tirto.id - “Ah, Dik, seandainya engkau Subadra....”
“Dan Rose, Srikandi? Tidak! Aku tidak mau menjadi Subadra yang bisa membagi cinta Arjuna dengan berlusin-lusin perempuan lain!”
Hentakan suara Pipien Putri itu membuat seluruh penonton di auditorium terhenyak sunyi dan menahan napas, termasuk saya. Saat mengucapkan kalimat itu, Pipien tak menjadi dirinya sendiri. Dalam monolog tanpa judul sepanjang hampir 40 menit itu, dia menjiwai Sasmijati Sasmojo yang sejak 1959 menyandang nama Mia Bustam.
Lewat monolog yang hidup, latar musik yang emosional, dan montase foto dokumentasi kehidupan Mia sejak muda, Pipien berhasil menghidupkan ingatan tentang Mia Bustam dalam peringatan 102 Tahun Mia Bustam.
Acara bertajuk “Sulaman Harapan Perempuan” yang digelar di Goethe Haus, Jakarta, pada 21 Agustus 2022 lalu itu merupakan kolaborasi keluarga besar Mia Bustam dengan Penerbit Ultimus, OHD Museum, dan Lembaga Kreativitas Kemanusiaan.
Ia menjadi puncak penantian sesudah 2 tahun tertunda akibat pandemi COVID-19. Kesempatan itu juga digunakan keluarga untuk mengadakan reuni 8 putra-putri Mia Bustam yang tercerai-berai sesudah 1965.
Agenda reuni ini pun sempat batal ketika kakak sulung mereka, Tedjabayu, berpulang pada 25 Februari 2021. Kendati demikian, dua kekecewaan ini menjadi blessing in disguise karena Penerbit Ultimus mendapat waktu lebih untuk menerbitkan tiga jilid memoar Mia Bustam.
Ketiga buku penting itu terbit sekaligus di bulan Juni dan Juli lalu. Masing-masing berjudul Sudjojono dan Aku, Dari Kamp ke Kamp, dan Kelindan Asa dan Kenyataan.
Sosok Mia sebagai perempuan tangguh yang hidup enam zaman dengan segala jatuh bangunnya mampu menarik antusiasme ratusan pengunjung. Setiap mata acara yang ditampilkan merefleksikan 91 tahun perjalanan hidup Mia.
Dari acara itu, pengunjung bisa menilik bagaimana usaha Mia membela martabat dirinya sebagai perempuan hingga mengarungi pengalaman-pengalaman yang dahsyat, menghabiskan usia produktifnya, sekaligus menjadi bukti kekuatan lahir batin seorang penyintas malapetaka 1965.
Jatuh Bangun Pengantin Revolusi
Sasmijati Sasmojo lahir pada 4 Juni 1920. Dia adalah putri pertama pasangan Raden Ngabehi Sasmojo dan Raden Ayu Srijati. Sebagai putri priyayi, Mia mengenyam pendidikan dasar Belanda hingga mencapai jenjang sekolah kepandaian putri di Van Deventer School.
Bagi perempuan sezamannya, pilihan hidup yang ditempuh Mia agaknya tidak lazim. Pada 1943—kala umurnya 23 tahun, dia bersedia menggamit tangan Sindoedarsono Sudjojono ke pelaminan. Pelukis yang di kemudian hari menjadi anggota DPR dari Fraksi Partai Komunis Indonesia itu meminang Mia tanpa sangu yang memadai selain cinta pada pandangan pertama dan talenta seorang pelukis.
Saat itu, Sudjojono dikenal sebagai pelukis dan salah satu tokoh penting Persatoean Ahli Gambar Indonesia atau Persagi. Dia juga dikenal sebagi mentor bagi pelukis-pelukis muda di Poesat Tenaga Rakjat yang diketuai Sukarno.
Dari pernikahan ini, Mia dan Djon—nama kecil S. Sudjojono—dikaruniai lima orang putra dan tiga orang putri yang lahir antara 1944 hingga 1956. Masing-masing dari mereka adalah Tedjabayu, Sri Nasti Rukmawati, Watugunung, Sekartunggal, Lanang Daya, Lanang Gawe, Sri Shima, dan Abang Rahino.
Mia dan Djon mengecap romantisme pengantin baru di tengah kecamuk Revolusi. Kemesraan mereka mengarungi sewindu pertama berumah tangga membuat banyak orang iri. Mia setia menjadi sekondan Sudjojono dengan menjalankan peran sebagai ibu, istri, serta kawan diskusi.
Tak hanya itu, Mia juga berperan laiknya ibu asuh bagi orang-orang muda yang ditatar sendiri oleh Djon dalam sanggar Seniman Indonesia Moeda (SIM) yang didirikannya pada 1946 di Madiun.
Sanggar lukis ini dirancang Djon untuk mengasah pelukis-pelukis muda berbakat. Merekalah yang diharap menjadi pelopor corak seni lukis Indonesia merdeka yang terbebas dari anasir-anasir romantisme Mooi Indie dan memiliki nuansa kerakyatan yang tegas dan bersemangat.
Hari-hari mencekam, pertempuran, bergerilya, sampai berpindah-pindah dari Jakarta, Pati, Solo, hingga ke Yogyakarta menjadi makanan sehari-hari Mia ketika itu. Di masa ini pula, Djon membangun citranya sebagai seniman yang melek politik dan berkawan erat dengan tokoh-tokoh berhaluan sosialis.
Djon bahkan mendukung penggabungan SIM dan Biro Perdjoangan bentukan Amir Sjarifoeddin. Tujuannya agar seni lukis dapat menjadi sarana propaganda dan komunikasi pemerintah kepada rakyat yang sedang berjuang. Sayang, dukungan ini berakibat mati surinya SIM saat Kabinet Amir jatuh pada Januari 1948.
Sesudah Pengakuan Kedaulatan pada 1949, Mia dan Djon mulai menata rumah tangga mereka agar lebih mapan. Dari Kementerian Penerangan, keluarga Djon mendapat hak menempati sebuah rumah di Jalan Pakuningratan 40, di sebelah Asrama Tentara Republik Indonesia Pelajar.
Di rumah ini, Djon menghidupkan dan mempersatukan anggota SIM yang bubar sementara sesudah 1948. Djon pun melatih mereka membuat poster yang dipesan oleh Kementerian Penerangan, menerima pesanan lukisan, dan mengasah kemampuan mematung.
Dari Temuan di Saku Celana
Irama kehidupan keluarga ini mulai berubah saat Djon terpilih sebagai anggota DPR-RI daerah pemilihan Yogyakarta dari PKI pada 1955. Mobilitas sebagai anggota parlemen menuntutnya untuk ulang-alik Jakarta-Yogyakarta setiap pekan.
“Tiap hari Jumat Mas Djon pulang ke Yogya, untuk kembali lagi ke Jakarta pada hari Senin dengan kereta api ekspres jam 11.00 siang. Itu berarti setiap minggu ia membolos 3 hari: Jumat, Sabtu, dan Senin,” tulis Mia dalam memoar pertamanya Sudjojono dan Aku (2022, hal. 234).
Keadaan ini membawa kerumitan tersendiri bagi keluarga dan tentunya pada hubungan Mia dan Djon. Berada jauh dari keluarganya, membuka celah bagi Djon untuk main mata dengan penyanyi seriosa Rose Sumabrata.
Djon pertama kali bertemu dengan Rose di Belanda pada 1951. Kala itu, dia tengah berpartisipasi dalam Festival Pemuda 1951. Siapa nyana, Djon dan Rose kemudian menjalin hubungan yang lebih dalam.
Tanda-tanda keretakan mahligai rumah tangga ini didapati sendiri oleh Mia. Suatu kali pada 1956, sepulangnya Djon dari Jakarta, Mia secara tidak sengaja menemukan secarik kertas di saku kanan pantalon miliknya. Lalu di saku kiri, Mia mendapi pula sehelai sapu tangan perempuan.
Untuk sapu tangan yang wangi itu, Djon berkilah bahwa dia terkena pilek saat hadir di acara perayaan Natal di kediaman Rose di Jakarta. Rose terpaksa meminjamkan sapu tangan perempuan, karena suaminya, Jack Sumabrata, tengah mengampuh pendidikan kedokteran di UGM sehingga “tak ada sapu tangan laki-laki di rumah”.
Mia percaya untuk alasan satu ini. Sayangnya, benih-benih syak wasangka bersemai dari secarik kertas di saku lain. Bagaimana tidak, kertas itu memuat lirik dan not lagu Doris Day keluaran 1953, “Secret Love”.
Once I had a secret love
That lives within the heart of me
All too soon my secret love
Became impassioned to be free
So I told a friendly star
The way that lovers often do
Just how wonderful you are
And why I’m so in love with you.…
Semula, Mia berusaha menepis semua prasangka yang timbul di pikirannya karena lirik “Secret Love” itu. Meski demikian, tanda-tanda dari Djon mulai kelihatan: dia menulis sesuatu di buku hariannya dan tidak berani menatap mata Mia saat berbicara.
Djon bahkan mulai berani mengarang alasan saat Mia mendapatinya tengah duduk satu becak berdua dengan Rose yang bertandang ke Yogyakarta.
Mia awalnya bersikap tak acuh atas gelagat itu. Dia memilih tutup mata dan telinga terhadap dugaan affair yang dilayangkan pada suaminya. Mata Mia baru terbuka dan dadanya tersentak saat putri pertamanya, Nasti, pulang sekolah dengan cemberut dan mengadu padanya.
“Mosok, Bu, Naniek bilang Bapak sudah tidak suka dengan Ibu, lalu mau menikah dengan Bu Rose. Itu tidak benar, kan, Bu?”
Semua gejala keanehan Djon beberapa bulan terakhir itu pun kini terang-benderang di mata Mia. Ketika Djon mengajaknya ke sebuah pameran lukisan di Taman Siswa, Mia mengajaknya bicara empat mata.
Lalu, mengakulah Djon bahwa dia mencintai Rose sejak Juli 1956, kurang dari 2 minggu sejak putra bungsunya bersama Mia lahir. Dari pembicaraan inilah, Mia membulatkan tekadnya untuk menolak menjadi Subadra yang dimadu.
Mia menyerahkan putusan sepenuhnya pada Djon, meski dia tetap berharap datangnya mukjizat yang bisa menyadarkan Djon dari sesat jalannya itu.
Tak dinyana, Djon malah semakin lepas kendali dan dalam beberapa kesempatan justru membela perasaan Rose daripada istrinya sendiri. Lantaran sakit hati terhadap sosok yang pernah dia dewakan sebagai suami dan kekasih, Mia sempat gelap mata dan menenggak empat tabung pil kina hingga tak sadarkan diri.
Beruntung, nyawanya selamat. Mia pun memutuskan sendiri jalan terbaik menyelesaikan masalah yang kadung berbelit ini: cerai.
Seniwati di Simpang Kiri Jalan
Meski Djon dan Mia telah menyatakan perpisahan pada 26 November 1958, surat cerai mereka tak kunjung diterima Mia hingga akhir Mei 1959. Djon menyerahkan talak satu kepada Mia lewat KUA Yogyakarta dengan tunjangan Rp2.000 setiap bulan.
Jumlah tunjangan ini diprotes oleh teman-teman Mia karena dianggap terlalu sedikit untuk sembilan mulut. Saat Mia menulis surat untuk meminta tambahan, Djon membalas suratnya dengan sengit.
“Jika saudara tidak sanggup membesarkan anak dengan Rp2.000, kami di sini sanggup!” kata Djon.
Nada ketus dalam surat itulah yang menjadikan Mia mantap membesarkan anak-anaknya dengan kemampuan sendiri.
Resmi menanggalkan gelar “Nyi Sudjojono”, Mia memulai hidupnya dengan aktif berkegiatan di SIM yang pindah markas ke Jalan Bangirejo Taman 20. Dia ikut serta dalam pameran SIM di Surabaya pada medio 1959 dan menghadiri Kongres Lembaga Kebudajaan Rakjat (Lekra) di Solo pada Oktober 1959.
“Aku mengikuti sidang setiap lembaga, hanya diam mendengarkan diskusinya sambil mencatat karena aku belum menjadi anggota, datang hanya sebagai peninjau,” ungkap Mia dalam memoar keduanya Dari Kamp ke Kamp (2022, hal. 11).
Dalam acara ini, Mia bertemu eksponen Lekra seperti Njoto, Pramoedya Ananta Toer, dan Joebaar Ajoeb. Beberapa waktu sesudah kongres, Joebaar mengirim surat kepada Mia yang isinya menyatakan bahwa Mia telah resmi dicatat sebagai anggota Lekra.
Aktivitas Mia sebagai siswa sekaligus pamong di SIM cukup menyita waktunya. Sekali waktu, dia mewakili Lekra menjadi tim penilai dalam Lomba Kebersihan dan Keindahan tingkat provinsi di Jawa Tengah.
Mia mengajak anggota SIM mendaftar sebagai mahasiswa saat PKI membuka Universitas Rakjat (Unra) di Yogyakarta. Sebagai siswa, Mia memiliki progres saat berhasil menyelesaikan tahapan latihan melukis dengan arang dan mulai melukis dengan cat minyak.
Pengalaman-pengalaman emosional Mia selama berumah tangga agaknya menjadi faktor utama mengapa gaya dan corak melukisnya sangat dekat dengan sentuhan Sudjojono.
Saat markas SIM di Bangirejo Taman terjual bersamaan dengan pergantian sewa rumah Pakuningratan, Mia dan beberapa anggota SIM berkeliling Yogyakarta mencari bidang tanah untuk mendirikan sanggar baru.
Lokasi yang akhirnya dipilih Mia terletak di Desa Papringan, beberapa ratus meter dari Asrama Mahasiswa Realino. Lokasinya cukup terpencil, mempunyai view Merapi yang bagus, dan dilewati Kali Tunjang yang jernih. Lokasi paripurna inilah yang diidamkan oleh Mia.
Dia bahkan sempat terinspirasi membangun model kehidupan kolektif yang digagas pakar pedagogi Uni Soviet Anton Makarenko. Mia mengangankan SIM menjadi padepokan yang memproduksi makanan secara swasembada. Namun apa daya, mimpi ini pun batal karena SIM bubar jalan dan semua anggotanya memilih mengadu nasib ke Jakarta.
Saat PKI menggelar Konferensi Seni dan Sastra Revolusioner (KSSR) di awal September 1964, Mia menghadirinya sebagai Ketua Lekra Yogyakarta. Untuk pertama kali dalam hidup, Mia duduk di panggung sebagai anggota presidium sidang dan disaksikan ratusan pasang mata.
Di sini pula, Mia kembali bertemu Njoto. Dia lantas menawarkan jasa membuat lukisan tokoh-tokoh kiri seperti Marx, Lenin, dan lain-lain untuk dipigura di aula Comite Central PKI yang kala itu tengah dibangun. Namun, pekerjaan itu tidak sempat diselesaikannya.
Pekerjaan itu terbengkalai lantaran Mia memang kelewat sibuk. Pasalnya, Mia turut membantu dapur umum sukarelawati Dwikora yang berlatih di Yogyakarta, menghadiri ulang tahun KSSR pada September 1965, dan sempat merencanakan penerjemahan The Disintegration of Personality karya Fyodor Dostoevsky di bawah panji Lembaga Sastra Lekra.
Semua pekerjaan, rencana, dan aktivitas Mia sebagai seniwati dan organisatoris berputar haluan saat angin sejarah berubah pada 1 Oktober 1965.
Ketidakpastian menggelayut di hari-hari awal usai G30S 1965. Titik terang baru tampak ketika Tedjabayu ditangkap pada 20 Oktober 1965 dan selanjutnya menjadi tapol yang dibuang ke Pulau Buru. Berselang sebulan, Mia pun ikut ditangkap tanpa tahu kesalahannya.
Maka dimulailah episode baru kehidupan Mia sebagai tahanan politik, warga negara pariah yang dipaksa bertahan hidup di bawah ancaman laras bedil selama 13 tahun berikutnya.
Penulis: Chris Wibisana
Editor: Fadrik Aziz Firdausi