tirto.id - Pada pertengahan 2019 muncul gerakan bernama 'sending my spirit' di Korea Selatan. Gerakan tersebut bertujuan memberikan semangat kepada para perempuan yang bekerja di industri perfilman.
Seperti diberitakan BBC, gerakan yang dimulai dari Seoul Women’s University mendorong para sutradara perempuan terus membuat film tentang perempuan agar bertahan dan sukses di box office.
Di industri film Korea Selatan, suara perempuan tidak terwakili dengan baik. Berdasarkan Laporan Dewan Film Korea (KOFIC) yang dipublikasi BBC, antara 2014 sampai 2018 ada peningkatan pembuat film perempuan sebanyak 8,5 persen dan film dengan bintang utama perempuan sebanyak 31,2 persen. Meski begitu mereka tak mencatat adanya kamerawan perempuan sepanjang 2018.
Industri Film Belum Ramah Perempuan
Kritikus film Darcy Paquet dalam opininya di situs resmi Institut Film Inggris (BFI) mengatakan bahwa industri film di Korea Selatan bukanlah arena yang ramah bagi perempuan, berbeda dengan representasi perempuan yang sangat baik di layar bioskop Korea.
Paquet membenarkan bahwa industri film Korea dapat dijadikan contoh representasi perempuan yang baik di layar. Namun, bagi sutradara perempuan, bakat bukanlah faktor utama keberhasilan karier mereka. Paquet pun menyampaikan kesulitan yang dialami Lee Hyun-Joo, sutradara Our Love Story.
“Secara lebih umum, ia berpendapat bahwa produsen dan investor tidak nyaman memercayakan anggaran besar kepada sutradara perempuan,” ungkap Paquet.
Kurangnya dukungan terhadap perempuan di industri film tak hanya terjadi di Korea Selatan, tapi juga di Hollywood. Seperti dilaporkan BBC, hal itu terlihat dari film berpenghasilan terbesar tahun 2018, seperti Black Panther, Avengers: Infinity War, dan Incredibles 2—semuanya disutradarai pria.
Untuk mendukung peran perempuan dalam industri film, beberapa selebritas AS menggelar kampanye bertajuk Time’s Up. Mereka menuntut kesetaraan atas masalah kuno di AS: perempuan dipekerjakan berdasarkan pengalaman, tapi pria dipekerjakan berdasarkan potensi.
Tak hanya itu, gerakan yang diikuti ratusan perempuan yang berkecimpung di bisnis hiburan ini juga menentang pelecehan yang mereka dapatkan. Selain isu-isu tersebut, gerakan ini juga membantu menyuarakan kaum minoritas, seperti gay, lesbian, biseksual, dan transgender, serta menentang ketidaksetaraan ras.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan USC Annenberg School for Communication and Journalism (PDF) pada 2007 hingga 2018, persentase perempuan menjadi sutradara film Hollywood tak pernah lebih dari 8 persen di tahun 2008. Bahkan pada 2018 perempuan hanya memiliki porsi 3,6 persen.
Di survei tersebut, tak satu pun perusahaan film raksasa AS—seperti 20th Century Fox, Paramount Pictures, Sony Pictures, Universal Pictures, Walt Disney Studios, Warner Bros Pictures, maupun Lionsgat—memiliki persentase pekerja perempuan yang lebih besar ketimbang laki-laki.
Tak hanya itu, para sutradara perempuan pun baru memiliki panggung saat mereka berusia sekitar 30 tahun, berbeda dengan laki-laki yang memulai kariernya di umur sekitar 20 tahun. Karier perempuan pun lebih pendek, karena tak ada sutradara perempuan yang berkarier di atas 70 tahun.
Dukungan terhadap Perempuan di Industri Film Asia
Di Asia, sekelompok aktivis, akademisi, dan jurnalis membuat sebuah aplikasi bernama Mango Meter untuk mengulas film berdasarkan perspektif feminis. Devi Asmarani, salah satu penggagas Mango Meter dari Indonesia, mengatakan aplikasi ini digunakan untuk mendorong kesetaraan gender, sebab, menurutnya, film memiliki pengaruh kuat di masyarakat.
“Nah, sementara yang kita lihat, representasi perempuan di film-film ini masih sangat buruk. Kebanyakan itu perempuan masih diposisikan sebagai gender kedua di film,” ujar Devi kepada Tirto, Jumat (5/6/2019).
Melalui Mango Meter, Devi ingin agar masyarakat dapat berdiskusi tentang pemahaman feminisme. Sebab, menurutnya, pada kebanyakan produksi film, baik di dalam maupun di luar negeri, sering terjadi objektifikasi seksual terhadap perempuan. Selain itu, perempuan dalam film kerap diposisikan sebagai orang yang tidak berdaya, disertai narasi bersifat toksik.
“Narasi tentang kekerasan yang masih di-framing sebagai cinta atau romance, misalnya seperti stalking atau posesif, itu masih diperlihatkan sebagai bagian dari romance, padahal itu bagian dari kekerasan,” kata perempuan yang bekerja sebagai pemimpin redaksi Magdalene itu.
Saat ini, Mango Meter telah diunduh oleh lebih dari 1.000 pengguna. Ia berharap dengan aplikasi ini para pekerja film tak bisa menyangkal bahwa industri film masih sangat maskulin dan tertantang untuk lebih adil gender.
Editor: Ivan Aulia Ahsan