Menuju konten utama

Kisah Sopir Truk Angkut Sembako dari Jawa Menuju Jakarta

Pedoman sopir truk: angkut cabai harus ngebut demi kejar setoran dan biar tak kena amarah juragan.

Kisah Sopir Truk Angkut Sembako dari Jawa Menuju Jakarta
Sejumlah kendaraan terjebak kemacetan di ruas Tol Jakarta-Cikampek KM 37, Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, Minggu (10/6/2018). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

tirto.id - Memilih kemacetan sebagai dalih penundaan proyek infrastruktur di Jalan Tol Jakarta-Cikampek seharusnya tak lazim dilontarkan pemerintah. Drama macet di tol Cikampek sudah lama dialami para pengendara.

Kisah macet bisa kita dengar dari Abdul Qodir, sopir yang membawa logistik dari Jawa Timur menuju Jakarta, yang rutin melintasi tol Cikampek selama delapan tahun terakhir.

Melewati jalur sepanjang 863 km itu, Qodir mengantar beragam komoditas pangan untuk masyarakat Jakarta ke Pasar Induk Kramat Jati. Ia berkata macet semakin parah dalam dua tahun belakangan. Waktu tempuh 24 jam yang biasanya dia jalani bisa molor hingga 31 jam.

Titik terparah ketika dia melintasi "jalur neraka" di Karawang Timur sampai Pasar Induk. Setidaknya dia butuh 5 jam dari biasanya "hanya" 2 jam.

Pada Rabu siang, 21 November lalu, saya melihat Qodir baru bisa dapat izin bongkar muat di Pasar Induk pada jam 14:30, karena dia terlambat. Saat itu Qodir membawa mangga asal Probolinggo, yang seharusnya tiba di Pasar Induk jam 5:30. Faktanya, dia baru tiba jam 8:30.

"Kadang-kadang juragan enggak tahu jalan, marah-marah karena telat," kata Qodir kepada saya sambil mengawasi kuli pasar membongkar muatan mangga.

Beres satu jam membongkar mangga, Qodir dan sahabatnya, Sokib, menerima pesanan mengantar paket tekstil esok hari dari Tanah Abang ke Surabaya.

Mereka masih bingung mencari lahan parkir truk. Pihak ekspedisi di Tanah Abang berkata kepada Sokib bahwa mereka mendapatkan antrean paling terakhir.

Maka, demi menekan biaya operasional di Jakarta, mereka harus tidur di truk.

"Kalau dibilang nyenyak ya enggak, tidurnya ditemani nyamuk," kata Sokib, tertawa. Mereka harus berhemat biar bisa bawa uang cukup lumayan.

"Ayo ikut saya, enggak usah nyetir, cukup di samping sopir, panas-panasan," timpal Qodir kepada saya.

Harus Ngebut

Truk yang angkut cabai biasanya ngebut. Truk yang angkut kentang, kubis, dan buah biasanya lebih pelan. Sopir truk angkut cabai biasanya bermental baja, fisiknya kuat, dan berani. Risikonya: mati di jalan atau ditahan karena menabrak orang.

Sokib berkata demikian kepada saya sebagai pedoman di jalan raya. Ia sendiri lebih senang memilih mengantar kubis, kentang, dan buah.

"Kalau saya terus terang capek memuat cabai karena harus kencang. Gas harus diinjak terus, jam sekian berangkat, gimana cara harus sampai pasar jam segini [subuh]," kata Sokib.

Karena dituntut harus ngebut, sopir angkut cabai jarang berhenti kecuali mengisi bensin. Biasanya sopir membawa makanan dan minuman sendiri, dan makan di mobil secara bergantian dengan sopir cadangan.

"Sopir dikejar waktu biar cabai enggak busuk dan tidak dipotong ongkosnya," kata Sokib.

Menurut Sokib, karena diburu waktu, truk cabai sering mengalami kecelakaan di jalan Pantai Utara. Sepanjang 2018, misalnya, ada lima kecelakaan lalu lintas yang melibatkan truk cabai. Tiga di antaranya di Semarang, Tegal, dan Pantura.

Risiko itu bikin ongkos angkut cabai lebih besar dibandingkan angkut sembako lain. "Tetapi, bila telat lima menit, HP langsung bunyi," kata Sokib. "Apalagi kalau telat dua jam, juragan bisa ngamuk-ngamuk."

Sokib berkata temannya yang angkut cabai pernah dipotong upahnya oleh juragan sebesar Rp1 juta.

Qodir berkata ongkos mereka membawa buah mangga dari Probolinggo menuju Pasar Induk Jakarta sebesar Rp4,2 juta. Uang ini mereka sisihkan untuk beli solar, makan di jalan Rp1,25 juta, dan bayar fee pemilik truk Rp1,5 juta.

Untuk balik ke Jawa Timur, dengan membawa tekstil dari Tanah Abang, mereka menerima ongkos Rp2,9 juta. Total pendapatan kotornya Rp7,2 juta.

Bila dihitung, penghasilan bersih mereka sebesar Rp3,2 juta. Mereka bilang penghasilan itu "cukup untuk hidup sederhana di kampung."

Infografik HL Proyek LRT

Infografik HL Proyek LRT

Mengikuti Sopir Truk Melintasi Cikampek

Saya mengikuti Sokib dan Abdul Qodir sejak dari Tanah Abang ketika mereka mengangkut tekstil seberat 5 ton menuju Surabaya. Mereka telah beres menutupi muatan dengan terpal, tepat pada Kamis siang minggu ketika November lalu. Mereka telah siap menerabas jalan Jakarta menuju Cikampek.

Rencananya Sokib menyetir truk berkelir kuning itu dari Tanah Abang ke Cirebon. Selanjutnya, Qodir akan mengendarai truk dari Cirebon ke Surabaya. Saya duduk di antara mereka, dalam satu kabin, saling berdempet, bikin kaki saya sakit seharian setelahnya.

Sopir cadangan biasanya memilih tidur untuk menyiapkan stamina. Kaki biasa diselonjorkan pada dasbor truk dan kepala bersender di samping sopir utama.

"Bantal di belakang untuk tidur. Tidurnya kayak udang," kata Qodir.

Perjalanan siang itu dari Tanah Abang menuju pintu Tol Halim cukup lancar. Truk bisa memacu kecepatan 80 km per jam. Namun, mendekati kilometer 8, bersebelahan dengan pintu keluar Tol Jati Bening, roda truk mulai melambat.

Melambat, berhenti total, kemudian truk hanya bisa memacu kecepatan 20 km per jam.

Laju itu terus bertahan sampai kilometer 17, persis di "penyempitan leher botol" proyek konstruksi LRT Jabodebek, kereta cepat Jakarta-Bandung, dan Jalan Tol Layang Jakarta-Cikampek II. Di km 13, kendaraan tak bergerak sama sekali. Kami bahkan banjir keringat.

"Mandi keringat!" celetuk Sokib sambil tertawa.

Di ruas sebaliknya, dari Cikampek menuju Jakarta, kendaraan tak bergerak sama sekali, layaknya parkir terpanjang di jalan bebas hambatan.

"Saya udah dua tahun kerja dengan kondisi begini. Macet parah. Tapi enggak terasa. Kalau dipikir bisa stres kita. Sampai kapan begini terus?” keluh Qodir.

Total, perjalanan 151 kilometer dari Tanah Abang sampai gerbang Tol Kopo, Karawang, tempat saya berhenti, kami menempuh tiga jam.

Mereka tentu akan kembali ke Jakarta, biasanya dua hari dalam seminggu. Tak peduli saat sakit kepala atau meriang sekalipun.

"Sakit kepala minum Bodrex. Kalau meriang udah biasa, paling sembuh di jalan," kata Qodir, tertawa.

Baca juga artikel terkait PROYEK INFRASTRUKTUR JOKOWI atau tulisan lainnya dari Reja Hidayat

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Reja Hidayat
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Fahri Salam