tirto.id - Kenaikan harga Surat Muatan Udara (SMU) atau tarif kargo yang dijual sejumlah maskapai penerbangan dinilai berpengaruh signifikan pada inflasi 2019. Sebab, tarif angkutan udara pada 2018 berada di urutan 6 penyumbang inflasi terbesar atau naik dari 2017 yang hanya di peringkat 16.
Ekonom dari Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira bahkan memprediksi angka itu dapat menembus 5 besar penyumbang inflasi pada 2019.
Sebab, kata Bhima, dengan kenaikan itu, maka konsumen akan meresponsnya dengan mengurangi pembelian. Efeknya, omzet usaha kecil dan menengah (UKM) pun dipastikan akan menurun, terutama mereka yang menjual barangnya ke luar Jawa lantaran sangat bergantung pada logistik udara.
Dengan demikian, selain pertumbuhan UKM yang melambat, pertumbuhan konsumsi yang saat ini berada di angka 5 persen diprediksi akan lebih melandai tahun ini.
Bhima mempertanyakan bila pemerintah dapat memaksa maskapai menurunkan tarif penumpang pesawat, tapi mengapa hal yang sama tidak dapat diterapkan bagi logistik? Padahal, kata Bhima, komponen rumus harganya kurang lebih sama, yaitu harga avtur dan kurs rupiah.
“Logistik punya impact yang besar ketimbang angkutan penumpang. Multipliernya lebih besar. Kenapa pemerintah bisa menekan yang penumpang, tapi logistik enggak bisa?” kata Bhima kepada reporter Tirto, Senin (21/1/2019).
Karena itu, Bhima curiga kenaikan tarif logistik ini adalah permainan kartel maskapai. Sebab, sama seperti kenaikan tarif penumpang yang terjadi secara bersamaan.
“Ini masih perlu penyelidikan terutama Kemenhub dan KPPU ya. […] Ini [kalau benar ada kartel] engak sehat ya,” kata Bhima.
Hal yang sama diungkapkan Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspres, Pos, dan Logistik Indonesia (Asperindo) Mohamad Feriadi. Ia mengeluhkan kenaikan harga SMU yang dijual oleh maskapai penerbangan.
Sebab, kata Feriadi, kenaikan yang terjadi cukup drastis berkisar 40-90 persen. Bahkan, di Sumatera Utara, kenaikan tarif kargo udara mencapai 330 persen.
Akibatnya, kata Feriadi, atas persetujuan rapat pleno, sekitar 200 perusahaan perusahaan ekspedisi yang tergabung di dalam Asperindo sepakat menaikkan tarif pengiriman ke berbagai tujuan dalam negeri dengan rata-rata 20 persen.
Sementara bagi wilayah Jabodetabek, kata dia, konsumen dapat bernafas lega lantaran tarif tetap normal.
Dalam situasi itu, Feriadi menuturkan organisasinya telah merekomendasikan untuk mengubah moda transportasi logistik, misalnya menggunakan darat. Menurutnya, bahkan ada wacana Asperindo akan menyewa pesawat sendiri untuk kebutuhan kargo anggotanya.
Saat ini, Feriadi mengatakan telah berupaya beromunikasi dengan maskapai. Namun, respons yang diterima belum sesuai harapan.
Karena itu, kata Feriadi, asosiasinya bahkan telah menyurati Presiden Joko Widodo. Surat yang dikirim pada 16 Januari 2019 itu diberi tenggat waktu hingga akhir bulan ini. Jika tidak ditanggapi, Feriadi telah mengultimatum asosiasinya akan melakukan boikot pengiriman logistik.
“Kami harap sebelum akhir bulan ini [Januari 2019], sudah ada tanggapan [presiden]. Kalau tidak kami akan memboikot pengiriman yang efeknya sangat luas,” kata Feriadi.
Dalih Maskapai dan Kemenhub Hanya Bisa Diam
Terkait ini, Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, Polana Banguningsih mengatakan kementeriannya tidak dapat berbuat banyak. Sebab, tarif logistik udara tidak diatur pemerintah.
Polana mengklaim hal yang sama pun juga terjadi di negara-negara lain.
“Tarif kargo tidak diatur pemerintah. [Penentuannya] diserahkan ke mekanisme pasar,” kata Polana saat dihubungi reporter Tirto, Senin (21/1/2019).
Sementara Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi hanya menjawab singkat saat ditemui reporter Tirto, di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Selasa (22/1/2019).
Budi Karya mengatakan pemerintah akan mengusahakan agar kenaikan tarif kargo udara tidak berdampak signifikan pada inflasi 2019.
“Kami akan berdialog, karena inflasi adalah suatu realitas, kami akan me-manage angkutan udara. Inflasi sebagai konsekuensi, tapi kami akan manage, semoga ini [kenaikan tarif kargo udara] tidak berkontribusi besar terhadap inflasi,” kata Budi Karya.
Secara terpisah, VP Corporate Secretary Garuda Indonesia M. Ikhsan Rosan mengatakan penyesuaian harga surat muatan udara sebagai keharusan. Sebab, Ikhsan menilai Garuda tidak mungkin memberikan harga di bawah biaya operasional.
Apalagi, Ikhsan mengatakan saat ini maskapainya tengah berfokus menjaga kesinambungan bisnisnya.
“Kalau Garuda menjual rugi terus dan berhenti beroperasi dampaknya akan lebih luas. Jadi dalam berbisnis wajar kalau kami ingin mendapatkan yield [keuntungan]” kata Ikhsan saat dihubungi reporter Tirto.
Namun, Ikhsan tak mau berkomentar soal dampak bagi perusahaan logistik. Alasannya, ia mengklaim kenaikan tarif SMU juga telah mempertimbangkan pasar dan daya beli.
Lagi pula, kata Ikhsan, kargo merupakan bisnis tambahan bagi maskapainya. Karena itu, ia juga menampik tudingan yang menduga terjadi kartel pada SMU.
“Harga-harga itu sudah mempertimbangkan kemampuan pasar. Kargo juga bukan bisnis utama kami,” kata dia.
Sementara Corporate Communication Strategic Lion Air, Danang Mandala mengaatakan belum dapat berkomentar soal masalah ini.
“Kami belum dapat memberi keterangan ya. Masih harus di crosscheck dulu dengan departemen terkait,” kata Danang saat dihubungi reporter Tirto.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz