tirto.id - Menteri Pehubungan Budi Karya Sumadi mengatakan akan mengusahakan agar kenaikan tarif kargo udara tidak berdampak signifikan pada inflasi 2019. Pada Oktober 2018 lalu tarif kargo udara naik cukup drastis, antara 40-90 persen.
"Kami akan berdialog, karena inflasi adalah suatu realitas, kami akan me-manage angkutan udara. Inflasi sebagai konsekuensi, tapi kami akan manage, semoga ini [kenaikan tarif kargo udara] tidak jadi kontributor yang besar terhadap inflasi," ujar Budi Karya di Yogyakarta, Selasa (22/1/2018).
Sebelum bisa menggunakan jasa pengiriman lewat udara, para pemakai jasa kargo harus mendapat tanda terima berupa dokumen yang disebut Surat Muatan Udara (SMU).
Pihak maskapai penerbangan akan bekerja sama dengan agen untuk menjual SMU sebagai bukti fisik pengiriman udara antara pengirim kargo, pengangkut, dan hak pengambil kargo. SMU inilah yang lazim disebut sebagai tarif kargo.
Ekonom Institute For Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira mengatakan kenaikan tarif ini akan berdampak signifikan pada inflasi di tahun 2019.
Pasalnya, pada 2018 lalu, tarif angkutan udara berada di nomor 6 penyumbang inflasi terbesar atau naik dari 2017 lalu yang hanya di nomor 16. Bahkan ia memprediksi angka itu dapat memasuki 5 besar di tahun 2019.
Atas kenaikan harga itu, Bhima menilai konsumen akan merespons dengan mengurangi pembelian. Efeknya, omzet UKM pun dipastikan akan menurun terutama mereka yang menjual barangnya ke luar Jawa lantaran sangat bergantung pada logistik udara.
Dengan demikian, selain pertumbuhan UKM yang melambat, pertumbuhan konsumsi yang saat ini berada di angka 5 persen diprediksi akan lebih melandai.
Ia juga heran bila pemerintah dapat menurunkan tarif penumpang pesawat, lantas mengapa hal yang sama juga tidak dapat diterapkan bagi logistik. Padahal menurut Bhima komponen pembentuk harganya kurang lebih sama yaitu harga avtur dan kurs rupiah.
Namun, ia mafhum bila kenaikan tarif logistik barangkali juga dimanfaatkan oleh maskapai untuk mengimbangi penurunan tarif yang diwajibkan pemerintah sebelumnya.
“Logistik punya impact yang besar ketimbang angkutan penumpang. Multipliernya lebih besar. Kenapa pemerintah bisa menekan yang penumpang, tapi logistik gak bisa,” ucap Bhima pda reporter Tirto, Senin (21/1/2019).
Kendati demikian, Bhima masih mencurigai bilamana kenaikan tarif logistik ini adalah permainan kartel maskapai. Sebab, sama seperti kenaikan tarif penumpang lalu, hal itu terjadi secara bersamaan antara maskapai.
“Ini masih perlu penyelidikan terutama Kemenhub dan KPPU ya. Untuk menjaga profit tetap bagus ada kartel bersama di angkutan udara. Ini (kalau benar) gak sehat ya,” ucap Bhima.
Kenaikan tarif kargo udara ini berdampak pada kenaikan harga logistik JNE yang menaikkan tarif atau ongkos kirim baru mulai 15 Januari 2019 pukul 00:01 WIB. Kenaikan rata-rata ongkos kirim JNE mencapai 20 persen.
Langkah penyesuaian yang dilakukan JNE telah disepakati Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspres, Pos, dan Logistik Indonesia (Asperindo) melalui surat No. 122/ DPP.ASPER/XI/2018. Maka dari itu, tak hanya JNE, sebanyak 200 perusahaan ekspedisi sejenis yang tergabung dalam Asperindo juga akan menyusul kebijakan serupa pada Januari 2019 ini.
Penulis: Dipna Videlia Putsanra
Editor: Abdul Aziz