Menuju konten utama
Larangan Ekspor Ore Nikel

Baru 4 Hari, Kepala BKPM Bahlil Lahadalia Bikin Pening Pengusaha

Baru sepekan bekerja, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia langsung memicu polemik lantaran mengeluarkan pengumuman untuk mempercepat pelarangan ekspor bijih nikel dua bulan lebih cepat.

Baru 4 Hari, Kepala BKPM Bahlil Lahadalia Bikin Pening Pengusaha
Mantan Ketua HIPMI Bahlil Lahadilia tiba di Kompleks Istana Kepresidenan di Jakarta, Selasa (22/10/2019). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/foc.

tirto.id - Belum satu pekan bekerja, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia melontarkan pengumuman yang cukup mengagetkan, terutama bagi pelaku usaha sektor tambang bijih nikel.

“Iya mulai malam ini (28 Oktober 2019) mereka pulang (memberi tahu kapal untuk tidak ekspor bijih nikel), dan kemudian besok sudah tidak ada lagi pengiriman,” ucap Bahlil kepada wartawan di kantornya, Senin (28/10/2019).

Bahlil—yang kala itu baru saja bertemu dengan perwakilan dari Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) dan Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I)—mengaku penghentian ekspor juga disepakati pelaku usaha.

Dalam pertemuan itu, Bahlil juga menjanjikan bahwa bijih nikel yang gagal diekspor itu akan dibeli atau diserap pabrik pengolahan tambang atau smelter di dalam negeri dengan harga internasional.

Apa yang dilakukan Bahlil sebenarnya adalah hal yang positif. Pasalnya, pelarangan ekspor nikel beberapa kali tertunda. Seharusnya, pelarangan bijih mulai berlaku pada 2014, namun ditunda menjadi 2017, dan ditunda lagi menjadi 2020.

Namun, Kabinet Indonesia Maju agaknya sudah tidak sabar. Kesepakatan antara pemerintah dengan pengusaha terkait pelarangan ekspor bijih nikel kadar rendah mulai 1 Januari 2020 pada akhirnya ‘dimajukan’ dua bulan lebih cepat.

Keputusan tersebut jelas menjadi preseden buruk bagi pemerintah, terutama dalam menjaga konsistensi penerapan kebijakan. Apalagi, Kementerian ESDM sudah mengeluarkan Permen ESDM No. 11/2019 tentang pengusahaan pertambangan mineral dan batubara, yang menjadi dasar tenggat waktu pelarangan ekspor bijih pada 1 Januari 2020.

Pengusaha Pening

Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin mengaku pening dengan keputusan pemerintah mempercepat larangan ekspor bijih nikel itu. Padahal, pengusaha tambang saat ini tengah giat mengejar produksi.

“Kami saat ini sedang menambah investasi guna mengejar produksi, mulai dari alat tambang, tongkang, sampai dengan kapal pengangkut,” kata Meidy dalam keterangan tertulis, Selasa (29/10/2019).

Menurut Meidy, penambahan belanja modal itu bertujuan agar para pengusaha bisa memiliki modal untuk menghadapi rencana pelarangan ekspor bijih nikel kadar rendah pada 1 Januari 2020, sesuai dengan permintaan pemerintah.

Dia menegaskan bahwa APNI mendukung penuh pelarangan ekspor bijih pada 1 Januari 2020 nanti. Oleh karena itu, ia menyayangkan jika BKPM tidak mengundang APNI sebelum mengeluarkan pengumuman tersebut.

“Kami sekarang ini sedang bersiap-siap hadapi setop ekspor dengan produksi sampai 31 Desember 2019 saja. Ketika ini dihentikan, investasi yang kami lakukan ini siapa mau ganti kerugiannya,” tuturnya.

Apabila larangan ekspor dimulai Oktober ini, lanjut Meidy, APNI meminta sejumlah insentif dan syarat lainnya dari pemerintah. Mulai dari harga jual dalam negeri yang harus mengikuti Harga Patokan Mineral (HPM), sanksi tegas bagi pemilik smelter yang tidak mengikuti HPM dan lain sebagainya.

Namun sehari setelah pengumuman dari Bahlil, pelarangan ekspor bijih nikel pada 1 Januari 2020 ternyata masih berlaku. Hal itu disampaikan langsung oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.

Luhut berdalih bahwa larangan ekspor yang diucapkan Bahlil hanya bersifat sementara, yakni sekitar 1 pekan. Alasannya, terdapat lonjakan volume ekspor nikel hingga 100-130 per bulan dari biasanya sebanyak 30 kapal per bulan.

Kemudian, alasan lainnya adalah adanya dugaan bijih nikel yang diekspor memiliki kadar di atas 1,7 persen, di mana bijih nikel yang boleh diekspor seharusnya maksimal memiliki kadar 1,7 persen.

"Sejak itu [penerbitan aturan penghentian ekspor 1 Januari 2020], lonjakannya itu luar biasa. Itu merusak dan merugikan negara karena jelas-jelas kamu manipulasi dari kadarnya, kuota hingga tak punya smelter," ucap Luhut di kantornya Selasa (30/10/2019).

Pemerintah Harus Konsisten

Kendati ada kejelasan kapan tenggat waktu pelarangan ekspor bijih nikel, toh keputusan pemerintah yang plintat-plintut tersebut dipertanyakan, terutama terkait dengan koordinasi internal pemerintah.

Akademisi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal menilai pelarangan ekspor memang harus dilakukan agar sejalan dengan kebijakan hilirisasi dan nilai tambah yang selama ini didengung-dengungkan pemerintah.

Hanya saja, lanjut Faisal, cara yang diambil jangan sampai menimbulkan ketidakpastian. Hal itu dikarenakan pemerintah perlu menjaga konsistensi kebijakan dan regulasi yang diterbitkan guna menjaga kepercayaan pengusaha dan investor.

“Investor kalau masuk ada rencana bisnis. Kalau keputusan strategis tiba-tiba berubah dan memengaruhi mereka, ini bisa jadi constraint. Ini ketidakpastian. Kalau sudah ditulis berlaku sekian ya jalankan,” ucap Faisal di Jakarta, Rabu (30/10/2019).

Faisal mengingatkan pemerintah bahwa untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi hingga 6 persen, Indonesia membutuhkan nilai investasi yang masuk sekitar Rp35 triliun sampai 2024. Untuk itu, pemerintah wajib menjaga konsistensi dalam menerapkan kebijakannya agar bisa menarik di mata investor.

Baca juga artikel terkait EKSPOR NIKEL atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Ringkang Gumiwang