tirto.id - Situasi pandemi membuat kita dipaksa menelan kabar duka hampir saban hari. Pada Kamis, 25 Februari 2021, lini masa media sosial saya bertebaran ucapan belasungkawa: Tedjabayu Sudjojono berpulang pada usia 78 di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta Pusat.
Dari seluruh ucapan kalimat duka tersebut tergambar betapa luas lingkar pertemanannya. Jalan hidup Tedjabayu memang padat dan berliku. Hampir semua yang mengenalnya akan mengakui bahwa ia pribadi yang hangat, bersahaja, dan rendah hati; namun kukuh dalam sikap.
Saya bertemu dengannya di awal 2005 saat sedang mempersiapkan acara untuk memperingati 40 tahun tragedi politik 1965. Jauh sebelumnya, saya hanya kerap berpapasan di kantor YLBHI. Senyum hangat dan ramah segera terpancar dari raut muka Mas Tedja. Lalu meluncurlah sebuah kisah yang ia dedah dengan mata berbinar-binar:
Saat pulang dari pembuangan di Pulau Buru, sang ibu, Mia Bustam, dengan berkebaya dan berkain jarit, datang menjemputnya di Kodim Jakarta Barat. Mia tersenyum hangat dan menjabat tangan anaknya dengan kokoh sambil berucap, “C’est la vie, Dja!” (Itulah hidup, Dja!)
Kalimat ikonik itu, adegan pertemuan megah itu, mendekam di kepala saya berbelas tahun lamanya. Bayangkanlah ini:
Seorang pemuda usia 21 tahun, Tedjabayu, yang tengah bersemangat mengisi masa mudanya, berkuliah di Fakultas Geografi UGM dan aktif di organisasi Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) yang berafiliasi dengan PKI.
Seorang ibu delapan anak, Mia Bustam, perupa perempuan yang juga pengurus organisasi Seniman Indonesia Muda.
Keduanya telah terpisah selama 14 tahun. Tedja ditangkap pada Oktober 1965, masuk penjara Wirogunan, Ambarawa, Nusakambangan, lantas dibuang ke Pulau Buru dan bebas pada 1979. Mia Bustam ditangkap sebulan kemudian, tepat saat perayaan ulang tahun anak ketiganya. Ia dipenjara di Penjara Bulu Semarang, kemudian ditahan di kamp perempuan Plantungan, Kendal, Jawa Tengah.
Saat bertemu kembali, tak ada tangis haru biru. Hanya jabat tangan dan ungkapan gagah layaknya kawan lama yang akhirnya berjumpa. C’est la vie. Itulah hidup!
Kata itu kemudian dipakai oleh sutradara Ratrikala Bhre Aditya, anak sulung Tedjabayu, sebagai judul film pendeknya tentang kisah para tapol. Film ini telah diputar di berbagai festival.
***
Saya tidak mengenal Mas Tedja secara dekat sekali. Saya hanya kerap berinteraksi dalam kegiatan terkait advokasi korban pelanggaran HAM khususnya korban dan penyintas 1965.
Bagi saya, Tedjabayu adalah definisi utuh dari paduan keberanian, ketangguhan, dan konsistensi tiada henti. Hidupnya adalah kepingan sejarah bopeng negeri ini. Ia selalu berada di tengah pusaran gelombang politik Indonesia. Ketika politik kiri masih digdaya, ia menjadi salah satu aktivisnya dan ketika arus politik berubah ia pun tergulung dan dibuang selama 14 tahun tanpa proses pengadilan.
Kala Orde Baru tengah di pucuk kekuasaan, ia bekerja di kantor YLBHI sebagai Kepala Perpustakaan. Ia berperan penting dalam menyediakan dokumen-dokumen untuk proses advokasi. Dengan penguasaan atas teknologi internet yang masih langka pada masa itu, ia juga merintis jalur internet yang penting dalam kerja advokasi.
Pasca-Kerusuhan 27 Juli 1996 hingga menjelang Reformasi, Tedjabayu, yang bekerja di Institut Studi Arus Informasi (ISAI), ikut berperan aktif dalam memproduksi terbitan-terbitan bawah tanah saat media-media arus utama tak berani menyiarkannya. Aktivitas itu sebagian besar dilakukan secara klandestin, yang tentu berisiko tinggi. Tedja, yang telah menghabiskan 14 tahun di penjara, melakoninya tanpa gentar.
Setelah Orde Baru tumbang, Tedjabayu tak juga surut langkah. Selepas pensiun dari Kantor Berita Radio 68H, ia tetap aktif bersama para korban dan pegiat HAM untuk menyuarakan kebenaran. Tedjabayu sering sekali ada dalam acara-acara yang digelar aktivis dan para penyintas 1965. Mulai diskusi dan pameran, pertunjukan film, hingga konser musik. Biasanya ia akan ditemani sang istri tercinta, Tuti Pujiarti.
Mas Tedja juga nyaris selalu hadir dalam konser Paduan Suara Dialita, paduan suara para korban dan keluarga penyintas 65. Sri Nasti Rukmawati, adiknya, merupakan salah satu anggota Dialita.
Raut mukanya selalu riang jika bertemu dengan para kawan lama hingga anak-anak muda yang mau bergabung dalam kerja-kerja melawan lupa. Ketika ngobrol dengan mereka yang jauh lebih muda, ia tidak merasa paling tahu dan paling benar. Ia bersedia mendengarkan. Usai acara, biasanya ia akan menyalami dengan kuat dan hangat, “Ini acara penting dan bagus. Salut!”
Pada 2016, sebuah film dokumenter berjudul Pulau Buru: Tanah Air Beta besutan Rahung Nasution gagal diputar di Goethe Institute lantaran dibatalkan polisi atas desakan sebuah ormas. Acara pemutaran pun akhirnya pindah ke kantor Komnas HAM.
Film itu menampilkan kisah dua tahanan politik yang pernah dibuang ke sana: Hersri Setiawan dan Tedjabayu. Di film itu, Mas Tedja kembali mengunjungi gedung kesenian yang dibangun para tapol. Itu adalah kali kedua Mas Tedja menginjakkan kaki di Pulau Buru usai kepulangan pada 1979. Sebelumnya, pada 2003, ia ke sana sebagai utusan kantornya untuk peresmian sebuah radio.
Saya amat terkesan dengan kebesaran hati seorang Tedjabayu yang penuh kesanggupan memahami dan memaafkan atas apa saja. Berada dalam pusaran para korban dan keluarga penyintas 65 bukanlah perkara mudah. Mereka adalah para korban yang telah ditikam kekuasaan, puluhan tahun menyimpan sakit dan kemarahan yang kadang tertahan. Bersilang pendapat, kadang perselisihan, adalah hal yang jamak. Mas Tedja memilih legowo.
“Aku ki jan-jane yo pengen nesu. Ning wis ben wae yo, Mbak.” Suatu kali Mas Tedja bertelepon, berkisah seorang kawan yang kebetulan saya kenal. Saya mengiyakan. Lalu kami tertawa bersama. Seperti kawan lama, padahal usia kami cukup jauh berjarak.
Gemblengan panjang hidupnya telah menatah dirinya menjadi manusia yang kukuh. Ia telah menang atas rasa takut. Ia telah menang atas rasa marah dan dendam.
Jangan bayangkan percakapan dengannya hanya melulu tentang kisah haru-biru dalam penjara. Ia akan fasih bertutur tentang apa saja, tentang sejarah dunia hingga pesawat tempur. Pengetahuannya tentang geologi, sesuai bidang studi yang ditekuni saat kuliah, dengan gamblang memberi gambaran detail mengenai tanah persawahan di Pulau Buru. Dan tentu saja, perihal seni rupa.
Tedjabayu memang lahir dari keluarga seniman kiri. Ia adalah sulung dari pasangan seniman: S. Sudjojono, tokoh seni rupa modern Indonesia, dan Mia Bustam, yang juga seorang perupa.
Ia mengakui, sejak muda ia suka belajar. Saat di Pulau Buru, di tengah keterbatasan akses, secara sembunyi-sembunyi ia pelajari astronomi, mekanika, bahkan musik dan bahasa Prancis, selain tentunya geologi. Ia juga membaca novel-novel dunia yang dipinjam diam-diam dari Susteran Namlea. Hal itu menolongnya untuk tetap mengasah kepala dan tak tertinggal dari dunia luar kendati raganya terpenjara.
***
Mutiara di Padang Ilalang: Cerita Seorang Penyintas, yang baru diterbitkan pada penghujung 2020 oleh Penerbit Komunitas Bambu, adalah kisahnya meniti hari-hari panjang penuh belukar sebagai tahanan politik. Pada 20 Oktober 1965, ia ditangkap, lalu mulailah babak pengasingan dari penjara ke penjara.
Judul ‘Mutiara di Padang Ilalang’ adalah ungkapan dari seorang tentara berpangkat letnan bekas anggota Tjakrabirawa yang menjadi komandan kamp di Pulau Buru. “Saya ini kan seperti kalian, dibuang karena menjadi pengawal cita-cita Bung Karno. Bedanya saya bukan apa-apa, tetapi Anda ini bagaikan mutiara di padang ilalang seperti ini,” ujar sang letnan.
Tak mudah menyusun kisah yang telah berjarak lebih dari 40 tahun. Terlebih, Mas Tedja pernah terserang stroke yang mengakibatkan daya ingatnya banyak terkikis. Untunglah, dua buah catatan harian yang ia tulis sembunyi-sembunyi ketika di Pulau Buru membantu menuntun ingatannya.
Tidak mudah pula untuk mengurai kembali jejak luka di tengah negara yang tak pernah benar-benar punya kehendak untuk mengakui kesalahannya. Memoar pribadi ini menjadi gambaran sebuah wajah carut-marut negeri ini di mana ia ditangkap, disiksa, dan ditahan tanpa proses pengadilan.
Kepahitan-kepahitan itu ia tuliskan tanpa raungan marah dan dendam. Ia telah rampung mengolah rasa sakitnya sendiri. Buku tersebut adalah legacy penting Tedjabayu. Selain tentu sikap hidupnya yang kukuh. Penting bagi generasi hari ini untuk membacanya sebagai modal untuk mempelajari sejarah bangsa yang hingga kini masih terseok meniti jalan mengungkap kebenaran.
Namun mutiara itu tak pernah benar-benar pergi. Ia menetap menjadi teladan di batin dan pikiran kami. Langkahnya telah terhenti, tapi semangat juangnya terus abadi.
Di depan pusara Tedjabayu, saya ingin sekali membacakan bait-bait puisi favoritnya:
Kami bukan pembangun candi
Kami hanya pengangkut batu
Kami angkatan yang mesti musnah
Agar menjelma angkatan baru
Di atas pusara kami
Lebih sempurna
-- Henriette Roland Holtz