dolar meluncur ke Cina. Sisanya ke Jepang dan Ukraina. Tahun 2020, nilai ekspor sangat kecil hanya 116 ribu dolar, yang menuju ke Australia.
Namun, Uni Eropa beralasan kebijakan Indonesia membuat harga nikel di pasar internasional bergejolak. Sebagai negara produsen nikel terbesar dunia, kebijakan itu dianggap mengganggu tatanan harga di pasar global.
Seperti dikutip dari Al Jazeera Asosiasi Baja Eropa atau Eurofer mengatakan kebijakan Indonesia bisa mendorong harga nikel. Pada saat yang sama, Indonesia bisa memberikan harga yang murah kepada produsen stainless steel lokal. Padahal, nikel merupakan komponen terpenting dalam produksi stainless steel.
“Karena nikel mencakup sebagian besar biaya [produksi] stainless steel, (kebijakan larangan ekspor) membuat eksportir stainless steel Indonesia memiliki keuntungan daya saing yang signifikan dan tidak adil pada produk ini--dan Indonesia tiba-tiba membangun kapasitas yang besar--untuk masuk ke pasar ekspor,” ujar juru bicara Euroger, Charles de Lusignan, seperti dilansir Al Jazeera.
Pada larangan ekspor kali ini, Indonesia memang sudah lebih siap dibandingkan tahun 2014-206 lalu, karena sudah memiliki lebih banyak smelter untuk pengolahan nikel mentah. Dengan demikian, seluruh produksi bisa terserap oleh smelter yang ada. Menurut laporan DBS, produksi nikel olahan melonjak hingga 7 kali lipat menjadi 361 ribu ton pada 2019, dibandingkan 47.000 ton pada 2015. Sementara produksi stainless steel Indonesia juga melonjak menjadi 2,3 juta ton.
Harga nikel mentah cenderung turun mulai Desember 2019 atau setelah Indonesia memberlakukan larangan ekspor. Menurut Business Insider, harga nikel yang pada Desember 2018 hanya USD 10.870 per MT melonjak menjadi USD 17.295. Namun, setelah itu harga cenderung turun dan mencapai titik terendahnya pada Maret 2020 di USD 11.235. Harga secara perlahan naik dan pada Desember 2020 sudah menembus lagi USD 17.342. Meski demikian, harga itu jauh dibandingkan pada April 2007 atau saat booming harga komoditas. Saat itu, harga nikel sempat mencapai USD 50.765.
Indonesia untuk sementara waktu bisa mengamankan pasokan nikelnya, selama belum ada keputusan dari WTO. Dengan cadangan nikel yang sedemikian besar, Indonesia berprospek cerah untuk industri-industri yang mengandalkan nikel, termasuk baterai untuk mobil listrik. Namun, investasi untuk mobil ramah lingkungan tidak melulu soal pasokan nikel. Ada faktor-faktor lain yang dipertimbangkan oleh para produsen, termasuk Tesla. Terbaru, Elon Musk menawarkan kontrak jangka panjang dan bernilai fantastis bagi perusahaan yang mampu menambang nikel dengan syarat, “peka pada aspek lingkungan". Tentu saja bukan hal yang mudah untuk dipenuhi oleh perusahaan-perusahaan nikel Indonesia yang masih banyak terbelit masalah lingkungan.
Editor: Windu Jusuf