tirto.id - Walau telah berusia 81 tahun, Silvio Berlusconi masih belum memikirkan pensiun. Kendati rekam-jejak karier politiknya dipenuhi berbagai macam dakwaan, mulai korupsi, penggelapan pajak, dan skandal seks, ia tak jera sama sekali. Buktinya pada pemilu Minggu (4/3) kemarin Berlusconi kembali tampil di panggung politik untuk memimpin koalisi kanan tengah.
Namun, hasil pemilu legislatif tersebut sudah pasti berada di luar perkiraan Berlusconi. Kendati koalisi yang dipimpinnya menang namun partai Forza Italia yang menjadi kendaraan politiknya selama ini hanya menempati urutan ke-4 dengan perolehan suara 13.94 persen. Masih kalah dari Partai Lega -- yang sebenarnya sama-sama berspektrum politik di kanan -- yang mendulang suara 17.69 persen.
Kekalahan Forza Italia membuat Matteo Salvini, pemimpin Partai Lega, mengklaim lebih punya legitimasi untuk maju sebagai perdana menteri daripada Antonio Tajani, orangnya Berlusconi. Ia terpaksa mengajukan Antonio Tajani karena tidak bisa lagi menduduki jabatan publik apapun. Kondisi itu harus diterima Berluscono karena ia divonis bersalah akibat penggelapan pajak pada 2012 silam.
Situasi terakhir inilah yang mungkin menjadi akhir dari karier politik Berlusconi. Sebagai orang yang paling lama menjabat perdana menteri Italia pasca Perang Dunia 2, warisan politik yang ditinggalkan Berlusconi memang bisa dikatakan, merujuk laoran The Economistberjudul "The Cavaliere and the Cavallo", lebih banyak mudaratnya. Jika ada hal yang membuat orang mengingat nama Silvio Berlusconi tanpa perasaan tak enak, kemungkinan besar hal itu merujuk AC Milan.
Dari Penyanyi sampai Konglomerat Media
Silvio Berlusconi lahir di Milan pada 29 September 1936 dari keluarga kelas menengah. Sejak kecil mengidolakan Frank Sinatra, Nat King Cole, dan Yves Montand -- ketiganya adalah penyanyi. Pekerjaan pertama lelaki kelahiran 29 September 1936 setelah lulus sekolah adalah menjadi penyanyi di kapal pesiar yang biasa membuang sauh di Laut Tengah.
Namun, karier Berlusconi sesungguhnya dimulai ketika ia mendirikan perusahaan konstruksi Edilnord selepas lulus kuliah dari Fakultas Hukum Universitas Milan pada 1961. Mendapat pinjaman uang dari bank tempat ayahnya bekerja, ia menjadi pengembang properti. Milano 2, sebuah kawasan hunian tertutup yang ia bangun, mencapai sukses besar.
Kesuksesan awal di bidang properti tersebut membuatnya mulai merambah bisnis media dengan mendirikan perusahaan TV kabel TeleMilano pada 1973. Perusahaan TV tersebut kemudian akan berkembang menjadi Canale 5. Bersama Italia 1 dan Rete 4 yang dibeli dari keluarga Rusconi pada 1982, ketiga kanal itu menjadi jaringan TV komersial pertama di Italia.
Di saat televisi Italia masih di dominasi stasiun milik negara, dengan acara monoton dan jam tayang terbatas, kemunculan jaringan TV Berlusconi memberi angin baru. Menurut David GoIdblatt dalam The Ball is Round: A Global History of Soccer (2006) Berlusconi juga mengimpor film-film Hollywood kelas dua (B-movies), drama dan acara komedi TV Amerika, kartun, kuis, dan gosip selebritas sembari tak lupa menyelipkan program-program iklan yang sebagian besar dibuat oleh firma iklan raksasa miliknya sendiri, Publitalia. Jaringan TV Berlusconi pula yang mula-mula menaruh acara di atas pukul sebelas malam.
“Dalam bisnis properti apa yang Anda rencanakan hari ini akan terealisasi dalam jangka 10 tahun. Namun, dalam bisnis televisi apa yang Anda pikirkan di pagi hari, malamnya sudah ada di layar kaca,” ujar Berlusconi seperti dicatat Paul Ginsborg dalam Silvio Berlusconi: Television, Power, dan Patrimony (2005)
Sayap bisnis Berlusconi memang terus mengepak hingga meliputi jaringan toko serba ada, gedung bioskop, penerbit dan mengkonsolidasikan kerajaan bisnisnya itu lewat perusahaan induk Fininvest yang memayungi sampai 150 perusahaan. Namun, industri TV yang berpengaruh besar sekaligus membuka pintu yang luas kepadanya untuk mengelola klub sepakbola.
Media dan Sepakbola
Awal 1980-an, AC Milan adalah klub yang sedang dirundung masalah. Terlibat skandal pengaturan skor Totonero. yang juga menjerat para pemain seperti Paulo Rossi, membuat prestasi Milan terpuruk. Klub berjuluk Rossoneri itu sampai turun ke Seri B untuk kali pertama sepanjang sejarahnya. Tidak hanya sekali anjlok ke Serie-B, tapi sampai dua kali, yaitu pada musim 1980/81 dan 1982/83.
Meski cepat bangkit dan kembali berkompetisi di Seri A permasalahan Milan ternyata belum hilang. Lilitan utang menjadi penyebab. Banyak pemain yang gajinya ditunggak, begitu pula utang sebesar 600 ribu poundsterling -- merujuk laporan FourFourTwo -- kepada Manchester United dari pembelian Ray Wilkins. Di tengah kondisi inilah Berlusconi datang sebagai penyelamat Milan pada 1986.
Apa yang dilakukan Berlusconi di Milan tidak hanya menyelamatkan klub yang tengah oleng. Ia bahkan menyulap klub yang -- kebanyakan pada masa itu -- masih dijalankan secara tradisional menjadi sebuah jenama (brand) yang moncer.
“Milan adalah sebuah tim, namun juga sebuah produk untuk dijual; komoditas yang ditawarkan di pasar,” ujar Berlusconi beberapa hari setelah membeli klub dalam konferensi pers, dikutip dari laporan berjudul "How Silvio Berlusconi's Three-Decade Milan Reign Has Shaped Modern Football" yang diterbitkan FourFourTwo.
Untuk menjalankan visinya itu, media televisi yang dimilikinya menjadi faktor penting dan dikerahkan semaksimal mungkin. Acara diskusi sepakbola, hak siar, dan program-program berita memenuhi kanal TV milik Berlusconi karena ia memahami “sepakbola Italia di era TV bukan hanya sekadar olahraga dan perusahaan melainkan juga industri hiburan...,” tulis Goldblatt.
Tak hanya itu, Berlusconi pun menginvestasikan modalnya pada pembangunan fasilitas latihan, renovasi stadion, dan menanamkan mentalitas korporat kepada pengurus klub dengan mengundang psikolog. Hasilnya, menurut Matt Barker, Milan yang pada 1982 bernilai 3.8 juta lira melonjak menjadi 970 miliar pada 1988.
Perubahan-perubahan yang dilakukan Berlusconi di tataran klub paralel dengan prestasi AC Milan di lapangan. Selang satu tahun setelah dibeli Berlusconi, Milan yang berada di bawah asuhan Arrigo Sacchi merengkuh scudetto pertamanya sejak musim 1978/79. Selama dua tahun berikutnya, Milan menjuarai European Cup (sekarang Liga Champions) secara berturut-turut. Prestasi ini merupakan awal dari 29 tropi yang akan dimenangi Milan selama 31 tahun kepemimpinan Berlusconi sebelum menjualnya pada konsorsium Cina pada 2017.
Selaras pula dengan visi Berlusconi yang melihat sepakbola sebagai industri hiburan, prestasi Milan diraih lewat permainan aktraktif yang berseberangan dengan stereotipe sebakbola Italia yang monoton, mengandalkan strategi bertahan. Diisi pemain-pemain bintang seperti Ruud Gullit, Frank Rijkaard, Marco van Basten, layaknya produk komersial, aura glamor dan mewah melekat pada Milan -- baik dalam profil maupun dalam cara bermain.
Namun, apa yang dilakukan Berlusconi sebagai presiden klub tak hanya mengubah wajah AC Milan saja, melainkan juga menjadi prekursor arah yang akan diambil sepakbola modern. Miguel Delaney menulis untuk Independent:
“Model bisnis penyiaran Silvio Berlusconi di medio 1980-an mentransformasi aspek ekonomi sepakbola, mendorong lahirnya Liga Premier Inggris dan format Liga Champion, serta membuatnya menjadi bisnis internasional yang tepat. Banyak yang mulai berinvestasi untuk meraih keuntungan, membuat sepakbola tumbuh besar hingga kapital lain bisa diperoleh darinya: kapital politik, kekuasaan, dan citra diri.”
Berlusconi tahu betul tentang itu. Maka tidak heran ketika AC Milan masih berada di puncak prestasi pada 1994, ia memutuskan terjun ke gelanggang politik dengan membentuk partai Forza Italia. Selang tiga bulan Berlusconi menjadi perdana menteri.
Penulis: Bulky Rangga Permana
Editor: Zen RS