Menuju konten utama

Liga Paling Tidak Adil dan Membosankan: La Liga dan Serie-A

Dua kompetisi sepakbola terbesar di dunia, La Liga dan Serie-A pekan ini telah memulai kick off perdana musim 2016/2017. La Liga sering dipadankan sebagai liga paling tidak adil dan terlalu berporos pada Real Madrid-Barcelona. Sedang Serie-A didapuk sebagai liga membosankan karena hanya mengeluarkan Juventus sebagai juara.

Liga Paling Tidak Adil dan Membosankan: La Liga dan Serie-A
Pemain Real Madrid berpawai di lapangan cibeles setelah memenangkan final liga champions di Madrid, Spanyol. [Antara foto/Reuters/Susana Vera]

tirto.id - Meski membosankan dengan menghasilkan juara yang itu-itu saja, La Liga dan Serie-A tetap memiliki penggemar setia. Pamor dua liga ini memang ada di bawah Liga Inggris, tetapi dalam soal uang yang berputar jumlah nominalnya tak kalah besar.

Sampai 2018 nanti ,rerata uang dari hak siar yang bisa didapat Serie-A berkisar $1,8 miliar, sedang La Liga mencapai $978 juta. Jumlah pelanggan TV pada dua liga ini berkisar 10 - 12 juta pelanggan.

Data Forbes mencatat pada musim lalu seluruh tim La Liga bisa meraup uang sekitar $1,7 miliar dan Serie-A mencapai $1,4 miliar – pendapatan ini mencakup hak siar TV, hadiah kompetisi lokal dan non-domestik dan pemasukan tiket. Keunggulan keuntungan La Liga ketimbang Serie-A disebabkan prestasi tim-tim Spanyol yang berjaya di kompetisi Eropa dalam lima tahun terakhir.

Satu kesamaan antara La Liga dan Serie-A adalah dua kompetisi ini sarat dengan dominasi. Juventus di Italia dan Barcelona, Real Madrid serta Atletico Madrid di Spanyol. Poros kekuatan ini juga yang menentukakan arah pergerakan uang.

Ketidakadilan di Spanyol

Spanyol mesti berterima kasih kepada Real Madrid dan Barcelona. Dua tim inilah yang membuat La Liga ditonton orang. Ya, memang benar (meski Atletico sempat jadi juara 2013/2014 lalu) dominasi dua tim ini tetap membuat La Liga jadi membosankan.

Secara pamor, La Liga tentu kalah jauh ketimbang Liga Inggris. Namun, Barcelona dan Real Madrid tiap tahunnya selalu didapuk sebagai tim terkaya dengan pendapatan terbanyak tiap musim. Dalam tabel Football Money League yang dirilis rutin oleh Delloite tahun lalu total dua tim itu membukukan keuntungan mencapai US$1,29 miliar atau 70 persen dari keuntungan seluruh klub La Liga. WOW!

Madrid ada di peringkat satu dengan keuntungan $653 juta dan Barcelona di belakangnya dengan $ 634 juta. Hampir 43 persen pendapatan dua tim ini berasal dari sponsorship. Pemasukan terbesar kedua didapat dari pembagian uang hak siar La Liga. Di sinilah ketidakadilan itu muncul.

Dari $934 juta uang hak siar La Liga yang dibagikan musim lalu, sebanyak $328 juta atau 35 persen lari ke tangan Barcelona dan Real Madrid. Di Spanyol, kontrak hak siar memang tak dilakukan secara kolektif. Pemegang hak siar bisa bernegosiasi langsung dengan klub. Wajar jika industri selalu lebih mendahulukan Barca atau Real yang memang punya pasar begitu besar.

Hal ini berbeda dengan di Inggris, semua tim mendapatkan pembagian sama yakni $62 juta, dengan penambahan bonus disesuaikan dengan peringkat di akhir musim. Di Spanyol, pembagian sama itu nyaris tidak ada. Modal uang semua ditentukan oleh rating. Tak peduli jeblok prestasi Barca dan Real, mereka akan tetap dapat modal awal berkisar $160 juta, jumlah ini tentu timpang dengan Las Palmas, Sporting Gijon, Eibar yang hanya dapat $20 juta. Kondisi inilah yang membuat La Liga tak kompetitif, karena tim diluar Barca dan Real tak bisa mempunyai amunisi lebih untuk membeli pemain berkualitas.

Total valuasi harga pemain terbesar di La Liga adalah Real Madrid dengan $870 juta, di paling bawah ada Osasuna yang hanya $21 juta. Itu artinya ada gap sekitar 41 kali lipat antara yang terendah dan tertinggi. Di Liga Inggris, gap itu hanya 9 kali lipat, $589 juta yang dimiliki Manchester City dengan $59 juta milik tim promosi, Hull City.

Kondisi ini ketimpangan ini membuat Pemerintah Spanyol (Royal Decree) ikut intervensi. Pada 30 April 2015 lalu disepakati sebuah Undang-undang terkait pembagian pendapatan hak siar. Dalam aturannya hak siar akan dijual secara kolektif kepada penawar tertinggi. Sebanyak 93 persen diperuntukkan bagi klub La Liga dan Liga Segunda.

Dari 93 persen tersebut, 50 persen di antaranya akan dibagikan secara merata dan 50 sisanya didistribusikan berdasarkan kriteria seperti hasil selama lima musim terakhir dan dampak sosial tim itu seperti jumlah keanggotaan klub, penjualan tiket, dan rating televisi. Aturan ini akan menyebabkan tidak ada klub yang bisa menguasai hak siar hingga 20 persen seperti sekarang.

Namun jika dikaji lebih dalam, aturan ini tetap bisa membuat mereka untung dengan US$150 juta per musim. Tapi sudah tabiat manusia bersikap tamak. Real menggugat aturan ini ke meja hijau karena tahu bahwa dominasi uang itu tak bisa lagi leluasa dilakukan. Regulasi ini bukan jaminan La Liga akan sekompetitif Liga Inggris. Yang pasti, perubahan itu memang harus dimulai segera, karena La Liga itu bukan hanya Real Madrid dan Barcelona semata.

Lagi-lagi Juventus

Lima tahun dengan juara yang itu-itu saja membuat Serie-A jadi liga yang membosankan. Menyalahkan Juventus sebagai nyonya tua yang selalu juara adalah kesalahan besar. Dominasi Juventus tidak akan terjadi jika pesaing-pesaingnya seperti Inter Milan, AC Milan, AS Roma, Lazio, Napoli dan Fiorentina tidak tampil goblok dan kecele saat kompetisi berjalan.

Terlepas dari inkonstensi dari internal tim-tim besar tersebut, faktor-faktor non-teknis lah yang membuat Juventus begitu digdaya.

Pada duo Milan, Inter dan AC Milan misalnya, masalah akut mereka tak bisa bersaing dengan Juventus adalah kondisi keuangan klub yang pailt. Dalam lima tahun terakhir dua tim ini teramat irit dalam soal transfer. Pada kurun waktu 2010-2014, AC Milan malah lebih sering meminjam pemain ketimbang membeli sehingga klub ini sering diplesetkan menjadi AC Mi”loan”.

Pada masa itu, rerata pembelian pemain per musim Milan hanya $40 juta, sedangkan Inter hanya $45 juta. Bagi dua tim sebesar Inter dan Milan angka ini tentu teramat kecil. Dari sini bisa telihat bahwa mereka memang tak serius untuk mengejar Juventus yang rerata transfer per musim mencapai $75 juta.

Satu faktor kenapa dua klub ini tak bisa jor-joran di transfer adalah ancaman terbentur aturan Financial Fair Play (FFP). UEFA siap menghukum siapapun klub yang membeli pemain melebihi pendapatan klub tersebut.

Sejak 2013 pendapatan Milan cenderung turun. Jika pada 2013 mereka duduk di rangking 10 klub terkaya di dunia, pada tahun lalu mereka terlempar di urutan 14, pendapatan Milan hanya $225 juta, anjlok ketimbang 2014 yang $280 juta. Hal sama dialami Inter, pada 2012 mereka duduk di posisi 11, tetapi kini turun di peringkat 19. Dua penyebab turunnya pendapatan ini karena prestasi. Jangankan untuk bersaing dengan Juve, untuk lolos ke Liga Champions pun mereka tak sanggup.

Dengan mengabaikan duo Milan, maka harapan bersaing dengan Juve ada di tangan AS Roma dan Napoli. Secara prestasi dua tim ini cukup menjanjikan dalam empat tahun terakhir. Dalam konteks biaya pembelian pemain baru, dalam lima tahun terakhir, Napoli membuang $63 juta dolar per musim sedangkan AS Roma $72 juta.

Selain dari pendapatan yang meningkat karena prestasi, banyak pemain dari dua klub ini yang dibeli mahal oleh klub-klub besar. Itu jadi sebab Napoli dan Roma mampu membeli pemain bintang. Dua tim ini jadi kandidat kuat untuk menggeser Juventus. Sayangnya, mental dua tim ini teramat buruk, kadang tampil baik, kadang tampil buruk.

Mereka selalu konsisten untuk melakukan inkonsisten. Jika saja Napoli dan AS Roma mampu melawan Juventus dan berkompetisi memperebutkan gelar hingga laga terakhir Serie-A niscaya akan lebih sengit.

Baca juga artikel terkait LIGA ITALIA SERIE A atau tulisan lainnya dari Aqwam Fiazmi Hanifan

tirto.id - Olahraga
Reporter: Aqwam Fiazmi Hanifan
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti