tirto.id - Keputusan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menghentikan sementara proyek kereta cepat Jakarta-Bandung dan kereta api ringan (Light Rail Transit/LRT) Cawang-Bekasi Timur memunculkan banyak spekulasi. Apalagi Budi Karya dan Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan punya alasan berbeda soal penghentian ini.
Budi Karya mengatakan keputusan ini diambil menyusul kemacetan di Jalan Tol Jakarta-Cikampek yang semakin parah belakangan ini. Selain proyek konstruksi kereta cepat dan LRT, di sana juga tengah berlangsung pembangunan Jalan Tol Layang Jakarta-Cikampek II (Elevated). Sebaliknya, Luhut justru memiliki argumen berbeda dengan Budi Karya.
Menurutnya salah satu alasan penghentian sementara itu karena adanya isu lain, yakni terkait dengan pembebasan lahan konstruksi. “Ada sedikit masalah revisi mengenai pembebasan tanah saya kira. Tumpang tindih, kalau tidak keliru antara kereta cepat dan LRT,” kata Luhut saat ditemui di Hotel Shangri-La, Jakarta, Rabu malam (21/11/2018).
Namun Luhut membantah rumor yang berkembang bila penghentian proyek ini dikaitkan dengan masalah pada keuangan. Luhut mengklaim pendanaan dari Cina untuk kereta cepat tetap berjalan sesuai skema serta tidak terkena faktor eksternal, misalnya imbas dari perang dagang antara Cina dan Amerika Serikat.
“Kalau terkait pendanaan, sama sekali tidak ada masalah. Enggak ada isu seperti itu,” kata Luhut.
Terkait Neraca Dagang yang Jeblok?
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira menilai penghentian sementara dua proyek itu tidak semata karena masalah kemacetan. Ia menduga proyek kereta cepat dan LRT sengaja dihentikan selama beberapa bulan guna menekan laju impor yang menggerus neraca perdagangan.
Menurut Bhima, pemerintah mau tidak mau memang harus melakukan rasionalisasi terhadap sejumlah proyek konstruksi. Sebab kebutuhan besi dan baja yang besar dari impor tidak sejalan dengan kondisi defisit neraca perdagangan yang melebar dan nilai tukar rupiah yang masih fluktuatif sejak awal tahun.
Bhima menengarai penghentian sementara dua proyek konstruksi ini juga untuk menjaga kesehatan fiskal. Ia menyebutkan pendanaan proyek konstruksi selama ini cenderung menggunakan skema pinjaman.
Dengan demikian, kata Bhima, ketika suku bunga global menunjukkan tren kenaikan, maka itu bisa berpengaruh terhadap cashflow pinjaman maupun keuangan perusahaan yang membangun kereta cepat dan LRT.
Anggaran belanja infrastruktur yang tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 pun, kata Bhima, tidak menunjukkan peningkatan signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Menurutnya hal itu karena pemerintah saat ini lebih getol mengalokasikan anggaran untuk bantuan sosial dan belanja negara yang berkaitan dengan pemilu.
“Jadi memang harus diakui infrastruktur itu faktor penyumbang pelemahan nilai tukar rupiah dan kalau tidak hati-hati akan jadi beban APBN. Sehingga pemerintah memang harus gentle mengakui itu dan tidak berlindung dengan alasan kemacetan,” kata Bhima kepada Tirto.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati belum mau berbicara banyak mengenai dampak penghentian sementara dua proyek itu terhadap penekanan laju impor.
Namun meski tidak merinci seberapa besar signifikansinya, Sri Mulyani tidak menampik apabila proyek kereta cepat dan LRT memang mengandung komponen impor yang cukup besar.
“Tentu kalau melihat dari dua proyek ini dan juga proyek-proyek listrik, itu semuanya sangat capital intensive. Nanti saya koordinasikan dengan Pak Menhub mengenai kebijakan beliau,” kata Sri Mulyani saat ditemui di Hotel Ritz Carlton, Jakarta, Kamis sore (22/11/2018).
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Abdul Aziz