tirto.id - Kita, orang Indonesia, hidup di wilayah rawan bencana. Tapi ironisnya lingkungan tempat kita tinggal tak dirancang agar mampu bertahan kala musibah datang. Contoh terdekat adalah kasus di Banten dan Sukabumi.
Salah satu pihak yang wajib menata ruang agar masyarakat aman bahkan ketika bencana terjadi adalah pemerintah daerah. Sayangnya, seperti yang dinyatakan Direktur Perkumpulan SKALA Rini Tri Nirmala Ningrum, mereka bahkan kadang tak tahu potensi bencana pada wilayahnya masing-masing.
Ia memberikan contoh lewat apa yang telah terjadi di Sukabumi. Di sana, wilayah permukiman penduduk justru ada di daerah berbukit dengan kemiringan terjal. Akibatnya, longsor terjadi ketika hujan deras turun dan tanah tak mampu lagi menampung air. 34 rumah di kampung adat tertimbun Senin (31/12/2018) lalu.
"Itu yang sebenarnya perlu didiskusikan bersama, di-review lagi tata ruangnya, sehingga kita tahu persis apa potensi bencananya," ujar Rini di kawasan Jakarta Pusat, Minggu (6/1/2019) siang.
Tata ruang yang amburadul juga terlihat di Palu. Tata ruang Kota Palu, khususnya wilayah Pantai Talise, tidak mengacu pada perspektif antisipasi bencana.
"Di sana [Pantai Talise] itu kan ada potensi tsunami, tapi orang kalau mau evakuasi jadi tegak lurus. Ketutup restoran dan bangunan di sekitarnya, padahal kalau jalannya dibuka, orang bisa langsung lari ke atas."
Masih di Palu, Perumnas Balaroa bahkan didirikan di atas sesar Palu-Koro yang selalu bergerak. Ketika gempa dan likuifaksi terjadi, perumahan ini amblas.
Berkebalikan dengan Palu, menurut Rini tata ruang Pantai Anyer cukup baik. Di sana ruang terbukanya cukup sehingga memudahkan evakuasi.
"Di Anyer, saya lihat di sepanjang pantai, antara vila satu dan lainnya ada jalan-jalan di mana orang bisa lari ke atas menuju titik aman jika terjadi bencana. Artinya mereka sudah mempertimbangkan," ujarnya.
Meski demikian, masalahnya di sana adalah tak ada peringatan dini tsunami. Ini karena sumber tsunami bukan gempa bumi, tapi aktivitas vulkanik Gunung Anak Krakatau. Belum ada sensor yang dapat mendeteksi tsunami karena sebab tersebut.
Anyer dihantam tsunami pada Sabtu, 22 Desember 2018. Hingga 31 Desember, tercatat jumlah korban jiwa mencapai 437 orang.
Pernyataan yang lebih valid soal kerawanan keluar dari mulut Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho. Pada 2 Januari lalu, ia mengatakan 40,9 juta jiwa yang berada di 274 kabupaten/kota di Indonesia berada di kawasan rawan longsor. Wilayah tersebut termasuk di sepanjang Bukit Barisan Sumatera, Jawa bagian tengah dan selatan, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, dan Papua.
Sama seperti Rini, Sutopo berharap pemerintah daerah lebih peka terhadap bahaya laten ini.
"Harusnya daerah-daerah seperti itu tidak boleh untuk pemukiman. Tata ruang dan implementasinya menjadi kunci untuk mengatasi longsor," ujar Sutopo.
Soal Implementasi dan Prioritas
Meski kritik soal ini sudah sering dilontarkan pelbagai pihak, tapi toh tak banyak yang berubah. Bagi Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rudy Suhendar, persoalannya adalah pemda tidak patuh.
Badan Geologi, katanya, telah merilis Peta Kawasan Rawan Bencana (KRB) Gunung Api, Gempa Bumi, Tsunami, dan Gerakan Tanah sejak bertahun-tahun yang lalu. KRB tsunami untuk pesisir Banten dan Lampung, misalnya, telah ada sejak 2009.
Jika peta itu sudah diimplementasikan dengan baik, kata Rudy, maka dampak bencana yang diterima kedua daerah itu dapat diminimalisir.
"Peta KRB Tsunami di Pesisir Banten dan Lampung bukan hal yang baru. Kalau tata ruangnya berbasis kebencanaan, itu tidak akan terjadi masalah sebenarnya. Itu masalah implementasi," kata Rudy.
Sementara menurut ahli Geologi dari LIPI yang tahun lalu diminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk mengaudit peta bencana PVMBG, Adrin Tohari, masalah pemda membikin peta bencana yang detail--dan jadi dasar untuk melaksanakan pembangunan--tak jauh dari perkara anggaran.
"Banyak daerah yang memang tak memprioritaskan anggaran untuk pembuatan peta ini sebagai bentuk mitigasi bencana," katanya.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino