tirto.id - Rika (35 tahun) dan dua anaknya harus menjalani isolasi mandiri setelah suaminya terjangkit COVID-19 dan harus masuk kamar isolasi. Sadar berstatus kontak erat, ia segera menghubungi puskesmas di tempat tinggalnya untuk menjalani tes PCR. Puskesmas ia pilih lantaran gratis, berbeda jika menjalani tes mandiri yang memaksanya merogoh kocek setidaknya Rp900 ribu.
Namun, untuk mendapat fasilitas itu pun tak mudah. “Harus bikin janji dulu waktu itu, enggak langsung,” kata dia kepada reporter Tirto, Selasa (24/11/2020). Janji harus dibuat karena puskesmas hanya membuka layanan tes swab gratis selama satu hari dalam sepekan, itu pun hanya satu jam.
Dia baru mendapatkan jadwal tes setelah 7 hari berselang. Selama menunggu ia harus menjalani isolasi mandiri.
Singkat cerita, hasil tesnya keluar, ia dan anaknya dinyatakan negatif.
Aldi (27 tahun) pun sempat berstatus kontak erat setelah istrinya dinyatakan positif COVID-19. Berbeda dengan Rika yang menggunakan fasilitas tes dari puskesmas, Aldi memilih tes mandiri di rumah sakit swasta. Rp.1,2 juta harus melayang dari dompetnya. Beruntung ia dinyatakan negatif.
Pengalaman Rika dan Aldi hanya secuplik gambaran betapa tak semua orang dapat memperoleh akses tes COVID-19. Perlu ada yang dikorbankan, dari mulai uang hingga waktu, yang itu membuat mereka kemungkinan menularkan virus ke orang lain karena harus mengantre untuk dites.
Tapi tentu tak semua bernasib demikian. Senin (23/11/2020) lalu, Ketua Satgas Penanganan COVID-19 Doni Monardo mengimbau kepada orang-orang yang hadir di kerumunan acara pemimpin Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab untuk datang ke puskesmas guna menjalani tes swab. Doni mengatakan pemerintah dan Dinas Kesehatan DKI Jakarta sudah menyiapkan tes rapid antigen gratis bagi mereka.
Sejak hari pertama pulang ke Jakarta, Rizieq langsung memicu kerumunan massa. Pada hari kepulangannya, Selasa (10/11/2020), ribuan orang bergerombol di Terminal 3 Bandara Soekarno Hatta untuk menjemput. Alih-alih isolasi mandiri, Rizieq justru menghadiri sejumlah acara, di antaranya peringatan maulid Nabi Muhammad saw di Tebet, Jakarta Selatan dan Megamendung, Kabupaten Bogor. Sabtu (14/11/2020), ketika menggelar pernikahan putrinya, ribuan orang kembali tumpah ruah hingga jalan di sekitar Petamburan harus ditutup.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, per 21 November terdapat 50 orang yang positif COVID-19 di Tebet dan Petamburan. Jumlah itu berpotensi akan terus bertambah.
Ketua Terpilih Ikatan Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Dedi Supratman mengapresiasi langkah yang diambil pemerintah. Menurutnya, mengingat masifnya kerumunan tersebut, maka tidak mau potensi 'rantai' penularan harus diputus dengan deteksi dini dan isolasi segera. Terlebih, massa yang hadir dalam kerumunan itu tidak berasal dari satu wilayah, dan tidak ada data kehadiran sehingga sulit untuk melakukan tracing konvensional. “Sehingga kita perlu menemukan kasus sebanyak-banyaknya untuk tujuan pencegahan dan pengobatan,” kata Dedi kepada reporter Tirto, Selasa (24/11/2020).
Epidemiolog dari Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka Mouhamad Bigwanto memberi gambaran jika rantai penularan tak diputus. Merujuk data Pemprov DKI Jakarta, reproduction number COVID-19 saat ini berada di angka 1,06. Artinya jika di Petamburan ada 30 orang positif, maka kemungkinan akan ada 32 orang lain yang tidak pernah datang ke kerumunan Rizieq juga terjangkit. “Dan yang 32 orang itu, kalau enggak ditangani akan dikali 1,06 lagi. Itulah kenapa yang positif harus segera diidentifikasi dan dikarantina, untuk menurunkan reproduction number,” kata Bigwanto kepada reporter Tirto, Senin (23/11/2020).
Koordinator LaporCovid-19 Irma Hidayana pun mengapresisasi langkah itu. Namun ia menyesalkan sebab tidak ada pencegahan terjadinya kerumunan. Pemerintah justru terkesan memfasilitasi dengan menutup jalan dan membagikan masker.
Di sisi lain, pemerintah nyaris tidak pernah memberikan perhatian pada warga biasa atau mereka yang patuh pada protokol kesehatan.
“Ini kan tidak dicegah, dan pengendaliannya tebang pilih. Yang salah justru difasilitasi terus sementara orang-orang yang mengikuti protokol, warga biasa, sama sekali tidak mendapat perhatian. Tes itu masih mahal, tidak semua orang itu memiliki akses untuk swab, apakah untuk tes PCR atau antigen,” kata Irma kepada reporter Tirto, Selasa (24/11/2020).
Karenanya, kendati menekankan apresiasi, Irma menilai kemudahan akses soal tes, termasuk tes gratis, adalah hal dasar yang wajib dipenuhi pemerintah. Ketika itu hanya diberikan kepada segelintir kelompok, maka ia mewajarkan ada banyak memprotes kebijakan ini karena dirasa tidak adil.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino