Menuju konten utama

Susahnya Awasi Kinerja BPJS Kesehatan setelah Audit BPKP Tertutup

Gugatan keterbukaan informasi BPJS Kesehatan kandas di pengadilan telah memicu kekhawatiran tertutupnya institusi publik terhadap pengawasan.

Susahnya Awasi Kinerja BPJS Kesehatan setelah Audit BPKP Tertutup
Pegawai melayani peserta BPJS Kesehatan, Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Rabu (22/4/2020). ANTARA FOTO/Makna Zaezar/foc.

tirto.id - Dokumen audit BPJS Kesehatan yang dikeluarkan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) kini terlarang untuk publik lewat putusan Majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta pada perkara 64/G/ KI/2020/PTUN.JKT. Sebelumnya dokumen audit atas permintaan Kementerian Keuangan ini dapat diakses setelah ada putusan Komisi Informasi Pusat (KIP).

Sejumlah pihak menyayangkan putusan ini. Egi Primayoga dari Indonesia Corruption Watch (ICW), lembaga non-profit khusus isu korupsi, hasil audit BPKP penting diketahui publik karena berkaitan dengan transparansi BPJS Kesehatan, terutama saat ada keputusan penaikan iuran bagi peserta non-penerima bantuan pemerintah.

"Hasil audit juga penting agar kita tahu, benar atau tidak langkah menaikkan iuran. Jangan-jangan sudah membebani warga, tapi obatnya salah," kata Egi kepada reporter Tirto, pekan lalu.

Egi merupakan pemohon dokumen audit ke KIP. Temuan audit BPKP pernah menunjukkan ada 1 persen fraud dari total anggaran BPJS Kesehatan. Fraud berarti adanya kecurangan dalam sistem yang menguntungkan pihak tertentu.

ICW sendiri telah lama mengkaji fraud dalam sistem BPJS Kesehatan. Pada 2018, mereka menemukan potensi fraud saat terjadi kekosongan obat di sistem BPJS Kesehatan.

Lewat dokumen tersebut ICW menilai penaikan iuran oleh BPJS Kesehatan untuk menutupi defisit bukan solusi. IVW menduga ada masalah lain di balik keputusan penaikan iuran, di antaranya mengenai tata kelola lembaga.

"Masalah pengelolaan JKN ada dalam audit yang dibuka oleh putusan KIP. Publik berhak tahu dan oleh karenanya harus dibuka," katanya.

Iuran BPJS Kesehatan dinaikkan per 1 Juli mendatang. Iuran kelas II ditetapkan Rp100 ribu dan kelas I jadi Rp150 ribu, sementara kelas III tetap Rp25.500 dan naik tahun depan menjadi Rp35.000 pada 2021.

Kendati putusan PTUN menganulir keterbukaan informasi audit BPKP, masih ada peluang untuk menggugat. Egi Primayoga ancang-ancang mengajukan banding.

Fian Alaydrus, peneliti dari Lokataru Foundation, organisasi yang fokus mengadvokasi masalah HAM, mengatakan hal serupa, bahwa berdasarkan audit, solusi defisit bukanlah menaikkan iuran.

"Temuan dari hasil-hasil audit ada praktik-praktik kecurangan. Ada praktik tata kelola yang buruk, tapi itu enggak dibuka. Selalu narasi utamanya adalah warga negara enggak tertib bayar," kata Fian kepada reporter Tirto, Kamis pekan lalu.

Terkait temuan fraud, Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris mengarakan mereka telah membuat sistem yang dapat menangkal itu. Hasilnya, ada Rp10,5 triliun diselamatkan selama 2019. Kepada Antara Fachmi berkata, “Angka potensi fraud tersebut masih jauh lebih rendah dari program jaminan kesehatan sosial yang dilakukan di Inggris yang mencapai 3 persen.”

Jalan Menaikkan Pendapatan

Menurut Direktur Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar, ada cara lain untuk menggenjot pendapatan BPJS Kesehatan selain menaikkan iuran. Salah satunya adalah pemaksimalan peserta.

Timboel mengutip data Jaminan Kecelakaan Kerja-Jaminan Kematian (JKK-JKM) BPJS Ketenagakerjaan. Setidaknya ada 19 juta orang yang terdaftar sebagai anggota. Sedangkan data di BPJS Kesehatan ada 16 juta dengan klaster yang sama.

"Selisih jumlah peserta seharusnya bisa dioptimalkan dan menjadi potensi penerimaan BPJS Kesehatan," katanya.

Dari data itu, kata dia, ada potensi keuntungan bisa mencapai hampir Rp6 triliun. Angka ini sebenarnya bisa menutup defisit.

"Potensi-potensi yang ada ini belum maksimal, sehingga gampangnya menaikkan iuran," ujarnya sembari menyatakan defisit tetap terjadi meski iuran naik. "Kalau dinaikin iurannya hanya bermuara peningkatan tunggakan iuran, mau ngapain? Artinya harus terbuka bagaimana cara menyelesaikannya," katanya menegaskan.

Baca juga artikel terkait PENELITI ICW atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Zakki Amali