Menuju konten utama
4 Mei 1949

Superga: Kecelakaan Pesawat yang Mengubah Nasib Sepakbola Italia

Bukit celaka.
Duka tim sepakbola,
luka dunia.

Superga: Kecelakaan Pesawat yang Mengubah Nasib Sepakbola Italia
Ilustrasi Tragedi Superga (4 Mei 1949). tirto.id/Sabit

tirto.id - Jika saja dahulu Valentino Mazzola tidak mengiyakan undangan Francisco Jose Ferreira untuk menggelar laga persahabatan antara Benfica dengan Torino, mungkin Italia tidak akan berkabung dan II Toro masih menjadi salah satu tim terkuat di Italia hingga saat ini. Tetapi, apa boleh bikin, garis nasib telah kadung diputuskan: 4 Mei 1949, tepat hari ini 69 tahun lalu, Mazzola tewas bersama 30 orang lain dalam sebuah kecelakaan pesawat yang dinamakan tragedi ‘Superga’.

Laga persahabatan tersebut sejatinya merupakan bentuk seremonial bagi Ferreira yang pada akhir musim memutuskan pensiun. Kapten Benfica itu memilih Torino karena selain Mazzola adalah sahabatnya, saat itu II Toro juga merupakan tim terbaik Italia. Ada kebanggaan, menurutnya, jika pensiun setelah melawan tim hebat.

Manajemen Torino menyanggupi ajakan tersebut. Mereka lantas meminta izin kepada Federasi Sepakbola Italia (FIGC) agar laga kontra Inter Milan di Serie A dimajukan menjadi 30 April 1949. Lampu hijau diberikan FIGC. Tetapi manajemen Torino mewanti-wanti hal lain: para pemain harus tetap bertanding maksimal melawan Nerrazzuri. Mazzola, sebagai kapten tim, memastikan ia dan rekan-rekannya akan bermain serius. Kendati kemudian laga berakhir 0-0, skor itu sudah cukup untuk memastikan II Toro sebagai kampiun di Italia.

Pada Minggu pagi, 3 Mei 1949, Torino berangkat ke Lisbon, Portugal, dengan membawa 18 pemain inti dan lima staf pelatih. Laga dilangsungkan malam harinya di Estádio do Campo Grande, markas Benfica, di hadapan sekitar 40.000 penonton. Tuan rumah menang tipis 4-3 dalam laga seru tersebut.

Keesokan harinya, 4 Mei 1949, skuat Torino pulang dengan menaiki pesawat Fiat G212 jurusan Barcelona-Turin yang transit di Lisbon. Selain mereka, di pesawat tersebut juga terdapat tiga jurnalis: Renato Casalbore (pendiri Tuttosport), Luigi Cavallero (La Stampa), Renato Tosatti (Gazzetta del Popolo); serta lima awak pesawat: Pierluigi Meroni (pilot), Antonio Pangrazi, Celestino D'Inca, Cesare Biancardi, Andrea Bonaiuti. Total ada 31 orang di dalam pesawat.

Pukul 09.40 waktu setempat, pesawat lepas landas dan mendarat di Barcelona pada pukul 13.00 untuk mengisi bahan bakar. Selewat dua jam setelahnya, pesawat kembali berangkat. Dari Barcelona, rute penerbangan melewati Cap de Creus, Toulon, Nice, Albenga, dan Savona. Setelah mencapai teritori Italia, dan sekitar 30 menit lagi tiba di tujuan, petaka tiba. Badai muncul disertai hujan lebat di daerah Superga. Pandangan pilot hanya dapat menjangkau hingga radius 40 meter.

Meroni melaporkan keadaan cuaca kepada menara pengawas bandara Turin-Aeritalia. Namun, cuaca buruk membuat komunikasi putus-putus. Pukul 17.05, tak ada lagi suara terdengar dari radio. Senyap. Tujuh menit setelahnya, dalam kebingungan yang menyeruak, tersebar kabar horor dari pihak kepolisian: sebuah pesawat menabrak bukit Superga. Tiga puluh satu orang di dalamnya tewas seketika.

Lebih dari setengah juta orang turun ke Palazzo Madama untuk memperingati upacara pemakaman yang dilangsungkan dua hari setelahnya. Sekitar 30.000 orang lain berjalan beriringan menuju Superga untuk memberi penghormatan terakhir. Manajemen dan skuat Juventus juga turut serta dalam upacara. Mereka pulang kembali ke Turin setelah berada di Sicilia dan menunda laga tandang kontra Palermo. Bahkan gelandang Bianconeri, Teobaldo Depetrini, berada di rombongan pertama yang mencapai puncak Superga.

Ketua FIGC kala itu, Ottorino Barassi, sambil terisak di depan peti para korban, memberi pidato khusus.

“Sebelum kita mengucapkan selamat tinggal untuk terakhir kalinya, saya harus memenuhi tugas yang berat. Saya memberitahukan kepada kalian, para saudara tercinta, bahwa Torino telah memenangkan gelar yang kelima. Kalian telah memenangkannya sekali lagi. Saya akan tetap melihat anak-anak muda yang telah menyaksikan kalian, belajar seni sepakbola dari kalian, juga belajar memahami loyalitas dan tekad kuat untuk terus mencintai olahraga ini. Mereka akan selalu ada untuk kalian.”

Di depan peti Mazzola, sang kapten II Toro, ia memberikan euloginya.

“Kapten Valentino, ini pialanya, piala kelima, tersenyumlah. Ini adalah piala yang besar. Piala Torino. Lihatlah. Begitu besarnya hingga saya tak mampu melihat di mana ujungnya. Piala ini berisikan cinta dari seluruh dunia. Rasakan denyutnya, rasakanlah. Dengarkanlah mereka, Valentino. Tuhan memberkatimu.”

Diiringi para pemain muda dari Torino dan Juventus, rombongan jenazah lalu diantar ke Duomo—istilah lazim di Italia untuk menyebut katedral—sebelum dimakamkan di Monumental Cemetery of Turin.

Sejak saat itu, lanskap sepakbola Italia berubah total dan kebesaran Torino, hingga hari ini, belum juga muncul kembali. Sementara Ferreira, “terdakwa” yang mengawali semua tragedi ini, tak pernah bisa pulih dari trauma hingga tutup usia.

Superga dalam Rivalitas Torino vs Juventus

Pada medio 1940-an, Torino adalah raja di Italia. Lupakan Juventus, AC Milan, atau Inter saat itu. Sepanjang tahun 1943 s/d 1949, sebagai contoh, II Toro selalu menjadi juara Serie A berturut-turut. Julukan yang disematkan kepada mereka pun membuat gentar: ‘II Grande Torino’—The Great Torino.

Kehebatan Torino pada masa itu juga terlihat dari betapa dominannya pemain mereka di tim nasional Italia. Dari 18 pemain yang tewas dalam Tragedi Superga, tujuh di antaranya merupakan pemain tim nasional. Butuh 44 tahun bagi Gli Azzurri untuk pulih dari tragedi tersebut dan kembali menjadi juara dunia setelah meraihnya secara beruntun pada 1934 dan 1938.

Torino lahir dari pembangkangan. Sebermula dari beberapa pengurus Juventus, termasuk mantan presiden Juventus dan penyandang dana terbesar, Alfredo Dick, yang merasa tidak sejalan dengan manajemen klub. Mereka kemudian memilih keluar dan membentuk kembali Football Club Torinese. Dick pun turut mengajak beberapa pemain dari klub tertua nomor empat di Italia tersebut untuk bergabung. Pada 3 Desember 1906, Torino resmi berdiri.

Dalam perjalanannya, Vittorio Pozzo, pelatih legendaris yang kelak membawa Italia juara dunia dua kali dan penemu taktik ‘Metodo’ 2-3-2-3 (W-W), juga diikutsertakan sebagai direktur teknik. Pozzo sendiri merupakan bekas pemain Torino sepanjang lima musim, 1906-1911.

Sebagai klub yang lahir dari pembangkangan atas klub sebelumnya, Torino dan Juventus tentu bermusuhan. Pertemuan antar keduanya berlangsung pertama kali pada 13 Januari 1907 dan dimenangkan Torino 2-1. Terdapat dua hal yang mesti digarisbawahi dalam laga tersebut: 1) Itu laga resmi pertama milik Torino, 2) Itu juga derby pertama di Italia. Laga antar keduanya kelak dinamakan ‘Derby della Mole’.