Menuju konten utama

Temui DPR, PB IDI Usul Hapus Sejumlah Pasal dalam RUU Kesehatan

PB IDI bersama beberapa organisasi profesi medis lain menyampaikan pendapat terhadap RUU Kesehatan ke Komisi IX DPR RI kemarin, Rabu (12/4/2023).

Temui DPR, PB IDI Usul Hapus Sejumlah Pasal dalam RUU Kesehatan
Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Adib Khumaidi (kiri) didampingi Ketua Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) IDI Djoko Widyarto JS (kanan) mengikuti Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi IX DPR di Jakarta, Senin (4/4/2022). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/tom.

tirto.id - Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) menilai penyusunan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan dilakukan secara terburu-buru.

Ketua Umum PB IDI Adib Khumaidi mengatakan hal itu mencerminkan minimnya partisipasi publik dalam pembahasan Omnibus Law RUU Kesehatan.

Hal itu disampaikan PB IDI bersama beberapa organisasi profesi medis lain saat menyampaikan pendapat terhadap RUU Kesehatan ke Komisi IX DPR RI kemarin, Rabu (12/4/2023). Saat itu, pertemuan digelar secara tertutup.

“PB IDI bersama Organisasi Profesi Medis selanjutnya dengan ini meminta kepada Panja Komisi IX DPR RI untuk menghentikan proses pembahasan RUU Kesehatan (Omnibus Law) dan tidak melanjutkan kedalam Pembahasan Tingkat II,” kata Adib dalam keterangan resmi, Kamis (13/4/2023).

PB IDI dalam usulannya meminta beberapa pasal RUU Kesehatan dipertahankan, diubah redaksinya, dan sebagian dihapus.

Adib mencontohkan dalam rumusan pasal 242 ayat (2) RUU Kesehatan yang merupakan bagian 'Pelatihan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dalam rangka Penjagaan dan Peningkatan Mutu'. PB IDI mengusulkan agar pasal tersebut diubah dengan menghapus ‘Menteri’ sebagai bagian penyelenggara penjagaan dan peningkatan mutu.

Atau dalam usulan lain, PB IDI meminta rumusan pasal 282 ayat (2) soal penghentian pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh Tenaga Medis Dan Tenaga Kesehatan agar dihapus.

PB IDI mengklaim pasal ini berpotensi menimbulkan tafsir subjektif dan tidak memiliki ukuran dalam pembuktian. Hal itu bisa melemahkan kedudukan hukum tenaga medis dan tenaga Kesehatan.

“(RUU Kesehatan) bermasalah, karena tidak taat dan patuh asas serta premature, sehingga mengundang protes dari masyarakat luas, termasuk para dokter dan tenaga medis se-Indonesia,” kata Adib.

Selain itu, PB IDI menyatakan masih banyak batang tubuh/pasal RUU Kesehatan yang saling kontradiktif satu dengan lainnya, diskriminatif dan tidak selaras dengan naskah akademiknya.

“Secara filosofis, yuridis dan sosiologis ternyata tidak jauh lebih baik dari Undang-Undang yang akan dihapuskanya, yang selama ini sudah harmonis walaupun terdapat kekurangan sedikit didalamnya,” sambung Adib.

Sebelumnya, PB IDI juga meminta pembahasan Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan oleh pemerintah dan DPR RI dihentikan atau tidak diteruskan.

Merespons permintaan tersebut, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI menegaskan bahwa pembahasan RUU Kesehatan saat ini ada di tangan DPR RI.

“Sekarang kan sudah di DPR ya. Jadi sudah di legislatif,” kata Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI Siti Nadia Tarmizi.

Baca juga artikel terkait OMNIBUS LAW RUU KESEHATAN atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Gilang Ramadhan