Menuju konten utama

Tahun-Tahun Penahanan Mia Bustam, Aktivis Lekra Penyintas 1965

Kisah aktivis Lekra yang menjadi penyintas penahanan panjang yang dilakukan Orde Baru pasca G30S.

Tahun-Tahun Penahanan Mia Bustam, Aktivis Lekra Penyintas 1965
Header Mozaik Mia Bustam. tirto.id/Ecun

tirto.id - Baca artikel sebelumnya:

Mia Bustam & Sudjojono: Mesra Kala Revolusi, Berakhir di Masa Damai

Bahtera kehidupan Mia Bustam mengarungi samudra baru saat arus sejarah berganti secara tiba-tiba di pengujung 1965.

Tanggal 20 Oktober 1965, putra sulungnya, Tedjabayu, ditangkap saat ikut menjaga Gedung Chung Hwa Tjung Hui (CHTH) agar tidak jadi sasaran vandalisme. Ia mendengar gedung itu rentan diserbu massa yang ikut serta dalam rapat akbar “Ganyang G30S/PKI”.

Dalam memoar Mutiara di Padang Ilalang (2020), Tedja mengenang hari nahas itu tanpa ada firasat bahwa malapetaka akan terjadi.

“Ibu berdiri di depan beranda rumah. Ia diam saja, tapi sambil tersenyum ia melambaikan tangannya. Aku menengok ke belakang, melambai dan membalas senyumnya, sambil menenteng sebuah kunci inggris yang kusimpan dalam ransel,” tulisnya.

Cerita yang sedikit berbeda dituturkan Mia Bustam dalam memoar keduanya, Dari Kamp ke Kamp (2022). Sekilas sama, Mia menyisipkan satu adegan yang tidak diungkap Tedja di memoarnya.

“Di pintu depan, aku mengikuti sosoknya yang menjauh. Entah mengapa, secara impulsif aku panggil dia kembali, lalu merangkul dan menciumnya. Ternyata saat itu aku melihatnya untuk terakhir kalinya, untuk kemudian berjumpa kembali sesudah dia berumur 35 tahun. Saat itu, dia berumur 21 tahun,” kenangnya.

Berlalu sebulan tanpa tanda-tanda Tedjabayu akan kembali, tirai sejarah tersibak pada Selasa pagi, 23 November 1965, hari ulang tahun ke-17 Watugunung, adik kedua Tedjabayu.

Mia Bustam ingat ia tengah bersiap-siap pergi ke pasar untuk belanja ekstra, sementara beberapa mahasiswa anggota Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) yang selama beberapa pekan telah menumpang di rumahnya tengah beraktivitas seperti biasa.

“Sekonyong-konyong terdengar deru sebuah truk memasuki jalan yang biasanya dilalui sapi, kemudian berhenti dekat pohon ketapang. Melalui sela-sela dinding bambu kulihat orang-orang berbaju hijau di atasnya. 'Lari!' desisku cepat kepada anak-anak laki-laki,” tulis Mia Bustam.

Fragmen selanjutnya berlangsung dramatis. Upaya mahasiswa CGMI melarikan diri dari pintu belakang gagal. Semua yang ada di dalam rumah dinaikkan ke truk, tak kecuali Mia Bustam.

“Aku pandangi anak-anak satu per satu dan hanya berucap, 'Wis, ya, Cah,' dan berjalan meninggalkan mereka tanpa menoleh lagi.”

Truk berjalan. Ia yang meninggalkan tujuh orang anaknya diangkut menuju kehidupan baru yang diawali dari Kepolisian Resor Sleman.

Menjaga Api Hidup

Tiga tuduhan disampaikan langsung pada Mia Bustam oleh Komandan Resor Kepolisian saat pemeriksaan pertama.

Pertama, Mia Bustam telah mengikuti latihan-latihan di Lubang Buaya. Kedua, Mia Bustam telah melindungi oknum-oknum pelaku G30S/PKI di rumahnya. Ketiga, Mia Bustam mengadakan rapat-rapat gelap bersama oknum-oknum itu.

Tuduhan-tuduhan tersebut cepat ditangkis Mia Bustam dengan enteng karena tidak masuk akal. Ia terakhir kali ke Jakarta pada September 1964, dan tak ada kaitan apapun dengan Lubang Buaya. Malah, nama Lubang Buaya baru didengarnya sesudah surat-surat kabar ramai memberitakannya.

Sementara “oknum-oknum G30S/PKI” yang dituduhkan tidak lain adalah teman sekolah anak-anaknya. Rapat-rapat gelap yang disebutkan juga tidak kalah menggelikan karena mahasiswa-mahasiswa yang menumpang di rumahnya hanya main catur dan halma di malam hari, selain mengobrol dan berkelakar.

Mia Bustam hanya seminggu ditahan di Sleman. Selain karena tempatnya sudah terlalu penuh, sel penjara juga jauh dari kata higienis. Ia mengaku tak bisa tidur karena ruangan penuh sesak. Ketika petugas berkata bahwa ia akan dibawa untuk ditembak mati, berita itu diterimanya dengan lempang saja, sebab ia tahu itu hanya cara menakuti-nakuti para tahanan.

Dari Sleman, truk melaju ke arah pusat kota Yogyakarta lalu masuk ke Benteng Vredeburg. Sesudah barang mereka disita, para tahanan dibariskan masuk ke sebuah sel besar yang tidak dikunci.

Setelah sepekan ditahan, Mia Bustam baru merasakan kembali segarnya guyuran air dingin saat mandi dan mencuci satu-satunya pakaian yang melekat di badan.

Kualitas hidup para tahanan di Vredeburg, dalam pengamatannya, berlangsung dalam grafik penurunan yang konstan. Mulai dari jatah makan. Semula, kebutuhan ransum tahanan dipasok dari Rumah Makan Danurejan, berupa nasi, oseng-oseng buncis, dan tahu-tempe bacem dalam pembagian porsi yang dialasi takir.

Karena kewalahan mengurusi ransum hingga 3.000 porsi, pihak rumah makan kemudian hanya mengirimkan nasi dan lauk-pauk dalam baskom-baskom besar, yang selanjutnya dibagi oleh Mia Bustam selaku kepala asrama wanita.

Belakangan, karena uang anggaran ransum digelapkan aparat penjara, rumah makan berhenti memasok. Jatah makan berubah jadi gerontol jagung dan sayur kubis, dengan cita rasa dan mutu yang tidak layak untuk dikonsumsi menurut ukuran luar penjara.

Satu episode yang dikenang Mia Bustam adalah peristiwa malam Natal 1965. Bukan pengalaman syahdu laiknya menyambut hari raya, malam itu menjadi detik pertaruhan hidup dan mati saat Benteng Vredeburg didatangi sepasukan Pomad Para (Mia Bustam menyebutnya RPKAD) dari Jakarta yang tiba-tiba meneror para tapol.

Sesudah menggeruduk kamp pria, asrama Mia Bustam didobrak seorang prajurit yang segera membentak-bentaknya dengan kasar dan membabi-buta. Merasa perempuan di hadapannya tidak goyah dihardik, sang prajurit naik pitam dan memutuskan berbuat lebih gila.

“Sekonyong-konyong ia mencabut sangkur, entah pisau apa dari sarungnya, dan mulai melempar-lemparkannya ke arah diriku. Heran, pisau itu kok bisa menancap di dinding tembok. Pisau itu menancap di atas kepalaku, dicabut lagi, dilempar, menancap di kanan, di kiri leherku, berkali-kali sambil terus memaki-maki. Kawan-kawan yang duduk di lantai menjadi pucat semua,” ungkapnya.

Ia berpikir jika dirinya bergerak, bisa saja kepalanya terkena pisau itu dan menewaskannya.

“Aku tak mau mati di sini; aku masih ingin bertemu kembali dengan anak-anakku,” tegasnya.

Sesudah teror itu berlalu, Mia Bustam hanya mampu meledak dalam tangis dan mengumpat di kamarnya.

Kehidupan berjalan terus dengan kualitas yang semakin turun. Meski demikian, tidak ada istilah menyerah untuk para tahanan. Gerontol dan kubis yang tidak layak konsumsi dimasak kembali dan menjadi oseng-oseng, urap, ataupun pecel.

Bahan bakarnya dari kayu-kayu reng dan besek-besek pembungkus makanan serta daun pisang yang dijemur hingga kering. Lewat kegiatan inilah kebersamaan tumbuh untuk saling menguatkan sebagai sesama orang kalah.

Dari Wirogunan ke Bulu, Lewat Plantungan

Sebulan setelah Supersemar terbit, terdengar berita di antara para tahanan Vredeburg bahwa benteng tersebut akan dijadikan tempat tahanan untuk para sarjana dan mahasiswa. Demikianlah Mia Bustam dibawa bersama puluhan tahanan lain ke Penjara Wirogunan.

Berbeda dengan Vredeburg yang penuh sesak, Wirogunan masih memiliki cukup ruang untuk menampung tahanan. Ia ditempatkan di Blok F Kamar 3, dengan tempat tidur dari beton dan lantai semen.

Mia Bustam juga memperoleh alat makan berupa piring dan mug aluminium. Suasana kamar, menurutnya, cukup meriah. Ambin tempatnya tidur berukuran 7 kali 2 meter yang ditiduri bersama tahanan lain. Sirkulasi udara cukup baik dari jendela berterali. Keperluan bersih diri cukup juga memadai.

Hanya dalam hal jatah makan, Vredeburg dan Wirogunan sebelas-duabelas.

“Menu pagi gerontol, siang nasi jagung kasap dengan sayur kubis sapon, yaitu kubis busuk sisa yang disapu petugas kebersihan pasar atau kangkung yang dicacah seperti makanan kuda,” kenangnya.

Tidak heran, dengan makanan seperti itu, banyak di antara tahanan yang terserang busung lapar. Belakangan, jatah gerontol jagung dikurangi, hingga para tahanan di waktu-waktu senggang menyempatkan diri menghitung jumlah gerontol yang tidak lebih dari 200 butir.

Kehidupan di Wirogunan memperoleh porsi cukup banyak dalam memoar Mia Bustam. Ia masih mengingat dengan rinci pengalaman-pengalaman kolektif, mulai dari ikut membesarkan bayi-bayi para tahanan perempuan, bertukar ilmu antarblok, membuat kerajinan tangan dan merajut, serta mengatur pembagian konsumsi.

Ia juga ikut dalam pentas hiburan yang diadakan rutin di Sabtu malam, yang dikoordinasi tahanan pria. Semua dibuat dengan material yang ditemukan dalam penjara, diolah kreatif menjadi orkes dadakan yang cukup berhasil menyemarakkan suasana.

Bersamaan dengan kehidupan di Wirogunan, tahanan-tahanan yang dianggap ateis mulai memperoleh pendidikan agama. Mia Bustam memilih ikut pengajaran agama Katolik.

Menurutnya, kebaikan dan kemurahan hati para rohaniwan dan biarawati Katolik yang mengulurkan tangan dan membantu kehidupan mereka di penjara membuatnya melihat refleksi iman dalam perbuatan. Kelak pada 1977, Mia Bustam dibaptis secara Katolik dengan nama pelindung Fransisca Emmanuela.

Bukan hanya memberi konsultasi rohani, layanan dokter Misi Katolik juga yang pertama kali menemukan kebocoran katup trikuspidalis di jantung Mia Bustam. Gering yang setiap kali mesti dijaganya dengan 11 butir tablet dan ritme kerja yang tidak boleh terlalu melelahkan.

Episode Wirogunan dialami Mia Bustam selama lima tahun. Pada 1971, ia ikut dalam rombongan tapol perempuan yang dipindahkan ke Kamp Plantungan. Di tempat barunya ia berproses dan lebih bebas mengaktualisasi bakatnya di bidang kriya dan kerajinan tangan.

Bakatnya yang diketahui oleh petugas kamp dan teman-temannya membuatnya didapuk sebagai penata taman. Alat-alat pertanian diperoleh dari kiriman pemerintah. Mia Bustam mulai bekerja dengan menanami bunga, menata bebatuan, dan merapikan tanaman di lahan Plantungan yang berbukit-bukit.

Aktivitasnya menyusun lahan kosong menjadi taman yang sedap dipandang bahkan sampai menginspirasi Zubaidah Nungtjik, temannya sesama tapol, menulis lagu “Taman Bunga Plantungan” yang dinyanyikan Paduan Suara Dialita dan menjadi nomor dalam album Dunia Milik Kita.

Produktivitas Mia Bustam membuat kerajinan tangan kian optimal saat barang sulaman, jahitan, dan rajutannya menjadi usaha produktif di Kamp Plantungan. Bersama sejumlah teman dengan minat yang sama, mereka mengembangkan usaha “Srijoga” yang dipasarkan oleh unit Produksi dan Pemasaran Kamp untuk wilayah sekitar Jawa Tengah.

Keterampilan tangannya membuat ia dipercaya untuk menangani segala macam urusan dekorasi di berbagai acara kamp. Karena kepercayaan itu pula, salah persepsi dengan dekorasi yang dibuat Mia Bustam bisa membuat perselisihan yang remeh-temeh.

Sekali waktu ia memasang bintang sebagai hiasan, seorang petugas mengasosiasikannya sebagai lambang Pemuda Rakjat, atau hiasan teratai yang diasosiasikan pada lambang Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki).

Infografik Mozaik Mia Bustam

Infografik Mozaik Mia Bustam. tirto.id/Ecun

Dari semua penjara yang ia lalui, masa-masa relatif stabil di Wirogunan dan Plantungan memberinya kesempatan untuk tetap terhubung dengan anak-anaknya yang memasuki jenjang usia dewasa dalam keadaan jauh dari ibu mereka.

Paling sering, Mia Bustam dikunjungi oleh Nasti dan Tunggal, yang datang bersama neneknya, ibu sambung Mia Bustam. Selain kunjungan, ia juga rutin menerima kiriman setiap hari raya, yang di antaranya selalu dilampiri surat yang menceritakan keadaan keluarganya.

Salah satu surat terpanjang pernah ditulis Nasti, mengisahkan kelahiran cucu pertama Mia Bustam dalam sembilan halaman bolak-balik. Jauh dari mata, tidak serta-merta ikut membuat dirinya jauh dari hati anak-anaknya.

Pada 1976, Mia Bustam dan sejumlah tahanan lain dipindahkan ke Penjara Bulu di Semarang. Pemindahan itu didasari pertimbangan ganjil. Menurut petinggi Kamp Plantungan, Mia Bustam dan sejumlah tapol lainnya belum menunjukkan perubahan karakter dan masih kurang menghayati Pancasila, meski sudah bertahun-tahun ditahan.

Putusan itu membuat Mia Bustam terpaksa meninggalkan taman hasil kreasi yang ia rawat telaten sejak mulai mendiami Plantungan.

Di Penjara Bulu tidak banyak cerita yang ia catat. Selain ruang gerak yang kurang leluasa, hawa panas Semarang juga berbanding terbalik dengan sejuknya Plantungan. Kerja-kerja rutin dilakukan, meski sedikit kemewahan telah dapat dirasakan tapol dengan kehadiran pesawat televisi yang boleh disaksikan ramai-ramai.

Dua tahun berlalu di Penjara Bulu, berita pembebasan akhirnya sampai. Sebelum itu, ada psikotes yang harus dilalui para tapol, dengan tujuan menguji seberapa jauh mereka siap untuk menjadi masyarakat Pancasilais dan tunduk pada pemerintah Orde Baru.

Enggan memberikan jawaban klise “bekerja keras membantu pembangunan negara”, Mia Bustam jujur mengungkapkan niat untuk menjadi penerjemah karya-karya sastra bermutu ke dalam bahasa Indonesia agar dapat dibaca oleh mereka yang tidak memahami bahasa asing.

Jawaban itu ternyata memuaskan dan jadwal pembebasan ditentukan 28 Juli 1978, yang ternyata lebih cepat sehari.

Kamis, 27 Juli 1978, Mia Bustam dinyatakan “bebas”. Tentu, bukan kebebasan sejati dalam arti sebenarnya. Pembatasan ruang gerak harus dihadapi karena peraturan menggariskan Mia Bustam selama beberapa waktu menjadi tahanan kota. Ia melakukan wajib lapor ke kodim dan harus dibekali surat jalan.

Tak lupa, Mia Bustam memperoleh KTP bertanda khusus “Eks-Tapol”, yang dalam kata-katanya, “Sebuah stigma yang mengecap kami menjadi warga negara kelas ‘kambing’, jauh berada di bawah mereka yang ‘bersih’ dan ‘tak ternoda’."

Baca juga artikel terkait LEKRA atau tulisan lainnya dari Chris Wibisana

tirto.id - Politik
Kontributor: Chris Wibisana
Penulis: Chris Wibisana
Editor: Irfan Teguh Pribadi