Menuju konten utama

Swing Kids: Cinta Segitiga Manusia, Perang, dan Ideologi

Lewat tap dance, mereka bermimpi keluar selamat dari perang.

Swing Kids: Cinta Segitiga Manusia, Perang, dan Ideologi
Poster film Swing Kids. FOTO/koreanindo.net

tirto.id - Latarnya di Pulau Geojo, Korea, sekitar 1951 sampai 1953. Perang Korea sedang bergemuruh. Di kamp itu ada sekitar 173 ribu tentara Korea Utara dan Cina yang ditahan. Ada pula tentara-tentara Amerika Serikat yang ikut campur, dan punya andil besar dalam perang saudara antara penduduk Utara dan Selatan Korea.

Orang-orang mati. Sipil ditahan, kalau tidak dipaksa ikut jadi martir. Keluarga bercerai-berai. Anak-anak jadi yatim-piatu. Suasana perang mencekam.

Tabrakan ideologi jadi pemicunya. Korea Selatan dituduh liberal dan sudah terpapar virus kapitalisme dari AS, sementara Korea Utara mengamini komunisme dan tak rela tanahnya tercemar kaki asing. Mereka tak lagi ingat kalau lahir di tanah yang sama. Perbedaan perspektif dan keyakinan menjalani hidup jadi ihwal fundamental yang mengaburkan fakta bahwa mereka masih saudara; dan bahwa perang cuma membawa duka dan petaka. Kebencian mulai mendarah daging.

Namun, di tengah kebisingan perang, kemanusiaan masih bertahan meski jalannya tertatih. Sutradara dan penulis naskahnya, Kang Hyoung-chul mengukir premis itu tebal-tebal. Ia mengumpulkan lima orang dengan latar belakang berbeda menjadi sebuah grup tari yang dinamai Swing Kids, yang juga jadi judul film ini.

Mereka adalah semangat kecil di tengah bengisnya perang, yang ingin menunjukkan bahwa jadi berbeda bukan berarti tak bisa bersama.

Kelompok kecil itu dipimpin M. Jackson (Jared Grimes), tentara kulit hitam AS sekaligus bekas penari tap di Broadway, yang ditunjuk bosnya untuk membentuk grup tari tap dance. Sang bos percaya pertunjukan seni bisa jadi hiburan menarik bagi jurnalis-jurnalis AS yang akan meliput ke sana. Ini taktik AS, agar perang saudara itu tetap terekam humanis.

Lewat audisi konyol, kocak, dan amburadul, Jackson akhirnya memilih Xiao Fang (Kim Min-Ho), seorang tentara Cina, dan Kang Byung-sam (Oh Jung-se), warga Korea Selatan, menjadi murid pertamanya. Ia juga merekrut Yang Pan-rae (Park Hye-su), gadis remaja warga Korea Selatan menjadi penerjemah sekaligus penari tambahan di timnya. Orang terakhir adalah Ro Ki-soo (Do Kyung-soo alias D.O dari EXO), seorang patriot-komunis-garis-keras dari Korea Utara.

Mereka memang tak serta-merta akrab. Jackson dan Ki-soo bahkan punya rutinitas tarung tari setiap kali bertemu, bahkan sering kali adu bacot meski satu sama lainnya saling tak mengerti bahasa yang diucapkan.

Lewat dialog-dialog Jackson dan Ki-soo, yang sering kali jenaka dan bersahut-sahutan, sutradara Hyoung-chul ternyata sedang memasang perangkap efek kejut di ujung film. Percakapan dua protagonis utama itu penuh bualan tentang mimpi, cita-cita, dan harapan. Terutama yang diucapkan Jackson. Ia selalu bercerita tentang indahnya hidup ketika perang sudah usai. Bahkan berhasil memantik bakat menari Ki-Soo, yang akhirnya lambat-laun mulai teralihkan dari kejamnya perang dan tajamnya ideologi yang disusupi ke kepala mereka.

Plot ini ditanam rapi dan sentimental. Sehingga, susah rasanya membayangkan kalau mimpi yang mereka pupuk (tentang tur di Amerika dan bisa menari di depan auditorium yang lebih besar) tak akan pernah terwujud.

Humor, tari, nyanyian, dan lagu-lagu latar dari David Bowie, The Beatles, Benny Goodman, dan penyanyi legendaris Korea Jung Su-ra terlalu rapi dijahit jadi pertunjukan meriah dan melankolis. Menonton kelima karakter utama itu merajut mimpi-mimpi mereka di tengah perang yang membara, bikin kita juga ikut berharap: bahwa perseteruan ideologi itu akan melunak, selentur gerakan tari mereka.

Tap dance memang dijadikan sutradara Hyong-chul sebagai simbol pemersatu lima karakter ini. Ia bukan hanya hiburan saat perang, tapi juga wadah untuk bisa berharap selamat hidup-hidup.

Fuck Ideology

Kelima tokoh utama punya motivasi masing-masing untuk bergabung dengan Swing Kids:

Jackson ingin pulang ke AS dan selamat dari perang; Xiao Fang suka menari, dan ingin lebih sehat karena punya masalah obesitas dan jantung yang lemah; Byung-sam ingin menghindari perang, dan menemukan istrinya; Pan-rae semata-mata demi uang, karena ia ingin tetap menghidupi adik-adiknya yang sudah yatim-piatu; sementara Ki-soo cuma merasa tertantang untuk mempelajari tap dance, dan akhirnya bisa melihat potensi lain yang bisa dipakai di hidupnya, selain jadi martir perang.

Motivasi-motivasi itu berbeda, tapi semuanya amat emosional. Kelima protagonis kita adalah korban dari perang saudara itu, baik mereka sadari (seperti Jackson, Pan-rae, dan Byung-sam) atau tidak (seperti Ki-soo).

Sutradara Hyoung-chul melempar perspektif anti-perangnya secara gamblang. Ia tak melihat ada yang untung dalam peperangan: tidak Korut, tidak Korsel, begitu pun AS. Sikap bersikeras mempertahan ego masing-masing demi menjunjung ideologi yang diyakini adalah yang ingin dikritiknya.

“Saya pikir perang adalah sesuatu yang menghasilkan sedikit orang bahagia dan mayoritas orang yang tidak bahagia. Jadi penjahat paling kejam dalam film saya adalah ideologi,” katanya pada Korea Times.

“Saya pikir enggak betul bahwa ideologi—sebagai kepercayaan sistematis—membuat atau sampai merusak kebahagiaan individu.”

Untuk itu, sebelum ujung cerita yang mengejutkan sampai, ia menampilkan pertunjukan tap dance dari Swing Kids yang berjudul: Fuck Ideology.

Infografik Misbar Swing Kids

Infografik Misbar Swing Kids

Kelimanya menari di depan para tentara dan jurnalis Amerika, sebelum akhirnya baku tembak terjadi di ruangan itu. Sebelumnya, ada pidato berapi-api dari Jackson yang mengkritik ideologi komunisme dan kapitalisme yang mereka ributkan.

Ditemani Sing Sing Sing-Benny Anderson, para member Swing Kids menari ke sana kemari di atas panggung. Penampilan mereka makin keren karena pilihan-pilihan angle mata kamera Hyoung-chul yang lincah, cerah, dan membakar semangat. Tak-tik-tuk derap sepatu mereka selaras dengan musik.

Tapi, saat kita pikir ujungnya akan bahagia, Hyoung-chul akhirnya menyelipkan sepersekian adegan sadis yang lebih baik tidak dideskripsikan dalam tulisan ini. Efek kejutnya amat kuat, sehingga adegan terakhir yang dikemas Hyoung-chul dengan tone nostalgia dan bahagia tetap tak bisa menghilangkan rasa nyeri akibat adegan sebelumnya.

Ujung ini, dan pesan anti-perang yang kental digambarkan Swing Kids jadi alasan mengapa ia adalah tontonan menarik. Bukan berarti ia sempurna, tapi dinamika cinta segitiga antara manusia, perang, dan ideologi digambarkan Hyoung-chul dengan sederhana. Meski dengan latar waktu lebih dari setengah abad lalu, problema yang disajikannya masih relevan dengan hari ini.

Baca juga artikel terkait FILM KOREA atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Film
Penulis: Aulia Adam
Editor: Nuran Wibisono