tirto.id - Dalam jagat boga Nusantara, Solo punya banyak kisah menarik tentang asimilasi dan akulturasi.
Ambillah contoh komunitas keturunan Arab. Majalah Selera (1985) meriwayatkan kehidupan kuliner yang berkembang di keluarga nyonya Ahmad Sungkar Alurmei yang masih keturunan Arab. Kakeknya berasal dari Yaman bagian selatan, sedangkan ayahnya ialah Kapiten Arab (Kaptein Arabieren) di era kolonial. Kapiten ini bertugas menjadi “kepala suku” komunitasnya.
Disimak dari laporan kolonial, tahun 1870 jumlah mereka sekitar 42 orang. Karena jumlahnya sedikit, komunitas Arab dimasukkan ke kelompok Timur Asing. Merujuk catatan periode 1872, diketahui jumlah orang Timur Asing termasuk Arab sebanyak 509 orang.
Memasuki gerbang permulaan abad 20, terjadi perubahan pada komunitas Arab. Pada 1900 populasi mereka meningkat menjadi 171 orang. Mereka umumnya berprofesi sebagai pedagang keliling untuk komoditas sabun, minyak wangi, dan kain. Kegiatan ekonomi mereka berimbang dengan aktivitas keagamaan (dakwah), mengakibatkan identitas sosial sebagai kaum pedagang kabur (Warto, 1985).
Berlayar ke tanah Jawa mengarungi samudera jaraknya berpuluh mil, mereka tetap membawa budaya dari Hadramaut (Timur Tengah). Leluhur mereka hidup di Hadramaut, lembah yang cukup subur untuk ukuran negeri Yaman yang umumnya padang pasir tandus.
Hasil riset van Berg yang tertuang dalam buku Orang Arab di Nusantara (2010) memaparkan bahwa di Hadramaut, orang makan 3 kali sehari, yaitu sarapan segera setelah orang bangun, mengambil air wudhu dan bersembahyang subuh; makan siang antara pukul 11.00-12.00, sebelum ibadah dzuhur, dan makan malam sebubar sholat isya, pukul 19.30.
Roti dari gandum atau jewawut, kurma kering, dan daging kambing merupakan makanan pokok. Daging sering dibuat semacam sup dengan sayur. Beras yang tidak dibudidayakan di Hadramaut merupakan makanan sekunder. Hanya penduduk pribumi yang makan daging ayam dan sapi jantan.
Di belahan Arab, makanan sejenis sate dikenal sebagai kebab. Lain dengan sate di Nusantara, sate buatan Arab tak pelit dengan daging kambing sebagai bahan utamanya. Di Timur Tengah, sate kambing irisan dagingnya jauh lebih besar ketimbang sate Indonesia dan dipanggang dengan tusukan besi, tidak memakai ruas bambu. Datangnya orang Arab berniaga memengaruhi konsumsi harian berupa daging. Di Arab, daging kambing diolah dengan cara dibakar dan dikenal dengan shish kebab. Metode itu populer sejak zaman Kesultanan Utsmaniyah.
Mereka yang tinggal di Pasar Kliwon adalah penggila daging kambing seperti sate, gule, krengseng, dan nasi goreng. Saya menemukan fakta bahwa sebagian dari masyarakat Pasar Kliwon sudah naik haji dan berkarib dengan daging kambing diolah menjadi sate-gule.
Gemar menyantap olahan kambing rupanya memacu maraknya warung sate di kawasan Pasar Kliwon yang masih bisa kita jumpai sampai sekarang. Mulai dari perempatan Baturono, Sampangan, Semanggi, hingga perempatan Sangkrah.
Jangan salah, di masa silam banyak orang dari luar Solo yang merantau ke Pasar Kliwon untuk ngenger (mengabdi) pada juragan sate kambing. Bukti nyata ketenaran Pasar Kliwon sebagai pusatnya kuliner olahan kambing melahirkan toponim Kampung Gulen, yang dicomot dari kata “gule”.
Laiknya sebuah kerajaan Jawa yang jadi idola kaum urban, Pasar Kliwon juga menjadi jujugan wong cilik mengadu nasib dan membuka warung sate. Semula, mereka membantu majikan seraya belajar teknik memasak dan manajemen warung sate. Mereka yang lama berpeluh di dapur rumah Arab menemu-ciptakan resep masakan tongseng, yang dikembangkan dari krengseng. Tongseng identik dengan kuah, sedangkan krengseng diolah kering. Secuil fakta ini menunjukkan daya kreasi warga lokal yang tidak hanya pasrah menerima pengaruh luar.
Setelah prigel menggarap daging serta punya modal cukup, mereka menceburkan diri dalam bisnis kuliner sate kambing dan tidak hanya terpusat di Pasar Kliwon. Seabad lebih warung sate ditemukan pula di tempat lain. Bromartani (19 Desember 1891) melaporkan bahwa malam Kamis tanggal 8 bulan Jumadilawal, pukul 10.00 di perempatan Sraten ada seorang penjual gule dilarisi dua pembeli yang sudah kenyang.
Sekilas, berita itu tampak remeh karena mengabarkan penjual gule meladeni dua orang pembeli. Namun jika ditengok lebih dalam, kisah itu ditulis karena masakan daging kambing kala itu memang tergolong mewah, hanya kalangan menengah ke atas yang bisa menyantapnya. Saat itu para penjua gule-sate keliling kampung meladeni mereka yang berkantong tebal. Sate juga menjadi makanan favorit para priayi yang terbawa sampai pensiun, bukan hanya digandrungi kaum keturunan Hadramaut di Pasar Kliwon.
Lambat laun, sate naik kelas tatkala buku-buku masakan mulai diterbitkan. Terlebih dengan berkembangnya industri pariwisata di Solo awal abad 20. Dengan adanya hotel (Hotel Dohme, Hotel Slier, Hotel Juliana, Hotel Rusche) serta restoran (restoran Hotel Modern, rumah makan Jiran, Restoran Imron, De Indier di Loji Wurung, dan Warung Sedayu), akhirnya menu lokal seperti sate tampil di buku menu. Melalui penyajian yang di Barat-kan, sate dinikmati pula orang Eropa, menjadi menu khas dalam rijsttafel.
Hingga sekarang, Pasar Kliwon tetap dikenal sebagai pusat semesta kambing di Solo. Sebelum digeser ke daerah Silir oleh Pemkot Surakarta, pasar tersebut menjadi tempat kulakan daging kambing. Pemenuhan konsumsi daging kambing terjamin berkat blantik wedus (pedagang kambing) Pasar Kliwon berjejaring dengan penjaja di pasar tradisional yang tersebar di tingkat kawedanan (kecamatan). Barisan blantik itu rela blusukan hingga pedesaan mengikuti siklus pasaran. Misalnya, di Kabupaten Wonogiri yang merupakan wilayah Mangkunegaran, saat pasaran Legi di Wuryantoro dan Pon di Baturetno. Mereka menaati pasaran dan muter (berkeliling) lantaran emoh kehilangan pembeli sekaligus untuk menjaring pembeli baru dari daerah lain.
==========
Heri Priyatmoko adalah dosen sejarah di Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta dan pendiri Solo Societeit.
Editor: Nuran Wibisono