Menuju konten utama

Telusuri Kasus Patrialis, KPK Periksa Dua Hakim Konstitusi

KPK akan memeriksa dua hakim mahkamah konstitusi untuk menelusuri lebih lanjut dugaan suap terkait uji materi UU Nomor 41 Tahun 2014 yang menyeret nama Patrialis Akbar.

Telusuri Kasus Patrialis, KPK Periksa Dua Hakim Konstitusi
Perantara suap hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar, Kamaludin (tengah) bergegas usai diperiksa di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (2/2). Kamaludin diperiksa sebagai tersangka terkait dugaan suap "judicial review" uu tentang peternakan dan kesehatan hewan dengan mengamankan dokumen pembukuan perusahaan, voucher penukaran mata uang asing serta draft putusan perkara. ANTARA FOTO/Reno Esnir.

tirto.id - Untuk menelusuri dugaan suap kepada hakim MK terkait dengan uji materi UU Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang menyeret nama Patrialis Akbar, KPK akan menjadwalkan pemeriksaan terhadap dua hakim konstitusi yakni I Dewa Gede Palguna dan Manahan MP Sitompul.

"Dua hakim MK yaitu I Dewa Gede Palguna dan Manahan MP Sitompul diperiksa untuk tersangka PAK (Patrialis Akbar)," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah, di Jakarta, Senin (13/2/2017).

KPK menduga Patrialis menerima hadiah dalam bentuk mata uang asing sebesar 20 ribu dolar AS dan 200 ribu dolar Singapura (sekitar Rp2,1 miliar) dari Direktur Utama PT Sumber Laut Perkasa dan PT Impexindo Pratama Basuki Hariman terkait dengan uji materi UU No. 41 Tahun 2014.

Sedangkan dalam uji materi UU No. 41 Tahun 2014 hakim panel MK terdiri dari Patrialis Akbar, I Dewa Gede Palguna, dan Manahan Sitompul. Manahan Sitompul diketahui menjadi hakim yang ditugaskan untuk membuat draf putusan tersebut.

Namun, dalam Operasi Tankap Tangan (OTT) di lapangan golf Rawamangun pada 26 Januari silam, KPK menemukan draf putusan UU No. 41 Tahun 2014 berada di tangan Kamaludin, orang yang diduga menjadi perantara antara Patrialis dan Basuki Hariman. Padahal draf itu adalah rahasia negara yang tidak boleh dibocorkan ke pihak luar.

Perkara No. 129/PUU-XIII/2015 itu sendiri sebenarnya diajukan oleh 6 pemohon, yaitu Teguh Boediayana, Mangku Sitepu, Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI), Gun Gun Muhammad Lutfhi Nugraha, Asnawi, dan Rachmat Pambudi. Mereka merasa dirugikan akibat pemberlakuan "zona based" di Indonesia karena pemberlakuan zona itu mengancam kesehatan ternak, menjadikan sangat bebas importasi daging segar yang akan mendesak usaha peternakan sapi lokal, serta tidak tersedia daging dan susu segar sehat yang selama ini telah dinikmati.

Suap diduga diberikan agar MK mengabulkan sebagian permohonan uji materi UU No. 41 Tahun 2014 tersebut.

UU itu mengatur bahwa impor daging bisa dilakukan dari negara "zone based", dengan impor bisa dilakukan dari negara yang sebenarnya masuk dalam zona merah (berbahaya) hewan ternak bebas dari penyakit mulut dan kuku (PMK), termasuk sapi dari India.

Hal itu berbeda dengan aturan sebelumnya, yakni "country based" yang hanya membuka impor dari negara-negara yang sudah terbebas dari PMK, seperti Australia dan Selandia Baru. Australia adalah negara asal sapi impor PT Sumber Laut Perkasa.

Patrialis dan Kamaludin yang diduga menerima suap dijerat dengan pasal 12 huruf c atau pasal 11 UU No 31/1999 sebagaimana diubah UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dengan ancaman pidana penjara paling lama seumur hidup atau 20 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.

Sedangkan Basuki dan Sekretarisnya Ng Fenny yang diduga memberikan suap dijerat dengan pasal 6 ayat 1 huruf a atau pasal 13 UU No. 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 dengan ancaman pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun serta denda paling kecil Rp150 juta dan paling banyak Rp750 juta.

KPK telah menetapkan empat orang tersebut sebagai tersangka. Namun terus mendalami keterlibatan pihak-pihak lain dalam perkara ini.

Senin, 31 Januari lalu, Wakil Ketua KPK, Basaria Panjaitan mengungkapkan bahwa berdasarkan kebiasaan di MK dalam memutuskan sebuah perkara seorang hakim tidak bisa melakukan seorang diri. Apalagi, sejak lama dalam memutuskan sebuah perkara gugatan uji materiil undang-undang, hakim MK wajib menjalani aturan mengenai ‘kolektif kolegial’ atau aturan yang didasari oleh jumlah putusan hakim terbanyak dalam peradilan.

“Untuk itu kita masih mendalami keterlibatan mengenai hakim lainnya. Apalagi memang adanya konsep kolektif kolegial tersebut. Sama seperti kami (KPK) kita juga mengacu hal tersebut untuk melakukan pertersangkaan terhadap terhadap seseorang atau pihak tertentu,” jelas Basaria Panjaitan kepada Tirto, Senin, (31/1).

Baca juga artikel terkait SUAP HAKIM atau tulisan lainnya dari Agung DH

tirto.id - Hukum
Reporter: Dimeitry Marilyn
Penulis: Agung DH
Editor: Agung DH