tirto.id - Dua di antara target ambisius pembangunan 227 proyek infrastruktur pemerintahan Joko Widodo adalah kereta cepat Jakarta-Bandung dan kereta ringan atau LRT Jakarta-Bogor-Depok-Bekasi (Jabodebek). Pemerintah berjanji merampungkan kedua proyek itu sebelum 2019.
Sayangnya, pelemahan nilai tukar terhadap dolar AS berdampak pada proyek-proyek infrastruktur dengan skema pinjaman yang dikerjakan oleh jaringan BUMN tersebut. Mau tak mau pemerintah harus melakukan pelbagai penyesuaian proyek. Imbasnya, target merampungkan proyek kereta cepat dan LRT itu jadi molor.
Meski ada fakta begitu, target-target penyelesaian kedua proyek itu sering berganti-ganti, tergantung siapa pejabat yang bicara.
Misalnya, target proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Pemerintah memancang ambisi bisa mengelarkan dalam waktu tiga tahun setelah peresmian proyek pada 21 Januari 2016. Artinya, usai Desember 2018 ini seharusnya kendaraan ular besi yang menghubungkan Jakarta-Bandung mulai terlihat.
Kenyataannya, jalur kereta sepanjang 142,3 kilometer, di mana 34 kilometernya dibangun di jalan tol Jakarta-Cikampek, menuai beragam masalah, terutama problem klasik soal ganti rugi lahan.
Dari liputan terakhir Tirto pada Juli 2017, lahan yang baru beres dialihkan untuk "proyek kepentingan umum" itu dari 55 persen hanya bertambah menjadi 64,2 persen pada Mei 2018.
Alhasil, Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno membuat target kedua. Ia mengatakan pembangunan kereta cepat akan diselesaikan pada 2020. Menurut Rini, pada target tahun itu akan ada serangkaian uji coba kereta asal Tiongkok tersebut.
"Kalau sesuai target awal enggak mungkin, karena memang kami harapkan trial pada 2020. Kami sama-sama punya komitmen dengan partner bahwa kereta cepat Jakarta-Bandung harus terbaik dan aman," kata Rini saat meninjau lokasi proyek di kawasan Walini, Bandung Barat, Maret 2018.
Dua bulan kemudian, Rini merevisi pernyataannya. Ia memundurkan tenggat proyek itu sampai Maret 2021.
Tak cuma Rini, menteri lain juga melontarkan target berbeda. Misalnya, Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan yang malah ragu kereta cepat bisa selesai cepat.
"Mungkin baru beroperasi pada 2024," katanya pada awal Februari 2018 di Istana Negara.
Hal sama pada proyek LRT Jabodebek. Proyek yang digagas Pemprov DKI dan pemerintah pusat ini semula memiliki dua target: rampung pada April 2018 untuk wilayah Jakarta; dan awal 2019 untuk di luar Jakarta.
Menteri Perhubungan Budi Karya pernah memastikan pembangunan LRT Jakarta yang digarap PT Jakarta Propertindo ini akan selesai pada April 2018 dan beroperasi Juni 2018. Target itu demi menunjang Asian Games 2018, yang berlangsung Agustus lalu.
Tetapi, sampai ajang multi cabang olahraga se-Asia itu kelar, proyek LRT belum juga rampung. Target terbaru bahkan pada awal tahun 2019.
Untuk LRT Jabodebek, yang digarap PT Adhi Karya (Persero) Tbk., Budi Karya pernah mengungkapkan mulai beroperasi pertengahan 2019. Namun, target proyek sepanjang 82,9 kilometer itu pun molor sampai sekarang.
Luhut Panjaitan bahkan pernah bilang proyek LRT Cawang-Cibubur, bagian dari LRT Jabodebek, bakal beroperasi pada Desember 2018.
“Proyek ini diharapkan selesai sesuai rencana. Pak Dirut PT Adhi Karya, Budi Harto, melaporkan semuanya berjalan bagus. Selain itu, kami dengan Pak Budi Karya sudah menghitung detail dengan anak-anak muda yang membantu,” ujar Luhut saat meninjau proyek LRT Tol Jogorawi pada 2017.
Mengapa Target Molor?
Dari progres pembangunan tahap pertama sepanjang 43 kilometer LRT Jabodebek, pemerintah baru merampungkan 49,1 persen per November 2018.
Rinciannya: Cawang-Cibubur baru 71,3 persen dari total 14,9 km; Cawang-Kuningan-Dukuh Atas baru 37,2 persen (11,1 km); dan Cawang-Bekasi Timur baru 41,8 persen (18,5 km). Dengan demikian, target fase I pada awal tahun 2019 kemungkinan molor kembali.
Di sisi lain, pembiayaan lewat mekanisme pinjaman sering dilontarkan sebagai salah satu faktor yang bikin terlambat proyek konstruksi kereta cepat dan LRT .
Selama dua tahun, kereta cepat belum mendapatkan kucuran dana dari Bank Pembangunan Cina (China Development Bank).
Menteri Rini Soemarno berulang kali mengungkapkan pencairan dana dari CDB masih dalam proses. Setidaknya ia menyebut tiga kali: pada Februari-Maret 2017; Mei 2017; dan Maret 2018.
Pada Mei 2018, Bank Pembangunan Cina akhirnya mengucurkan dana termin pertama sebesar 170 juta dolar AS atau setara Rp2,28 triliun. Tiga bulan kemudian, CDB kembali mencairkan termin kedua sebesar 274,8 juta dolar AS atau setara Rp3,847 triliun. Uang pinjaman ini disalurkan kepada PT Kereta Cepat Indonesia Cina (KCIC), anggota konsorsium proyek kereta cepat.
Pencairan dana dari CDB itu berdampak pada progres pembebasan lahan.
Menteri Luhut Panjaitan pada awal 2018 menyebutkan, pembebasan lahan megaproyek itu baru mencapai 54 persen. Pada November 2018, Luhut menyebut pembebasan lahan mencapai 80 persen atau 113 km dari total 142,3 km.
Target penyelesaian kereta cepat Jakarta-Bandung ini berbanding terbalik dengan proyek serupa yang dibiayai oleh Cina di negara lain.
LRT sepanjang 18,25 km di Arab Saudi, misalnya, yang dibiayai oleh China Railway Construction Corporation Ltd., berhasil diselesaikan dalam 16 bulan pada 2009.
Dipakai sebagai 'Prestasi' untuk Pilpres
Data dari Komite percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas menyebut pemerintahan Jokowi sudah menyelesaikan 32 dari 227 proyek strategis nasional per Oktober 2018. Proyek-proyek ambisius ini dipakai oleh partai pendukung sebagai "prestasi" pemerintahan Jokowi, terutama untuk Pilpres 2019.
Sandiaga Uno, lawan politik Jokowi pada Pemilu 2019, menyebut proyek infrastruktur Jokowitidak efektif menyerap lapangan kerja. Alasannya, sejumlah proyek infrastruktur itu lebih banyak diserap oleh BUMN. Perusahaan-perusahaan swasta nasional tidak bisa menyerap tenaga kerja yang siap pakai, ujarnya.
Kebijakan itu justru menambah utang negara dan BUMN di bidang konstruksi, menurut Sandiaga. Karena itu, jika terpilih pada Pilpres 2019, Sandiaga berjanji melibatkan swasta agar utang negara dan BUMN tidak bertambah.
Menurut Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto, pembangunan infrastruktur idealnya memang tanpa harus menambah utang karena akan menjadi beban APBN.
“Kalau target [pendapatan] APBN enggak tercapai, maka akan menimbulkan konsekuensi pada fiskal,” kata Eko.
Konsep paling ideal, menurut Eko, melalui public private partnership (PPP). Hal ini sudah dipraktikkan pemerintah Jokowi, tapi konsepnya terlalu menguntungkan pemerintah. Akibatnya, perusahaan swasta kurang tertarik karena dinilai kurang menguntungkan, tambahnya.
Danang Widoyoko, dalam opininya di Tirto berjudul "Di Balik Keberhasilan Pembangunan Tol Trans Jawa", menyoroti bahwa meski pemerintah berhasil membangun tol Trans Jawa, urat nadi aktivitas ekonomi Indonesia, dengan menempatkannya sebagai prioritas utama dan mengalihkan konsesi jalan tol ke BUMN, tetapi pemerintah harus mewaspadai risiko semakin membesarnya utang BUMN.
"Jika utang BUMN tidak dikelola dengan baik," tulis Danang, "akan berdampak pada keuangan negara."
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Fahri Salam