tirto.id - Obor Rakyat kembali mengemuka. Pendiri Obor Rakyat, Setiyardi Budiono, berencana menerbitkan kembali tabloid 'panas' yang bikin heboh pada pilpres terakhir tersebut. Setiyardi mengatakan itu tidak lama setelah dia cuti bersyarat atas hukuman pencemaran nama baik dan penghinaan terhadap Jokowi.
Obor Rakyat muncul pertama kali pada Mei 2014 atau tepat dua bulan sebelum hari pencoblosan Pilpres 2014.
Beberapa komunitas pers menanggapi rencana Setiyardi tersebut. Anggota Dewan Pers Ahmad Djauhar misalnya, mengatakan tak mengapa Obor Rakyat terbit kembali. Tapi dengan syarat: menerapkan kode etik jurnalistik.
"Pokoknya dia patuh prinsip jurnalisme. itu aja kok," kata Djauhar kepada reporter Tirto, Jumat (11/1/2019). Djauhar yakin para pendiri Obor Rakyat paham tentang kode etik jurnalistik, sebab katanya Setiyardi adalah orang lama di dunia itu.
Selain dilindungi UU Pers, dengan menerapkan kode etik Obor Rakyat juga diuntungkan karena pandangan masyarakat akan berubah, meski yang mempercayai apa yang tertulis di sana juga sedikit. Adam Tyson dan Budi Purnomo dalam President Jokowi and The 2014 Obor Rakyat Controversy in Indonesia (PDF) menyebut hanya 20 persen—dari 58 persen orang yang pernah mendengar Obor Rakyat—percaya apa yang tertulis di sana.
"Masyarakat akan menilai sendiri 'oh media ini sudah menerapkan prinsip kode etik dan sebagainya,'" kata Djauhar.
Soal kode etik itulah yang diabaikan mereka tahun 2014 lalu. Meski pada 14 Juni lalu Setiyardi mengatakan apa yang ia lakukan seperti kerja-kerja wartawan pada umumnya, Bagir Manan, ketika masih berstatus Ketua Dewan Pers, menegaskan Obor Rakyat bukan produk jurnalistik. Karena tak dilindugi UU Pers pula sanksi yang dijatuhkan ke Setiyardi langsung pidana pencemaran nama baik dan penghinaan.
Selain dari sisi substansi, Djauhar juga merekomendasikan agar Obor Rakyat memenuhi syarat administratif sebagai perusahaan pers, seperti mendaftar ke Dewan Pers dan mencantumkan alamat jelas redaksi.
Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen Revolusi Riza mengatakan Obor Rakyat sangat mungkin terbit kembali karena tak ada satu pun aturan hukum yang melarang penerbitan media. Meski begitu pendapatnya sama seperti Djauhar, bahwa kalau mau 'aman', maka uruslah sesuai mekanisme yang berlaku.
"Karena memang kita sekarang ada dalam iklim yang tidak melarang penerbitan ya silakan saja. Tapi kan yang penting adalah taat etik jurnalistiknya itu," kata Riza kepada reporter Tirto.
Riza juga mengkritik sikap pemerintah terhadap rencana ini. Menkumham Yasonna Laoly mengancam akan mencabut cuti bersyarat Setiyardi jika mengulang hal serupa. Bagi Riza, pernyataan itu prematur karena kita belum tahu seperti apa Obor Rakyat 2019.
Sementara Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Atal Sembiring Depari mengatakan kalau pendiri Obor Rakyat mengikuti mekanisme yang berlaku agar diakui, hal tersebut akan tetap sulit bagi mereka. Ia mengingatkan, salah satu syarat pendirian perusahaan pers berbadan hukum adalah dapat izin dari Kemenkumham. Dan melihat rekam jejak Obor Rakyat, itu akan sulit didapatkan.
Maka dari itu Atal menyarankan agar rencana itu dibatalkan saja. "Kalau aku bisa menyarankan teman-teman, ya enggak usahlah Obor Rakyat lagi” kata Atal.
Tanpa mengikuti saran orang-orang yang berkecimpung di dunia pers, dan jika langgam Obor Rakyat masih sama seperti dulu—mungkin saja Setiyardi akan berakhir di tempat yang sama: penjara, untuk kedua kalinya.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Rio Apinino