tirto.id - Di era Jokowi, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara sepihak sudah sering diterapkan. Kebanyakan buruh, direbut haknya tanpa ada bantuan yang maksimal dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker). Saat pandemi Corona atau COVID-19, nasib buruh semakin buruk. Mereka dipojokkan berbagai aturan baru dari pemerintah yang dianggap memanjakan perusahaan dan memangkas hak buruh.
Kemnaker menyebutkan, 2.084.593 buruh sektor formal dari 116.370 perusahaan menjadi korban PHK dan dirumahkan. Hal itu berdasarkan data, per 20 April 2020. Sedangkan di sektor informal, terdapat 538.385 buruh dari 31.444 UMKM, kehilangan pekerjaan selama masa krisis kesehatan pandemi Corona atau COVID-19.
Ketua Umum Konfederasi Kongres Aliansi Buruh Indonesia (KASBI) Nining Elitos, mengeluhkan nasib 35 ribu anggotanya yang menjadi korban kebijakan perusahaan merumahkan buruh dan PHK.
"Dalam situasi krisis kesehatan dan krisis ekonomi, buruh menjadi roda perekonomian yang tidak bisa seratus persen bekerja di rumah. Tapi kenapa dihantam?" keluh Nining kepada reporter Tirto, Jumat (15/5/2020).
Terlebih, kata Nining, penerbitan Surat Edaran (SE) Menaker, Nomor M/3/HK.04/III/2020 tentang Pelindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan COVID-19. Aturan tersebut menyatakan, perusahaan terdampak secara finansial akibat pandemi COVID-19 dapat merundingkan pembayaran upah dengan pekerja hingga menuai kesepakatan.
Surat edaran yang dibuat Menaker Ida Fauziyah tersebut, kata Nining, semakin memperparah kondisi hidup buruh dalam masa krisis.
"Pasca surat edaran itu, buruh banyak yang di-PHK, dirumahkan, di-PHK sepihak. Apakah buruh dapat hak? Tidak," tuturnya.
Nining menduga, ada perusahaan yang menjadikan SE Menaker dan COVID-19 sebagai dalih merumahkan dan melakukan PHK massal.
"Dalam situasi normal saja, tidak ada perusahaan yang transparan dan mau diaudit terbuka. Apalagi dalam kondisi sekarang [...] Orang diminta di rumah, sementara hak tak dipenuhi," ketusnya.
Belum surut kekecewaannya terhadap negara. Terbit Surat Edaran Menaker, Nomor M/6/HI.00.01/V/2020 tentang Pelaksanaan Pemberian THR Keagamaan Tahun 2020 di Perusahaan Dalam Masa Pandemi COVID-19. Terdapat klausul, apabila perusahaan tidak mampu membayar THR pada waktu yang sesuai perundang-undangan, harus ada dialog dengan pekerja.
Proses dialog dilakukan secara kekeluargaan dan dilandasi keterbukaan laporan keuangan internal perusahaan. Dialog tersebut, sesuai SE itu, dapat menyepakati tiga hal: satu, pembayaran THR secara bertahap jika perusahaan tidak mampu membayar penuh; dua, pembayaran THR ditunda jika perusahaan tak mampu bayar sama sekali; tiga, waktu dan cara pengenaan denda keterlambatan pembayaran THR.
SE itu, menurut Nining, menambah beban berat bagi pekerja. Usai di-PHK, dirumahkan, sekarang pemberian THR harus dicicil.
"Ini sama saja kami dipaksa menghindari penyakit. Tapi dibiarkan mati di rumah sendiri," ujarnya.
Terombang-ambing Kebijakan
Sebulan usai kasus pertama terjangkit COVID-19 diumumkan Presiden Joko Widodo, pada awal Maret 2020, Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) menaksir, akan muncul dampak yang besar bagi para buruh. Maka dari itu, mereka mendirikan posko pengaduan untuk buruh yang terdampak.
Sekretaris Jenderal (Sekjend) DPP GSBI Emelia Yanti Siahaan mengatakan, awalnya posko dibuka untuk anggota. Namun seiring waktu mengakomodir non-anggota. Posko tersebut menerima pengaduan berupa pekerja di-PHK, dirumahkan, pembayaran upah tak layak, sampai kasus PHK tanpa surat.
"Di Jawa Tengah, kami menemukan buruh di-PHK tanpa surat. Sehingga mereka kesulitan mengakses kartu prakerja. Jumlahnya 117 pekerja dari 5 pabrik," ujar Yanti kepada reporter Tirto, Jumat kemarin.
GSBI juga menemukan, pengaduan kasus perusahaan yang tidak melaporkan kebijakan PHK dan merumahkan pekerja ke Disnaker setempat. Sehingga Yanti menduga, data nasional Kemenaker belum menunjukan kondisi sebenarnya di lapangan.
"Pemerintah kurang proaktif, hanya menunggu bola. Tidak ada tinjauan ke lapangan," keluhnya.
Bahkan, kata Yanti, ada satu perusahaan di Karawang, Jawa Barat yang menetapkan pembayaran THR 50 persen tanpa melalui dialog dengan pekerja.
"Sehari setelah SE [Menaker] THR diumumkan, perusahaan langsung menetapkan [besaran THR] tanpa dialog. Mengabaikan serikat buruh," ujarnya.
GSBI pun tak sepakat jika perusahaan menjadikan SE THR sebagai rujukan membayar THR. Mereka mendesak agar pemberian THR, dibayar penuh sesuai ketentuan perundangan-undangan yang berlaku.
Menurutnya tak masuk logika jika, secara mendadak saat pandemi COVID-19, perusahaan tak mampu secara finansial. Sebab perusahaan telah menahun mengakumulasi keuntungan dari para buruh.
"Sebelum COVID-19 banyak kasus THR tidak dibayar. Kok sekarang kita diajak berempati dengan pengusaha? Dalam kondisi stabil juga, mereka tak berempati," ujarnya.
Adapula, perusahaan yang memberlakukan PHK bagi pekerjanya dengan dalih: force majeure. Bisa disebut juga, keadaan yang terjadi di luar kemampuan manusia sehingga kerugian tidak dapat dihindari. Alasan force majeure diatur dalam Pasal 164 UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
Sementara Presiden Joko Widodo melalui Keppres Nomor 12 Tahun 2020 telah menetapkan situasi saat ini sebagai bencana nasional.
"Perusahaan pakainya force majeure. Tidak bisa itu. Ini bukan bencana alam," tegasnya.
Posko Kemnaker Mandul Solusi
Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah meresmikan Posko Pengaduan Tunjangan Hari Raya (THR) Keagamaan Tahun 2020 di provinsi, kabupaten, kota seluruh Indonesia. Posko tersebut akan diperuntukan untuk mengakomodasi para pekerja agar mendapatkan THR sesuai ketentuan yang ada.
Menyoal posko tersebut, Nining Elitos bersikap tak acuh. Menurutnya hal tersebut merupakan cara lama Kemnaker yang terulang setiap tahun, tanpa kepastian penindakan.
"Kalau posko hanya mengumpulkan data, kami juga bisa. Tapi yang dibutuhkan adalah posko yang bisa menindak tegas perusahaan yang nakal," ujarnya.
Senada, Emelia Yanti Siahaan juga mempertanyakan posko yang dimaksudkan untuk memastikan pekerja mendapatkan hak THR-nya.
Ia menilai pendirian posko merupakan kebijakan yang ganjil. Sebab persoalan THR bermuara dari SE THR yang diterbitkan pemerintah sendiri.
"Andaikan ada pekerja dapat THR 50 persen, terus mengadu ke posko Kemnaker. Terus mau di apain? Kan tak jelas posko itu," ujar Yanti.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Dieqy Hasbi Widhana