Menuju konten utama

"Terlalu Naif Kalau Tanpa Uang Tebusan"

Samsu Rizal Panggabean Dosen HI UGM, salah satu anggota tim dari Yayasan Sukma Bangsa menceritakan pengalamannya saat ikut membebaskan 10 WNI yang disandera Abu Sayyaf lebih detail. Ia berkisah bagaimana sadisnya kelompok militan ini dalam memperlakukan sandera yang tidak ditebus. Ia juga menyampaikan diplomasi melalui jalur sipil jauh lebih manjur dibanding menggunakan pendekatan militer.

Samsu Rizal Panggabean. Tirto/Ign. L. Adhi Bhaskara.

tirto.id - Pembebasan melalui jalur militer bukan pilihan terbaik dalam membebaskan sandera di Filipina. Dalam catatan sejarah pembebasan sandera melalui jalur militer berakhir tragis seperti pada 12 April lalu ketika 18 tentara Filipina tewas dalam upaya pembebasan sandera.

Untuk “menjinakkan” Abu Sayyaf tidak bisa dilakukan dengan paradigma terorisme. Mereka memang kelompok separatis di Filipina, tapi mereka memiliki sejumlah alasan untuk bergerilya dan melakukan penyanderaan. Persoalan yang melilit Abu Sayyaf tidak sesederhana gerakan separatis, lebih dari itu ada akar historis panjang yang membuat mereka melakukan perlawanan.

Kepada wartawan tirto.id, Yantina Debora, Putu Agung Nara Indra, dan Ign. L. Adhi Bhaskara, Samsu Rizal, Mei lalu bercerita tentang seluk beluk pembebasan sandera dan betapa ganasnya kelompok ini dalam meminta uang tebusan. Berikut wawancara lengkapnya:

Apa kunci keberhasilan tim Yayasan Sukma dalam negosiasi pembebasan 10 sandera beberapa waktu lalu?

Kita melibatkan banyak pihak orang-orang di sana. Kita tim kecil, berbeda dengan tim lain yang terdiri beberapa orang, bahkan sangat formal, jalurnya militer, intel.

Kita cuma berdua, yang konstan di sana selama sebulan hanya berdua saja, Baidowi (Ahmad Baidowi) dan saya. Yang lain teman-teman orang Sulu, sebagian orang Mindanao, dan mantan-mantan mahasiswa saya, yang bekerja di Mindanao, termasuk di Sulu.

Jadi dia (mahasiswa itu) alumni MPRK (Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik) yang pertama (masuk) karena memang dia bekerja di sana, jadi dia kenal banyak orang di bawah (level komunitas). Kita masuk dari teman peneliti, teman, mbak Dessy (mahasiswa MPRK UGM) mahasiswa saya juga sering ke sana ke sana. Kalau kegiatan juga di desa-desa di Mindanao.

Jadi saya minta nama, jaringannya berupa jaringan model trust. Ya kalau dosen ketemu mahasiswa, (ibaratnya) ya kalau saya suruh lompat, ya dia lompat. Dia sebenarnya kegiatannya di Myanmar, Thailand Selatan tapi dia office-nya sebenarnya di Cotabato. Dia yang kenal pimpinan MNLF (Moro National Liberation Front).

Berarti mengaktifkan kembali jaringan-jaringan yang sebelumnya sudah ada?

Sebenarnya begini, kalau kita mau merefleksikan Indonesia itu, setiap kali ada persoalan yang diingat itu adalah militer. Iya kan? Masalah-masalah seperti kayak begini militer langsung yang berbicara itu Kopassus, Pasukan Reaksi Cepat.

Kita lupa bahwa ini adalah negara yang bertetangga. Masyarakat sipil sebenarnya dekat. Iya kan? Peneliti dari Thailand Selatan ke Yogya saja beberapa kali, dari Mindanao beberapa kali. Iya kan?

Kita juga ke sana beberapa kali. NU, guru-guru NU juga sering ke sana. Iya kan? Muhammadiyah kan aktif dalam proses perdamaian sebagai salah satu bagian dari komite, iya kan? Muhammadiyah, NU juga lewat madrasah, kan banyak sebenarnya yang tidak dimiliki oleh tentara.

Ya kalau mau kenal, buat menyaring dengan orang-orang yang disebut dengan bandit-bandit Abu Sayyaf sebenarnya coba manfaatkan itu saja, iya nggak?

Sekolahnya Yayasan Sukma yang di Aceh itu sudah pernah beberapa kali didatangi oleh guru dan birokrat pendidikan dari Mindanao, pemerintah otonomi dan guru dari sekolah Sukma Bangsa yang di Aceh itu juga sudah pernah ke sana. Iya kan?

Nah itu yang tadi saya katakan, ya karena saya yang di Sulu dengan Pak Baidowi, ketika Pak Baidowi katakan “Ayo ke sana” ya saya langsung mengontak mahasiswa, mengontak peneliti, mengontak teman-teman itu.

Cuma sebenarnya tujuan awalnya kita itu adalah assesment atau mapping. Mandat saya pada awalnya itu adalah memetakan dan melakukan assesment, jadi belum ada pembicaraan mengenai membebaskan sandera. Ya.. ya sudah, buat melakukan assesment berangkatlah tiga orang, Pak Baidowi, aku dan Pak Supiadin, dulu panglima di Aceh zaman Helsinki (perjanjian Helsinki) dan sebelumnya di (Kodam) Udayana, jadi kami bertiga.

Jadi, satu minggu pertama itu kami bertemu siapa saja yang perlu kami temui; rakyat sipil, profesor, anak LSM, sebagian teman-teman lama. Termasuk teman-teman saya yang sudah lama nggak ketemu. Saya terakhir ketemu mereka tahun 2010 tetapi masih aktivis di bidang anti ranjau, anti kekerasan, community building, peace, non violence terus macam-macam, ICRC.

Tetapi, kita juga bertemu orang di pemerintahan, pemerintah otonomi kita ketemu dengan beberapa LSM penting seperti BDA (Bangsa Moro Development Agency) yang dibentuk dalam konteks perjanjian damai antara pemerintah Filipina dan MILF.

Nah setelah satu minggu itu Pak Supiadin pulang, kami tetap berdua, dan bertemu dengan jaringan baru yang memang teman-teman dari Sulu dan mereka afiliasinya ke MNLF.

Kalau Anda ingat pemberontakan awal-awalnya pemberontakan MNLF mulainya dari Sulu, iya kan? Sama Nur Misuari dulu tahun 1972, 1973, 1974 jadi mereka yang kemudian kita (ajak) berteman. Dan tidak selalu bicara sandera kita juga bicara mengenai pendidikan, mengenai anak-anak, karena mereka juga aktivis LSM juga.

Mereka juga sebenarnya pejuang MNLF, walaupun sebenarnya mereka adalah orang-orang yang revolusioner. Cuma, karena struktur masyarakat di Tausug, nama etnisnya di sana Tausug, itu sangat menekankan hubungan kekerabatan kekeluargaan jadi kombinasi dari ikatan kekeluargaan, MNLF, dan Abu Sayyaf, akhirnya itu yang nanti ketemu karena anak-anak Abu Sayyaf ini kan orang tuanya juga pejuang-pejuang MNLF.

Jadi baru setelah minggu kedua itu, ketika melapor ke Yayasan Sukma, dan kita sudah selesai assesment dan begini dan jaringan kita ini jaringan yang benar-benar di bawah, rahasia dan bisa connect langsung dengan orang yang paling dihormati di Abu Sayyaf. Ya kalau kita mau negosiasi langsung bisa, tapi kan keputusan tidak ada di tangan saya dan Pak Baidowi jadi kita serahkan ke Yayasan Sukma, begitu mereka mengatakan teruskan ya kami teruskan. Itu saja.

Sekarang mandatnya berubah dari mapping menjadi berusaha membebaskan sandera itu, jadi sekarang kita sudah mulai berbicara mengenai: mereka ada di mana? Iya kan, selalu diberitakan, mereka sudah di Sulu, mereka sudah di Sulu tapi Sulu itu pulau yang kecil dan ada banyak sekali pulau kecil-kecil, lalu di mana?

Jadi proof of life (bukti bahwa sandera masih hidup) itu penting. Dan kita harus bisa mengontak mereka, kontak dengan penyanderanya, dan kemudian memikirkan apa yang bisa dilakukan untuk membebaskan mereka. Itupun kami waktu itu masih di bawah masih belum ada yang tahu.

Sebenarnya, disebut tidak tahu itu tidak betul, karena tim kami ini melapor. Setiap hari melapor ke Yayasan Sukma, setiap hari dan Yayasan Sukma sebenarnya berkoordinasi atau melapor ke ibu menteri luar negeri. Saya tahu beberapa kali juga Surya Paloh berkomunikasi langsung dengan Presiden Jokowi.

Jadi apa yang kami lakukan di bawah, walaupun itu rahasia, tetapi dikasih tahu itu perlu, iya kan? Perlu, karena kenapa? nanti suatu ketika harus ada proses peralihan dari jalur dua (track two/diplomasi masyarakat sipil) ke jalur satu (track one/diplomasi negara) kita lebih mudah, iya kan, karena sebelumnya kita sudah kasih tahu.

Banyak tim yang disebut turut serta dalam proses pembebasan tersebut, bagaimana komunikasi dengan tim lain?

Ya, ada beberapa, sebenarnya terus terang kita mengomunikasikan. Tadi saya bilang Jenderal Supiadin kembali ke Jakarta, saya dan pak Baidowi tetap di Filipina, sebagian besar di Manila. Kami tidak banyak di Mindanao, hanya minggu pertama kami di Mindanao. Kami selalu di Manila, kalau kami mau ketemu dengan orang teman-teman dari Sulu kami suruh datang ke Manila, lebih aman dan lebih enak. Mereka juga bisa jalan-jalan ke Manila.

Nah, karena Pak Supiadin ada di Jakarta, dia sebenarnya mengontak beberapa tim yang lain yang anda sebut itu, cuma tidak ada balasan, tidak ada respons yang positif. Jenderal Supiadin beberapa kali menelepon saya di Filipina dan kecewa.

Pihak perusahaan menutup diri, yang lain menutup diri. Sehingga kita mengatakan, ya sudah kita terus. Kan beberapa kemungkinan sebenarnya dapat kita lakukan.

Tadi saya katakan, kayaknya tim kami paling masuk. Ini bisa digunakan oleh perusahaan dan kita juga tidak ada masalah, silahkan. Yang penting sandera bebas. Iya kan? Kenapa akhirnya ini diambil sendiri dan ditangani sendiri, itu sebenarnya karena berdasarkan informasi dari Pak Supiadin, kayaknya orang-orang pada menutup diri.

Dia kecewa, misalnya dengan orang yang di Deplu yang mengurusi orang-orang Indonesia di luar negeri, yang tidak membalas telepon. Jangankan untuk memberi informasi apa-apa, mengangkat telepon saja tidak mau. Jadi ya sudah, ya kita jalan terus.

Boleh jadi orang-orang yang di tim lain tidak mau mengangkat (telpon) itu karena Pak Supiadin tidak mengatakan tim saya juga ada di lapangan dan sudah dekat, karena kami kan rahasia. Jadi Pak Supiadi menelpon sebagai perseorangan. Kadang-kadang dia sebagai pribadi yang biasa saja yang concern, walaupun kadang-kadang dia menyebutkan, "Saya anggota Komisi I DPR RI", tetapi tetap tidak ada respons, ya sudah.

Walaupun akhirnya tim kami yang nanti belakangan dituduh tidak berkoordinasi, bahkan pernah disuruh mundur, ditarik, tapi sebenarnya tidak, karena setelah kita dapat proof of life ini sebenarnya memang kita ada tim yang misalnya menggunakan jalurnya Nur Misuari pemimpin MNLF. Tapi itu juga ada pertimbangan tim saya juga perlu menggunakan MNLF atau Nur Misuari.

Tapi pada akhirnya kami memutuskan tidak bekerja sama dengan Nur Misuari karena beberapa pertimbangan. Pertama, terlalu banyak ribut di kamp Nur Misuari, tidak cocok untuk style kita. Ada dua atau tiga intel di situ teman-temannya Pak Kivlan, terus teman-teman Mindanao juga merasa istri ketiga Nur Misuari juga berkepentingan [dengan pembebasan sandera]. Yang lebih penting lagi ada beberapa insiden dalam sejarah Abu Sayyaf yang menunjukkan konflik antara Abu Sayyaf dengan Nur Misuari.

Salah seorang dari tim kita itu adalah seorang yang pernah disandera Abu Sayyaf. Di lokasi, dia bercerita, pernah satu kali ketika kelompok Abu Sayyaf yang menawan dia itu berjumlah kira-kira 30 orang diserang oleh 300-an pasukan bersenjata Nur Misuari. Bentrok dan kalah, benar-benar kontak senjata antara Nur Misuari dan kelompok Abu Sayyaf, dan Nur Misuari kalah.

Beberapa pasukan Nur Misuari disembelih. Abu Sayyaf kan suka memotong kepala orang. Kepala diganti dengan durian dan macam-macam. Nah itu juga menyerukan bahwa, “Wah ini kalau tidak hati-hati itu bukan aset tapi liability”, dah kita terus saja. Terus mencari dan menemukan orang yang paling dihormati oleh Abu Sayyaf walaupun dia bukan yang miliki posisi formal di dalam MNLF.

Jadi sampai di akhir cerita itu kita tidak pernah melibatkan Nur Misuari, bahkan sebagai tempat transit sandera.

Apakah pada akhirnya tim Yayasan Sukma bertemu dengan Abu Sayyaf?

Ketemu, jadi tadi yang saya katakan, tim saya itu sebenarnya hanya dua orang, saya dan Pak Baidowi. Pak Baidowi yang akhirnya disepakati masuk terus ke dalam dan saya berhenti di Zamboanga, berkoordinasi dengan Manila dan tim di Jakarta. Baidowi turun bersama teman-teman Sulu, teman-teman yang tim kita, naik kapal laut sembilan jam terus masuk ke dalam dan sampai hari ini cuma tim kami yang bisa masuk "blusukan" sejauh itu, [sebelumnya] tidak ada yang masuk sejauh itu. Itu pun karena mereka (Abu Sayyaf) sudah percaya.

Ketika Baidowi ketemu dengan mereka di hutan itu, nunggu yang sepuluh orang itu dibawa, ada beberapa saat ketika mereka menunggu itu, anak-anak Abu Sayyaf ini sudah meletakkan senjata dan merasa sudah aman terus makan bakpia, kripik yang saya bawa dari Yogya. Bawa Al Quran, rebutan mereka Al Quran buatan Indonesia dan tetap berbicara mengenai pendidikan.

Mereka bandit, tukang gorok leher orang tapi sebenarnya beberapa kali mereka ngomong mereka masih ingin supaya anak-anak dan generasi baru mereka tidak seperti itu, tapi bisa belajar.

Karena Yayasan Sukma juga aktif di bidang pendidikan, ya oke. Setelah itu, kami masih terus membicarakan mengenai format kerja sama seperti apa. Setelah kita pulang dari Manila juga tim kita berkoordinasi dengan Kedubes dengan atase pendidikan mengenai beberapa hal yang perlu dipikirkan.

Komunikasi yang sampai saat ini berlangsung antara siapa dan siapa?

Tim kami dengan teman-teman MNLF. Karena kita mengatakan ada beberapa hal juga, ada kaitannya dengan pendidikan itu. Kita mengatakan jangan cuma anak-anak MNLF tetapi juga MILF, kan ada dua faksi. Yang seniornya dulu pernah berkelahi tetapi di bawah (level komunitas) mereka sebenarnya ingin rekonsiliasi.

Nah, salah satu usul teman di Sulu itu, sudah dikasih ke kita mapping-nya adalah: berapa anak diambil dari MILF dan MNLF kemudian dibawa ke Indonesia dari beberapa lokasi tertentu, provinsi tertentu. Jadi jalan dan saya berharap itu berjalan karena orang MNLF dan MILF itu percaya dengan negara dan bangsa Indonesia, respect.

Apa yang membuat mereka respect dengan Indonesia?

Ya mungkin kalau dengan Malaysia mereka punya masalah di Sabah. Orang-orang MNLF ini kan orang Tausug, Raja Sulu. Menurut Raja Sulu dan masyarakat Sulu, Sabah itu punya mereka dan harus kembali ke mereka cepat atau lambat.

Jadi bagaimana mereka memandang Indonesia?

Mereka memandang Indonesia sebagai teman. Bukan teman dalam arti sekutu, artinya kalau mereka memberontak melawan pemerintah pusat di Manila, Indonesia akan membela mereka, bukan. Tetapi sebagai teman, sebagai brother yang peduli dengan persoalan mereka, bisa membantu mereka dan tadi saya katakan.

Kalau kita punya asumsi, nanti pemerintah yang baru di bawah Duterte lebih peduli dengan penyelesaian masalah di selatan dan melihat persoalan Abu Sayyaf bukan sebagai terorisme saja. Seperti saya dan Pak Baidowi melihat ini bukan sebagai masalah terorisme.

Terorisme tidak lahir begitu saja. Teroris itu hanya bisa tumbuh di lahan memungkinkan. Kenapa mereka muncul di sana juga karena proses yang lama. Kalau mungkin keadaan berubah, mereka juga bisa berubah. Kita tidak melihat pemerintah Duterte bisa melihat persoalan di selatan lebih cerdas dari pemerintahan sebelumnya, dan (kalau) melihat Abu Sayyaf tidak hanya sebagai bandit dan teroris, sebenarnya (pemerintah Filipina) bisa mengintegrasikan persoalan Abu Sayyaf dengan persoalan proses perdamaian yang lebih luas dari Mindanao.

Tadi saya katakan bahwa banyak masyarakat yang tidak suka dengan Abu Sayyaf. Yang mereka sandera bukan cuma orang-orang Malaysia, orang-orang luar negeri, orang Indonesia. Sebenarnya yang remuk, babak belur yang mereka sandera juga orang-orang setempat kan, yang sudah tidak diberitakan lagi. (Ada) Ibu guru, yang habis meminjam uang di bank 3 juta untuk membayar utangnya 3 juta itu kalau diketahui Abu Sayyaf itu disandera dengan tebusan uang 3 juta itu. Tidak masuk berita lagi kalau yang itu-itu.

Dan saya membayangkan, pihak MNLF juga kesulitan kalau misalnya kita mengatakan Abu Sayyaf ini kembali menjadi pejuang MNLF.

Dalam proses masuk ke kelompok Abu Sayyaf, bisa digambarkan poin-poin krisisnya?

Pertama, awalnya mereka tanya, “Anda siapa?” Tanya [identitas]Baidowi dan saya “Itu siapa?”. Mereka dalam arti siapa bukan curiga. “Siapa Anda?” dalam pengertian otoritasnya seperti apa, sumber daya anda seperti apa? Leverage seperti apa? “"Anda ada kaitan apa dengan pemerintah, tentara, intel atau siapa?” Jadi ada beberapa hal yang perlu diklarifikasi.

Itu satu, dan tadi yang saya katakan ya kita terus terang siapa kita, saya guru ada mahasiswa saya di situ, dia dosen saya profesor saya, selesai. Apa sih yang dapat dilakukan oleh dosen (kepada gerombolan Abu Sayyaf), ya kan? Nah, Pak Baidowi bilang, saya orang di bidang pendidikan, saya pendidik.

Ia cerita kegiatan dia dengan anak-anak Mindanao yang sudah lama ya. Tetapi, kami juga peduli dengan sandera dengan keluarga mereka dan kami juga teman dari orang pengusaha di Indonesia bernama Surya Paloh dan Surya Paloh ini adalah yang punya yayasan pendidikan di Aceh tempat Pak Baidowi dan seterusnya. Begitu informasi itu dibuka satu demi satu, ya selesai. Itu yang pertama saya kira ganjalannya.

Terus yang kedua, kalau memang nanti perlu untuk tebusan, “Anda bisa menebus enggak?,” “uangmu itu berapa?,” Saya kalau berunding dengan penyandera uangnya kan harus ada. Ketika saya bilang saya bisanya 5 juta peso. “Itu 5 juta peso sudah ada di sini kan?”. “Bukan, oh iya nanti saya cari dulu,”, waah, marah mereka.

Sampai ke situ, itu sedikit demi sedikit, saya kira yang paling penting adalah proses memperkenalkan diri. Itu yang saya katakan, saya selalu datang dengan teman, mendekati mereka dengan teman.

Saya pulang dua kali, dan selama satu bulan untuk mengisi kelas (mengajar), saya pulang membawa Djie Sam Soe, rokok-rokok Indonesia. Karena tim penyandera ada yang merokok. Tapi yang selalu saya bawa bakpia, rempeyek dan keripik tempe. Jadi saat ketemu itu ada snack baik dengan tim Sulu, maupun ketika ketemu dengan Abu Sayyaf itu.

Kalau berbicara tentang tebusan, apakah ada penyerahan uang tebusan?

Saya kira semua harus pakai tebusan, terlalu naif kalau anda mengatakan tidak ada tebusan. Ini kan kelompok KFR (Kidnap for Ransom) yang harus kita pikirkan sebenarnya adalah dari mana uang itu? Dan siapa yang bisa menyediakannya? Karena semua negara-negara selalu mengatakan kami tidak mau membayar tebusan. Walaupun mereka membayar tebusannya kan.

Tapi declaratory akan seperti itu seperti Indonesia. Tapi Indonesia menebus.

Cuma memang ya, Malaysia menebus, yang dari Kanada [sandera yang akhirnya dipenggal] sebenarnya juga mau menebus tapi proses perundingannya berlarut-larut, sempat keluar ultimatum, sempat keluar deadline. Sayang sebenarnya, padahal (tebusan) sudah disiapkan.

Dulu ketika Abu Sayyaf menyandera banyak sekali orang di Sipadan tidak ditebus, cuma negara Eropa menebus, Jerman menebus. Dan pemerintah Indonesia sejak semula mengatakan keselamatan warga negara Indonesia lebih penting.

Jadi dalam konteks sekarang sebenarnya, ya itu seperti tadi yang saya katakan, “Kamu mau membicarakan ini hanya sebagai persoalan tebusan atau sebuah perjuangan yang lebih luas”. Kamu melihat Abu Sayyaf ini hanya sebagai penyandera atau manusia yang bisa diajak bicara. Ketika Pak Baidowi mengatakan kepada saya, “Bawa Al Quran, nyong?” saya bilang “buat apa?” “Biar mereka Insyaf.”

Saya tak yakin orang jahat kemudian lihat Al Quran langsung insyaf. Tetapi ya ada gunanya, nyatanya berebutan (minta Al-Qur'an) mereka itu. Dan mereka yang memotong leher sanderanya, yang menculik, tapi ya di dalam ilmu negosiasi kan selalu satu tantangan bagaimana melibatkan how to engage with the radicals. Bagaimana Anda melibatkan orang-orang radikal, iya enggak? Bagaimana bargaining dengan teroris.

Dan itu satu tantangan tersendiri dan banyak orang mengatakan kami tidak mau berunding dengan teroris. Lantas bagaimana? Iya kan? Dalam hal ini semua kartu ada di tangan Abu Sayyaf kan? Semua kartu as ada di tangan dia. Dia ngomong, “Segini atau nggak gue potong lehernya”, maka kita dalam posisi yang lemah.

Sampai selesai, sampai kami pulang ke sini pun, yang Abu Sayyaf yang menyandera itu masih WA (berkirim Whatsapp) kita. “Eeh empat sudah dibebaskan, terlalu mahal, kayaknya enggak semahal itu deh”.

Bagaimana dengan kerja tim lain?

Ya tim yang lain mungkin ada beberapa perkembangan baru. Ketika kita sudah kembali ke yang track one, ya sudah, selanjutnya koordinasi antara Deplu kita dengan Deplu Filipina, panglima Pak Gatot dengan panglimanya Filipina. Ya Panglima Gatot bisa kasih tau Panglima Filipina. “Eeh itu ada 10 orang Indonesia yang dibawa dari Sulu ke Zamboanga. Tolong ya”.

Transport udara, bawa dua helikopter dari Sulu ke Zamboanga. Menlu (Menteri Luar Negeri) mengatakan Pak Jokowi juga akhirnya mengatakan “Itu sudah ada tuh yang masuk itu tim pendidikan yang dari Yayasan Sukma itu mohon dibiarkan dan difasilitasi dan jangan diganggu”. Jadi pada akhirnya, ya sudah.

Cuma kan saya enggak tau siapa yang menjemput dari Zamboanga. Dulu kami menganggap naik pesawat komersial iya kan? Zamboanga - Manila- Jakarta. Tau-tau ada pesawat pribadi. Iya kan? Ya oke. Di situ saya dan pak Baidowi merasa tugas kami sudah selesai.

Dari perusahaan atau pemilik kapal, apakah melakukan upaya pembebasan?

Ya, melakukan sesuatu. Saya kira, kan Pak Kivlan Zen sudah mengatakan. Dia mewakili perusahaan.

Bagaimana reaksi Kelompok Abu Sayyaf terhadap pemberitaan sebelum proses pembebasan tentang panglima TNI yang sempat mengatakan siap melakukan operasi militer, sementara di Filipina juga siap melakukan operasi militer?

Mereka tidak terlalu peduli dengan media, mereka tidak baca koran Indonesia, mereka di hutan kan? Tidak terlalu peduli. Mereka fokus pada visi misi mereka itu. Mereka fokus pada bisnis mereka. Tinggal adu pintar. Kita harus adu pintar, karena tadi saya katakan ya, kamu boleh melihat mereka sebagai bandit plus atau terorisme plus itu.

Tapi pada akhirnya di dalam berunding kita harus tetap hati-hati dan tak boleh ditipu. Kita jangan sampai kalah pintar dari Abu Sayyaf. Yang saya maksud kalah pintar itu apa? Dalam proses perundingan itu banyak sekali makelar, “Kirim uangnya ke nomor rekening ini”, terus dikirim, terus besoknya lagi ditanya. “Weeh itu nomornya salah, bukan itu”.

Ya itu pernah terjadi sehingga double payment, triple payment, ya macam-macam. Ya itu pernah terjadi tahu-tahu ada yang mengatakan “Kau berunding dengan saya, saya wakil satu-satunya.”

Tapi kan tadi saya katakan, kamu siapa? Karena kita sudah punya hubungan dekat dengan Abu Sayyaf yang menyandera orang Indonesia ini, kita cek dia, “Ooh jangan diikuti kemauan dia, akhirnya selamat. Pernah juga ada, ada orang-orang yang ngaku-ngaku”.

Apakah serangan militer Filipina sebelumnya mempengaruhi perundingan yang sedang dijalankan?

Itu yang di Basilan, ya itu apes saja. Karena enggak tahu pemerintah tentara angkatan bersenjata Filipina memang mau mengejar Abu Sayyaf atau mengejar tebusan dari kepala si Isnilon pemimpin Abu Sayyaf yang di Basilan itu, karena dia dipasang harga 4 juta dolar hidup atau mati. Saya juga curiga tentara Filipina cuma menaksir uang 4 juta dolar itu saja. Dan kacau, iya kan? Mereka disergap di tempat yang tidak memungkinkan mereka untuk membalas. 18 orang mati menurut informasi resminya.

Tetapi bagaimana dengan tensi negosiasinya? Apakah berpengaruh?

Enggak, tapi kita sempat takut sebenarnya. Ternyata tidak. Karena gini lho, tadi saya katakan, cara Abu Sayyaf ini di organisasi itu basisnya keluarga. Jadi kalau ada satu kelompok yang terdiri dari 33 orang misalnya ya, itu kakeknya di situ, om di situ, atau paman-paman di situ, terus ayahnya di situ, sampai cucunya di situ, termasuk cucunya yang masih berumur 10 tahun pun sudah pegang senjata.

Kadang-kadang yang "gorok-gorok" itu yang muda-muda ini. Memang iseng, kepala diganti dengan durian yang tadi saya bilang ya anak-anak ini yang brutal-brutal itu. Jadi di organisasi sebagai unit-unit yang terpisah yang hanya diikat oleh kekeluargaan. Jadi mereka saling melindungi. Mati-matian saling melindungi karena kamu melindungi pamanmu atau melindungi keponakanmu kan? Jadi semua begitu, paling satu atau dua keluarga dekat saja, dua kakek yang kakak adik, itu khas masyarakat Tausug.

Saya enggak tau apakah ada di Indonesia yang seperti itu ikatan kekerabatannya. Jadi ya melindungi bukan karena dia anggota Abu Sayyaf tapi ponakan saya, atau cucu saya. Ya kan? Ya itu om saya, jangan main-main.

Jadi cara mengorganisasinya basis keluarga. Nah, makanya kita juga mementingkan arti penting keluarga. Jadi orang-orang Sulu yang di tim kita itu juga cucunya si “ini” yang keponakannya si “ini"”. Dekat. Jadi trust itu basisnya keluarga.

Kalau ke depan ada kasus serupa, model diplomasi seperti ini masih memungkinkan untuk digunakan?

Sangat mungkin, kalau misalnya saya sekarang ada orang Indonesia disandera di Myanmar, atau di Thailand Selatan, jalur masyarakat sipil bisa digunakan.

Bagaimana dengan pendekatan militer?

Militer gimana? Itu kan mentalitas saja. Kamu menganggap kamu bisa melakukannya tetapi kondisi hubungan internasional sekarang, bagaimana kita mau masuk ke rumah orang tanpa traktat? Dan kita enggak mungkin membuat traktat yang seperti itu.

Hati-hati sama Abu Sayyaf itu. Pembunuh luar biasa beringas itu. Brutal itu. Kadang tidak seperti manusia. Lihat seperti serangan di Basilan itu, sudah mati masih dipotong lehernya. Iya kan?

Tahun lalu yang di Mamasapano, 44 pasukan elit densus Filipina habis, tidak oleh Abu Sayyaf tetapi oleh kelompok MILF di Mamasapano itu yang beberapa jam dari kota Bako. 44 orang, malah katanya ada dua orang Amerika yang mati juga di situ tetapi tidak diangkat. Itu juga mau mencari uang tebusan karena ada teroris Malaysia yang bersembunyi di situ yang sudah dipasang harganya 6 juta dolar oleh FBI. Dan karena kacau, tadi saya katakan, 44 orang meninggal. Mereka tidak bisa melarikan membawa mayatnya. Si Marwan (teroris Malaysia yang bersembunyi di Mamasapano) ini sebenarnya mati, kena tembak dia. Tapi kacau jadi mereka hanya bisa memotong jari telunjuknya untuk dibawa ke FBI dan mengklaim uang 6 juta dolar itu. Itu kelompok yang brutal.

Pernah mereka menyembelih seorang sandera dari Malaysia. Pengusaha. Kepalanya ditaruh di kotak. Tapi sisanya masih di gunung, yang kemudian diambil isterinya dan pejabat Malaysia. Mereka meminta sisa jenazahnya itu. Abu Sayyaf mengatakan, minta 500.000 Peso. Dikasih 500.000 Peso, tahu apa yang dilakukan Abu Sayyaf? Mereka menggali kuburan baru, dari gelandangan dan mereka potong kepalanya dan tubuhnya diambil dan dikasih ke keluarganya ini. Busuknya mereka.

Nah istrinya bilang, itu bukan suaminya dan autopsi mengatakan itu bukan tubuh dari suaminya. “Bukan itu”. “Oh ya, kalau begitu minta 500.000 Peso lagi.” Lalu mereka masuk ke gunung, waktu diambil sudah rusak mayat itu, tapi asli.

Yang tadi saya bilang, ini bukan manusia, tapi ya sejahat itu. Mereka hanya untuk mengambil mayat bisa tipu-tipu sampai dapat 1 juta Peso. Jadi wajar kalau pemerintah, kalau angkatan bersenjata Filipina juga malas.

Tadi seperti yang saya bilang, kecuali Duterte berani mengangkat panglima bagus, berani terus sikat. Walaupun sebenarnya saya tetap ingin melihat ini bukan hanya permasalahan terorisme tetapi bagian persoalan yang lebih besar.

Nah, kembali ke yang tadi saya katakan, ketika kita menggunakan militer, intel, Kopasus, BIN oke. Tapi kalau enggak ya buat apa? Anda enggak tau apa yang dibuat Muhammadiyah, NU di Mindanao. Iya kan? Lewat Ustad, ustad dan guru. Begitu saya sampai di sana dan kemudian nama saya muncul di berita, ada beberapa teman dari Jawa Timur dari NU mengatakan, “ooh Ustad”, dia menyebut saya Ustad. Dan di sana juga saya dikenalkan oleh teman-teman Sulu sebagai ustad, Pak Baidowi juga sebagai ustad. “Itu sudah betul yang anda lakukan itu, aduh kasian mereka”. Saya tanya, dia Kyai NU di malang Jawa Timur, "apa yang sudah kamu lakukan? Saya pernah ke sana."

Banyak kan jaringan ulama-ulama, pesantren-pesantren sama LSM yang dalam kasus saya adalah mahasiswa. Mana (yang) lebih fleksibel? Dan itu yang menarik dari Jenderal Supiadi tadi, dia mengatakan, kita tidak akan menggunakan jalur militer misalnya dengan West MinCom (kesatuan militer Filipina di wilayah Mindanao), walaupun kita punya akses di situ kita tidak akan menggunakan jalur angkatan bersenjata Filipina, Jenderal itu yang ngomong begitu.

Saya bilang, “Siap jenderal, cocok.” Nah kalau begitu masuk WesMinCom (The West Mindanao Command), ya sudah akan ketemu macam-macam intel dan kacau dan mana bisa bergerak.

Sampai hari terakhir, sehari sebelum pembebasan orang itu masih bingung, siapa itu, siapa mereka? Dan ketika ditanya ke Yayasan Sukma, orang dari Yayasan Sukma, Ibu Rerie (Rerie Lestari Moerdijat) mengatakan itu cuma dua orang guru. “Di mana mereka?” Ya mereka kira kami sudah di Sulu, padahal lagi duduk manis di Manila. Ya kami memang duduk manis di Manila. Tapi kan tim kami kan ada yang di bawah, ada yang di Zamboanga ada yang di Sulu.

Apa peran pentingnya diaspora Indonesia dalam proses negosiasi ini?

Ada diasporanya tetapi karena ini citizen atau track two masyarakat sipil, kamu harus lihat kompetensinya. Misalnya, ternyata guru yang lebih fleksibel ke mana-mana seperti Baidowi. Jangan menganggap remeh peneliti, karena peneliti itu dia menemui tokoh-tokoh kunci dan dalam kasus yang tadi saya bilang dalam hubungan saya dengan mahasiswa dan teman. Jadi sebelumnya saya kontak semua teman yang di Malaysia.

Teman yang Jepang yang memang saya tahu dia bergerak di bawah, di bawah ya di community ya pada level komunitas. Sehingga kalau saya datang ke komunitas itu saya temannya, saya temannya Meck misalnya yang dari Jepang, “ooh silakan-silakan”, karena mereka sudah kenal dengan Meck. Saya temannya Desy anak HI, dan di antara mereka ngomong, “Bapak mau membebaskan sandera ya”? “Enggak”, awal-awalnya ada beberapa yang curiga. Artinya kenal tetapi lebih spesifik ya. tadi saya katakan, macam-macam orang bisa berguna pada macam-macam kemampuan seperti guru, peneliti, aktivis LSM.

Bagaimana dengan Atlet?

Atlet? Kontaknya gimana ya, mungkin, kalau ada yang pas ya atau tentara seperti Pak Kivlan yang lama dulu itu sebenarnya juga, kita punya tentara sebenarnya di lapangan. Kita bagian dari "International Monitoring Team" dalam kesepakatan damai MILF dengan pemerintah Filipina. Jadi ada tentara kita di sana yang pangkatnya rendah dan kita tahu itu dan kita kenal dia tetapi kita tidak berhubungan dengan dia karena kita enggak mau bocor.

Jadi misalnya dengan mahasiswa saya yang alumni MPRK itu.

“Kamu kenal siapa di Sulu?”

“Banyak Pak, bapak mau siapa? Mau ke Nur Misuari? Saya pernah ke rumahnya saya kenal dia.”

"Kalau saya mau sih tinggal pergi saja. Tinggal pilih siapa. Yang saya perlukan orang yang kalau dia ngomong dengan Abu Sayyaf dan yang menyandera orang Indonesia yang 10.

“Oh ada.”

"Panggil dia, panggil suruh ke sini ke Manila, dari Sulu.”

“Punya tiket enggak? Kalau enggak, beli dulu nanti kita ganti di sini.”

Ia mengatakan, “Saya mau datang tapi tidak jangan sendirian. Saya mau datang dengan menantu saya dan keluarga. Tapi ini bukan menantu sembarang menantu juga. Ini menantu juga yang sangat penting dalam pergerakan dari MNLF, ayo, juga si ini, ayo."

Jadi tim itu terbentuk juga sebenarnya karena inisiatif teman-teman Sulu jadi mareka memilih sendiri orangnya. Sebenarnya berdasarkan dari mahasiswa saya, cuma dapat satu; kebetulan orang MNLF, tahu sejarah MNLF, pernah disandera Abu Sayyaf, dekat dengan Nur Misuari dan kenal dengan beberapa orang penyandera karena dia sendiri pernah disandera dan sangat peduli dengan pendidikan bagi anak-anak di Sulu termasuk anak-anak dari keluarga Abu Sayyaf.

Dia ngotot, “Harus ada sesuatu, Tuhan itu yang menyebabkan orang Indonesia disandera itu karena Tuhan ingin anak-anak dari Sulu sekolah di Indonesia” dia ngomongnya gitu.

Saya bilang “Ya”.

Ya itu tadi yang saya katakan, seandainya misalnya ada orang yang mengatakan, “Pak ada orang kita disandera di Narathiwat atau di mana di Thailand Selatan sana” ya kami bisa gunakan jalur masyarakat sipil dengan LSM, mahasiswa atau teman saya, teman Pak Baidowi, ada. Ustad, guru dan kita juga pernah bersama masuk ke dalam ketemu langsung. Masih ada kemungkinan. Atau di Myanmar. Itu kalau untuk tim saya mungkin ada tim lain yang disandera di Afrika mungkin, yang penting adalah kapasitas dari negara kita untuk mengapresiasi dari mana pun sumber inisiatif dan gerak diplomasi itu. Tidak harus dari militer.

Logika yang militer itu loh, harus dilawan seolah-olah mereka lebih tau padahal mereka tau enggak mungkin tapi masih itu terus bicara itu. Kalau mereka punya Informasi yang mengatakan, no way, tidak mungkin, tentara kita masuk ke sana dan membebaskan mereka. Bisa jatuh korban di tentara kita, atau berdasarkan insiden Basilan iya enggak?

Katanya 18 yang meninggal kata teman-teman di bawah, lebih itu, 50-an ada. Anda bayangkan tidak, 50 orang tentara Indonesia disembelih, digorok dan kepalanya diganti dengan labu atau durian. Apa enggak marah seluruh Indonesia dan akan perang dengan Filipina kan? Ngapai?. Kirim saja cari saja channel, jadi kecerdasan berdiplomasi itu juga harus ditingkatkan dan termasuk teman-teman di Deplu.

Arahnya sudah ke sana?

Ya saya kira arahnya sudah ke sana. Di Manila itu, di Kedubes Manila kan ada seorang bapak namanya Eddy Mulya. Saya dan Pak Baidowi secara personal kenal Pak Eddy Mulya itu sejak 2012 atau 2013. Kami ketemu di Seoul, pernah ketemu di Filipina, bahkan sebelum dia dinas di Filipina. Kami sudah kelayapan karena kami waktu itu ada riset bersama mengenai terorisme yang didanai oleh Jepang.

Tetapi dengan Pak Eddy pun, seminggu, dua minggu, tiga minggu kami di sana tidak pernah mengontak dia, “Eh kami di sini”. Kalau enggak, gawat kan? Sehingga ketika dikasih tahu pak Eddy Mulya, “Uh sialan lo, bangsat lo, bajingan lo”. Dimaki-maki kita, bandit juga ternyata. Ya iya mau gimana karena sudah kenal ada yang bisa saya bantu. Karena kami sepakat akan melibatkan Pak Eddy kalau semuanya sudah jelas.

Ya Pak Eddy yang mengantar mereka dari Zamboanga sampai ke Jakarta pakai topi dan pakai kaos. Dia ditegur, kok diplomat pakaiannya kayak LSM. Ya gimana lagi kan, dia sangat mengikuti sebenarnya. Dia mengikuti perkembangan itu karena dia sedang ditugaskan di sana dan oleh Dubes kita Pak Jonny [Johny Lumintang] itu memang disuruh ke Selatan. Jadi gampang transisi dari sini ke situ sebenarnya gampang karena suportif, Menlu suportif, Panglima suportif, Pak Jokowi suportif. Kedubes Filipina suportif.

Bagaimana menjaga agar proses negosiasi itu tidak bocor?

Ya harus, seperti tadi yang saya bilang, sebenarnya kita harus menjaga rahasia kan? Saya saja di jurusan, ketika saya pamit itu sebenarnya saya enggak pamit, saya bilang saya sakit. Dan ketika minggu kedua saya pulang sebentar terus pergi lagi saya bilang saya sakit lagi. Saya bilang saya hepatitis. Teman yang tahu [meledek]“wuh hepatitis Z apa hepatitis A?”. Ketika ada beberapa teman yang mau menjenguk saya bilang enggak usah datang, ini saya bilang berobatnya di Temanggung, padahal saya sudah di Zamboanga.

Baru belakangan saja saya kasih tahu dan mahasiswa juga tahu dari media. Pasti mereka tahu tapi kan ada saat-saatnya ketika kita harus membuat kontak dulu, transit dulu, karena ini sangat tergantung kemungkinan pada Abu Sayyaf.

Di Filipina saja kita kesana kemari pakai mobil kampanye Duterte. Jadi pick up kita itu, Duterte di depan, Duterte di belakang jadi kalau di tengah jalan ketemu sesama Duterte ya melambai. Dia di sana populer.

Kelompok Abu Sayyaf sendiri, bagaimana mereka memandang Duterte?

Kalau saya tak tahu. Tetapi saya ngomong dengan teman MNLF mereka suka Duterte karena Duterte pernah ngomong begini “Salah satu kelemahan kita dalam mengatasi persoalan di selatan itu adalah ada dua pemberontak, sekarang kita berunding dengan satu nanti yang satu marah. Terus kita ganti berunding dengan satunya lagi nanti yang satu marah. Jadi ya kita berunding saja langsung dengan semua” iya kan? Bagus kan? Terus dia juga mengatakan mendukung proses perdamaian di Selatan kecuali soal Abu Sayyaf.

Saya kira soal Abu Sayyaf, Duterte akan mengatakan sikat habis. Dia paling benci kejahatan. Nah itu dia yang kalau saya akan mengatakan ya Abu Sayyaf jangan dilihat hanya sebagai teroris tapi bagian dari persoalan keamanan.

Kalau menyalahkan Abu Sayyaf, kita juga harus menyalahkan proses-proses, mekanisme-mekanisme yang sudah berlangsung lama, yang menyebabkan mereka seperti itu. Ekonomi tidak jalan, pendidikan tidak jalan, Governance tidak kerja, korupsi di mana-mana, proyek-proyek fiktif pemerintah, pengawasan lemah.

Apakah masih bersedia bila diminta lagi melakukan negosiasi?

Kapok. Karena ini sangat stressfull ya. Waktu saya pulang, waktu hari pembebasan itu, stress-nya di luar kemampuan. Saya jadi sakit, sampai sekarang belum sembuh.

Tekanan yang paling terasa itu saat apa?

Karena ada saat pada hari Minggu itu dari jam 8 sampai jam 12 yang kita tidak tahu mereka ada di mana putus kontak, “Mereka sudah di mana, di pantai mana, ada di desa atau kota mana?”

Sebenarnya kita punya radio, tiga radio itu teorinya walaupun enggak ada hp tapi sinyal radio bisa digunakan di hp. Itu kan teori. Begitu sampai lapangan, kalau sudah kejauhan ya, emang Walky Talky secanggih apapun bisa menjangkau radius berapa gitu kan, jadi hilang. Sementara setiap tiga menit, tim kita di Yayasan Sukma tanya perkembangannya.

Apa beban terberat dalam proses negosiasi?

Iya. Kami semua dari awal (tahu) mereka ngomongnya “Nanti Senin ya, kalau enggak satu orang kami potong,”.

Dan kita enggak bisa menganggap mereka main-main. Mereka sedang membangun reputasi kan. Selain itu juga sering begadang, misalnya waktu yang tadi saya sebut proof of life itu untuk memastikan mereka bukan hanya hidup tetapi sehat. Kalau enggak sehat ya kita harus kasih obat. Ya mereka palingan makan ikan asing dan Indomie dan nasi. Gizinya buruk banget itu. Janjinya nanti habis subuh. Kami tak bisa tidur lagi padahal bukan subuh juga karena habis subuh dikontak, lagi Sholat. Jadi nunggu, nunggu dan beberapa kali begadang. Nah, teman-teman MNLF saja mengatakan this is once in the lifetime, enggak mau lagi. Capek.

Yang ngomong once in the life time experince itu mereka mengatakan yak bagus, saya suka tim ini, kita berhasil, kita bekerja istilah dia "Brothers". Ya memang iya, karena pendekatannya dari dulu teman ya. Saya perlakukan mereka sebagai teman, jangankan tim saya dan pak Baidowi, teroris saja kita perlakukan sebagai teroris plus. Plus artinya suka Al Quran, plus bisa di ajak ngobrol, foto-foto, cipika cipiki (tertawa).

Baca juga artikel terkait WAWANCARA KHUSUS atau tulisan lainnya

tirto.id - Mild report
Reporter: Yantina Debora, Ign. L. Adhi Bhaskara & Putu Agung Nara Indra
Editor: Agung DH