tirto.id - BPJS Kesehatan diprediksi defisit Rp185 miliar hingga akhir tahun nanti, kata Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR RI, Kamis (11/6/2020). Meski demikian, menurutnya situasi ini "kurang lebih membaik" dibanding tahun-tahun sebelumnya.
"Tahun berikutnya program bisa membaik, membayar rumah sakit, dan tidak sampai gagal bayar cukup panjang seperti pengalaman," kata Fachmi optimistis.
Defisit diprediksi tetap terjadi meski iuran BPJS Kesehatan dinaikkan lewat Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 per 1 Juli nanti.
Besaran iuran untuk peserta kelas 3 pada Juli-Desember 2020 sebesar Rp25.500 per bulan, dengan detail Rp16.500 dibayar pemerintah pusat dan sisanya dibayar sendiri oleh peserta. Tahun depan naik jadi Rp35 ribu, Rp28 ribu dibayar sendiri oleh peserta dan sisanya ditanggung pemerintah.
Iuran untuk kelas 2 menjadi Rp100 ribu per bulan, dibayar sendiri oleh peserta atau pihak lain atas nama peserta. Sementara iuran untuk kelas 1 menjadi Rp150 ribu, juga dibayar oleh peserta atau pihak lain atas nama peserta.
Iuran sempat dinaikkan pada 1 Januari lalu lewat Perpres 75/2019. Rinciannya: kelas 3 Rp42 ribu/bulan; kelas 2 Rp110 ribu per bulan; dan kelas 1 Rp160 ribu/bulan. Peraturan ini lantas digugat ke Mahkamah Agung (MA) oleh Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI), dan dikabulkan Maret lalu.
Konsekuensi putusan MA, tarif kembali menggunakan peraturan lama: kelas 3 Rp25.500 ribu/bulan; kelas 2 Rp51 ribu per bulan; dan kelas 1 Rp80 ribu/bulan. Tapi lewat peraturan baru iuran kembali dinaikkan.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan iuran dinaikkan dalam rangka "menjaga keberlangsungan BPJS Kesehatan."
Menurut Fachmi, kenaikan iuran ini memang tidak serta merta menyelesaikan masalah menahun defisit BPJS Kesehatan. "Karena besaran iuran yang diputuskan masih jauh dari aktuaria, khususnya PBPU (Pekerja Bukan Penerima Upah)," katanya.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Rio Apinino