Menuju konten utama

Teori Konspirasi Lebih Mudah Dipercaya Mereka yang Narsistik

Teori konspirasi lebih menggoda siapa pun yang punya kebutuhan kronis untuk terlihat berbeda atau yang merasakan bahwa beda adalah sesuatu yang penting.

Teori Konspirasi Lebih Mudah Dipercaya Mereka yang Narsistik
Ilustrasi Konspirasi. foto/istockphoto

tirto.id - Gempa bumi yang terjadi di Turki dan Suriah mengakibatkan belasan ribu orang meninggal dunia. Bencana alam itu, bagi sebagian orang, dipercaya bukan hasil pergeseran lempeng tektonik melainkan disengaja. Mereka meyakini ada pihak-pihak tertentu di suatu belahan bumi melakukan “serangan” dan menimbulkan gempa dengan kekuatan magnitudo 7,8.

Teori konspirasi ini banyak berkembang di media sosial, tak terkecuali di Indonesia. Sebuah akun bernama @DokterTifa menganggap bahwa gempa bumi yang terjadi merupakan buatan Amerika Serikat dengan teknologi High-frequency Active Auroral Research Program alias (HAARP).

HAARP dikembangkan oleh University of Alaska Fairbanks untuk penelitian soal atmosfer, tepatnya lapisan ionosfer. Belum ada penelitian yang berhasil membuktikan bahwa HAARP mampu menimbulkan badai atau gempa bumi dalam skala yang sangat besar.

Tudingan semacam ini sebenarnya bukan kali pertama. Banyak orang, termasuk Nick Begich Jr yang adalah anak dari mantan anggota parlemen dari Alaska AS, berpikiran sama, malah lebih liar. Begich Jr menyebut HAARP mampu mengendalikan pikiran manusia. Konspirasi dan pemikirannya tentang HAARP dia sampaikan secara khusus di situs sendiri, Earthpulse.com.

Bukan hanya gempa di Turki, akun @DokterTifa juga menyinggung Tsunami Aceh tahun 2004 dan Gempa Yogyakarta tahun 2006. Namun @DokterTifa tidak juga menjawab ketika ditanyakan bagaimana persisnya cara kerja HAARP hingga bisa menyebabkan bencana alam. Salah satu cuitannya malah mengklaim tokoh penguat teorinya, Haluk Özdil asal Turki, sebagai ilmuwan. Penelusuran lanjutan menemukan dia sebenarnya penulis.

Lapisan konspirasi lainnya adalah motif yang tidak sinkron satu sama lain. Ada yang menuding gempa dibuat di Turki karena negara itu tak mau bekerja sama dengan The North Atlantic Treaty Organization (NATO). Sisi lain menyebut gempa ini sengaja dilakukan Presiden Turki Tayyip Recep Erdogan yang tidak ingin kehilangan kekuasaan pada tahun pemilu dan menyasar gempa ke daerah tertentu.

Peneliti dari Laboratory for Atmospheric and Space Physics (LASP) David Malaspina mengatakan kepada Reuters bahwa kinerja gelombang radio HAARP sama saja seperti gelombang radio AM. “Tidak ada mekanisme yang cukup kuat bagi gelombang radio AM untuk menyebabkan gempa bumi,” katanya, betapa pun kuatnya gelombang itu.

Manajer Program HAARP Jessica Matthews juga menegaskan bahwa peralatan di tempatnya bekerja tak ada yang bisa mendorong terjadinya bencana alam.

Mudah Tersebar karena “Istimewa”

Deb Roy, Sinan Aral, dan Soroush Vosoughi meneliti bagaimana penyebaran rumor di media sosial Twitter dari 2006-2017 pada 2018 lalu. Sebanyak 126 ribu cerita disebarkan oleh lebih dari tiga ribu akun dan dicuitkan lebih dari 45 ribu kali. Riset yang dipublikasikan dengan judulThe Spread of True and False News Online ini menemukan bahwa cerita-cerita palsu di Twitter menyebar lebih cepat daripada berita yang merupakan fakta.

Roy, dkk tidak bisa memastikan apakah memang orang-orang lebih menyukai berita palsu. Namun, temuan lain, kebanyakan kabar palsu yang dibagikan oleh akun-akun penyebar memiliki unsur kebaruan yang lebih dibanding berita yang mengandung fakta.

Berita palsu tersebut biasanya selalu viral. Roy, dkk menemukan bahwa untuk bersaing dengan berita palsu, maka berita yang memuat kebenaran harus berjuang enam kali lebih keras untuk menjangkau 1.500 orang.

“Ketika menganalisis dinamika difusi rumor benar dan salah, kami menemukan kebohongan itu menyebar secara signifikan lebih jauh, lebih cepat, lebih dalam, dan lebih luas daripada kebenaran di semua kategori informasi,” catat Roy, dkk.

Anthony Lantian, Karen M. Douglas, dkk menyatakan orang-orang mulai banyak percaya pada teori konspirasi sejak penyerangan surat kabar Prancis Charlie Hebdo tahun 2015dan tsunami di Jepang tahun 2006. Charlie Hebdo yang kerap menyerang Mossad dianggap sedang menyudutkan umat Islam, sedangkan bencana tsunami Jepang, sama seperti gempa di Turki, dipercaya sebagai hasil serangan Amerika.

Penelitian berjudul“I Know Things They Don’t Know!": The Role of Need for Uniqueness in Belief in Conspiracy Theories (2017) dari Douglas, dkk menemukan hal yang tak kalah menarik. Dari penelitian yang dilakukan kepada 200 orang penduduk Prancis, Douglas, dkk menemukan bahwa pada akhirnya orang-orang yang cenderung ingin terlihat unik akan lebih memercayai konspirasi.

“Bukti-bukti yang muncul dari penelitian ini menunjukkan bahwa percaya pada konspirasi adalah salah satu cara memuaskan hasrat orang untuk terlihat unik. Teori konspirasi terlihat lebih menggoda bagi siapa pun yang punya kebutuhan kronis untuk terlihat berbeda di mata orang lain atau yang merasakan bahwa tampil beda adalah sesuatu yang penting,” catat Douglas, dkk.

Didorong oleh Narsisme

Cameron S. Kay, peneliti dari Universitas Oregon, menjelaskan bagaimana teori konspirasi yang awalnya hanya dianggap lelucon mulai punya dampak yang serius, mulai dari apatis pada politik hingga anti-vaksin.

Penelitian yang dilakukan pada 857 orang ini membagi jenis narsisme menjadi dua jenis: grandiose narcissism dan vulnerable narcissism. Kay menemukan bahwa orang-orang yang cenderung sangat narsistik baik dari jenis mana pun cenderung percaya pada teori konspirasi. Grandiose narcissism beralasan bahwa teori konspirasi bisa memenuhi hasrat tentang keunikan mereka; sedangkan vulnerable narcissism merasa erat dengan teori konspirasi karena terkadang menjawab paranoia mereka terhadap beberapa hal.

“Penemuan terkini mengindikasikan bahwa orang-orang yang cenderung narsisme percaya pada teori konspirasi karena satu persamaan: rentan terhadap hal delusional,” catat Kay.

Infografik Mereka yang Percaya Teori Konspirasi

Infografik Mereka yang Percaya Teori Konspirasi

Buku The Death of Expertise (2017) karya Tom Nichols, mantan profesor dari U.S Naval War College, menggambarkan bagaimana konspirasi bekerja melampaui hukum parsimony. Garis besar parsimony adalah penjelasan paling baik dari sebuah peristiwa adalah penjelasan paling sederhana; jika kita menyingkirkan semua asumsi aneh, maka yang tersisa umumnya tinggal kebenaran.

Nichols menjelaskan hukum parsimony dalam cerita sebagai berikut: Ada suara dari ruangan sebelah. Kita ke sana dan mendapati botol-botol bir pecah ke lantai serta seorang pria memegang kaki meringis kesakitan. Pemahaman paling dasar yang muncul adalah pria tersebut menjatuhkan kotak berisi botol bir dan pecah, lantas menginjak pecahan dan mengumpat.

Banyak hal lain yang mungkin terjadi. Bisa saja pria itu ternyata aktivis penentang minuman alkohol yang sengaja membanting botol bir sendiri. Kemungkinan lain, pria itu berasal dari negara lain yang punya budaya memegangi kaki sendiri sambil menginjak-injak pecahan gelas.

“Kita memang dapat melakukan penyelidikan untuk mengetahui apakah salah satu perkiraan aneh itu benar. Namun memulai dari salah satu asumsi tersebut bisa dibilang melanggar logika serta pengalaman manusia,” catat Nichols.

Akademisi asal Inggris, Michael Billig, juga berpendapat serupa. Dalam tulisan berjudul Anti-Semitic Themes and the British Far Left: Some Social-Psychological Observations on Indirect Aspects of the Conspiracy Tradition (1987), Billig menyatakan bahwa “teori konspirasi menawarkan kesempatan yang dekat, tersembunyi, dan penting sehingga para penganutnya bisa menjadi ahli, punya pengetahuan yang bahkan tidak dimiliki oleh mereka yang benar-benar ahli.”

Penawaran seperti inilah yang kemudian diambil orang macam @DokterTifa dan Nick Begich Jr. Mereka sukses terlihat berbeda dibanding orang lain–meski kebenarannya tentu abu-abu atau bahkan tidak sama sekali.

Baca juga artikel terkait TEORI KONSPIRASI atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Politik
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino