tirto.id - Serikat buruh kompak menolak Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja tentang Tunjangan Hari Raya (THR). Peraturan baru ini dinilai hanya akan merugikan buruh yang hidupnya sudah susah selama masa pandemi COVID-19, juga dianggap bertentangan dengan peraturan lain yang berdasarkan hierarki peraturan perundang-undangan ada di atasnya.
Surat Edaran Menaker Nomor M/6/HI.00.01/V/2020 membuka peluang THR tak dibayar tepat waktu. Di sana disebutkan harus ada dialog antara pengusaha dan pekerja/buruh jika "perusahaan tidak mampu membayar THR Keagamaan pada waktu yang ditentukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan"--yaitu paling lambat tujuh hari sebelum hari raya.
"Proses dialog tersebut dilakukan secara kekeluargaan. Dilandasi dengan laporan keuangan internal perusahaan yang transparan dan itikad baik untuk mencapai kesepakatan," kata Menaker Ida Fauziyah dalam surat.
Dialog tersebut, tulis surat, dapat menyepakati tiga hal: satu, pembayaran THR secara bertahap jika perusahaan tidak mampu membayar penuh; dua, pembayaran THR ditunda jika perusahaan tak mampu bayar sama sekali; tiga, waktu dan cara pengenaan denda keterlambatan pembayaran THR.
Alasan Pengusaha
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menganggap SE ini hanya akan jadi alibi perusahaan agar dapat mencicil atau bahkan menunda pembayaran THR. Syarat 'buka-bukaan' laporan keuangan perusahaan untuk membuktikan bahwa mereka memang tengah kesulitan, misalnya, sulit terjadi di lapangan. Perusahaan cenderung tidak mau berkomunikasi dan memutuskan mekanisme pembayaran THR secara sepihak.
"Mengacu pada kasus PT Yongjin dan PT Doosan di Sukabumi yang membayar THR dengan cara mencicil, justru mengakibatkan terjadinya hubungan industrial yang tidak harmonis. Buruh akhirnya melakukan aksi yang melibatkan ribuan orang," ujar Presiden KSPI Said Iqbal kepada reporter Tirto, Rabu (13/5/2020).
KSPI yakin hal serupa terjadi di banyak tempat. Oleh karenanya mereka membuka posko di 30 provinsi. Selain terkait THR, para buruh juga bisa mengadu jika ada pelanggaran-pelanggaran ketenagakerjaan lain seperti PHK sepihak.
"Setelah Lebaran, KSPI akan melakukan gugatan perdata secara massal kepada perusahaan-perusahaan tersebut," ujar Iqbal. "Kami akan menuntut mereka membayar THR secara penuh plus denda 5 persen."
Iqbal juga mengatakan KSPI menggungat SE ini ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Mahkamah Agung. Gugatan didaftarkan kemarin.
Protes juga dilayangkan DPD Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) Papua Barat. Ketua DPD GSBI Papua Barat Yohanes Akwan mengatakan SE ini berpotensi membuat "perusahaan mengotak-atik hak THR para buruh dengan berbagai cara."
Dalam keterangan tertulis, Rabu, Yohanes meminta gubernur, bupati, dan wali kota di Papua Barat untuk mendesak perusahaan membayar THR 100 persen. Hal ini penting karena menurutnya dalam situasi normal saja banyak perusahaan yang membandel tidak membayar THR secara penuh.
Pengawasan dapat dilakukan dengan "melibatkan unsur serikat buruh, serta membentuk posko pengaduan di tingkat provinsi sampai kota/kabupaten."
SE Vs Permenaker dan PP
Alasan lain kenapa serikat-serikat menolak SE ini adalah karena ia bertentangan dengan peraturan yang ada di atasnya, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan (PP Pengupahan).
"PP Pengupahan mewajibkan pengusaha membayar THR selambatnya H-7 lebaran. Bila terlambat akan dikenai denda 5 persen [dari total THR]," kata Presiden KSPI Said Iqbal.
Pasal 7 mengatur waktu pembayaran maksimal H-7, sementara soal denda 5 persen terdapat dalam pasal 56.
PP Pengupahan dipertegas oleh Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor 6 Tahun 2016. Waktu pembayaran maksimal diatur dalam pasal 5 ayat (4), sementara denda 5 persen terdapat di pasal 10 ayat (1). Permenaker ini merupakan aturan turunan dari PP Pengupahan.
Kedudukan hukum PP dan Permenaker ada di atas Surat Edaran. Oleh karena itulah pengusaha semestinya menggunakan dan patuh dengan PP Pengupahan dan Permenaker, bukan SE, kata Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati kepada reporter Tirto.
Asfin mengatakan SE ini adalah bentuk pelepasan tanggung jawab pemerintah terhadap para pekerja. Alasannya sederhana, para pengusaha dan buruh dibiarkan berdialog tanpa campur tangan pemerintah. Karena itu sulit memastikan pengusaha benar-benar membuka laporan keuangan mereka.
Peran pemerintah hanya menerima laporan setelah buruh-pengusaha berdialog--sebagainya bunyi poin 3 SE. "Seharusnya [perusahaan] yang tidak mampu, menginformasikan ke Disnaker. Kemudian dilihat benar atau tidak [mampu secara finansial]," kata Asfin. "Mereka (pengusaha) akan bilang saja tidak mampu [bayar]. Terus bagaimana buruh bisa memverifikasi?"
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino