tirto.id - Presiden Joko Widodo mengklaim sudah mengantongi susunan kabinet baru. Bocorannya, komposisi menteri dari parpol dan profesional berkisar 60:40 atau 50:50. Namun, tentu saja daftar nama yang akan dipilih Jokowi masih sumir, apalagi geliat orang-orang di lingkarannya terkesan berebut jatah menteri.
Mereka seperti sedang berlomba "mengajukan proposal" jatah menteri di periode kedua Jokowi. PKB, misalnya, melalui ketua umumnya, Muhaimin Iskandar mengatakan telah menyodorkan 10 nama. Sementara Partai NasDem tak mau kalah dengan mengajukan 11 kandidat.
Golkar tampak malu-malu kucing menyebutkan jatah menteri yang diinginkannya. Namun, Sekretaris Jenderal Golkar Lodewijk Freidrich Paulus, pada 5 Juni 2019, pernah menyampaikan bila partainya layak mendapatkan portofolio kabinet lebih banyak pada pemerintahan Jokowi periode kedua.
Ketua DPP PKB Jazilul Fawaid berharap partainya bisa mendapatkan lebih banyak jatah menteri dari periode pemerintahan Jokowi sebelumnya. Sebab, Jazilul menilai PKB akan sangat rugi bila jatah menterinya berkurang.
"Ya mudah-mudahan PKB lebih beruntung, itu artinya kalau kemarin dapat katakanlah empat, besok nambah, itu beruntung. Kalau sama-sama saja ibarat usaha masih rugi, tapi kalau berkurang itu celaka,” kata dia saat ditemui di kompleks DPR RI, Jakarta, Rabu (17/7/2019).
Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri sebelumnya juga sempat mengeluarkan pernyataan kontroversial terkait calon menteri dari generasi muda. Ia tak setuju dengan wacana itu.
Presiden ke-5 RI itu bilang banyak contoh orang gagal di pemerintahan karena tidak punya latar belakang dan pengalaman apa pun dalam menjalankan roda pemerintahan. "Dan saya suka bilang, [jadi menteri] memang mau mejeng saja? Saya tidak akan menyebut nama."
Ribut-ribut soal jatah menteri ini juga belum termasuk kemungkinan Gerindra, PAN, dan Demokrat yang ikut merapat--apalagi setelah pertemuan Prabowo dan Jokowi di MRT Jakarta beberapa waktu lalu.
Tak Hanya dari Parpol
Keinginan mendapat jatah menteri juga terlihat dari gelagat ormas Nahdlatul Ulama (NU). Mereka dinilai layak dapat jatah menteri karena organisasi Islam terbesar di Indonesia itu dianggap telah berhasil membantu pemenangan Jokowi yang berpasangan dengan Ma'ruf Amin, mantan Rais Aam PBNU.
Keinginan NU mendapatkan posisi menteri itu pernah dilontarkan Wakil Rais Syuriah PWNU Jawa Timur, KH Agoes Ali Masyhuri (Gus Ali). Ia menyatakan kontribusi NU menjadi salah satu faktor kemenangan Jokowi-Ma'ruf di Pilpres 2019. Untuk itu, pihaknya meminta tambahan jatah menteri bagi kader NU di kabinet.
Menurut Gus Ali, tak ada perjuangan yang gratis. Rais Aam PBNU, KH Miftachul Akhyar juga mengatakan telah menyiapkan kader terbaik untuk diajukan sebagai menteri dalam Kabinet Kerja Joko Widodo periode 2019-2024.
Hal senada juga diungkapkan Ketua Umum PBNU Said Aqil Siraj. “Kami kalau diminta ya siap, berapa saja yang dibutuhkan. Insya Allah ada semua,” kata dia usai menghadiri upacara Bhayangkara di Silang Monas, Jakarta Pusat.
Sementara Arya Sinulingga, Wakil Ketua Komunikasi Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Maruf menyebut bahwa orang-orang yang layak dapat kursi menteri adalah mereka yang "berkeringat" selama ini.
Pernyataan Arya ini seolah-olah memberikan isyarat jangan sampai Jokowi memilih calon menteri yang tidak berjuang memenangkan pasangan calon 01 ini pada Pilpres 2019. Apalagi, sejumlah parpol pengusung Prabowo-Sandiaga mulai merapat, seperti Demokrat, PAN, bahkan Gerindra.
Tak Masuk Akal dan Menyulitkan Jokowi
Pengajar ilmu politik Universitas Brawijaya Wawan Sobari menilai wajar jika partai-partai sekelas PDIP, Golkar, Nasdem, maupun PKB meminta jatah kursi menteri. Sebab, kata Wawan, parpol ini dari awal mendukung Jokowi sejak pencalonan.
"Nasdem, Golkar, dan PKB itu, kan, dukung dari awal. Wajar [minta jatah menteri]. Tapi kalau mau lihat bargaining politik paling kuat, ya pastinya PDIP. Mereka yang mencalonkan Jokowi dan menang di parlemen," kata Wawan saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (18/7/2019).
Namun, mengenai jumlah jatah menteri yang disebut oleh PKB dan Nasdem tersebut, kata Wawan, sebagai hal yang tak masuk akal. Sebab, tak logis jika kabinet Jokowi hanya didominasi PKB dan NasDem, padahal parpol yang mendukung calon petahana ini sangat banyak.
“Dari sisi jumlah, itu sesuatu yang tak logis dan tak masuk akal. Kalau digabung saja, PKB minta 10 dan Nasdem minta 11, sudah 21. Sedangkan berapa jumlah menteri totalnya?" kata Wawan.
Pernyataan Wawan ini cukup beralasan bila melihat parpol pengusung Jokowi-Ma'ruf di Pilpres 2019. Sebab, paslon nomor urut 01 ini didukung 10 parpol, yaitu: PDIP, Golkar, NasDem, PKB, PPP, Hanura, Perindo, PSI, PKPI, dan PBB. Ini belum termasuk Demokrat, PAN, dan Gerindra bila bergabung.
Situasi ini berbeda dengan Pilpres 2014. Saat itu, pasangan Jokowi-Jusuf Kalla hanya diusung oleh koalisi ramping, yaitu: PDIP, PKB, NasDem, Hanura, dan PKPI. Sementara Golkar, PPP, dan PAN sebagai pengusung Prabowo-Hatta baru bergabung belakangan saat Jokowi merombak kabinet.
“Apalagi Jokowi mau merampingkan beberapa kementerian. Ada wacana-wacana yang mau digabung kementeriannya,” kata Wawan menambahkan.
Wawan mengatakan jika membaca fenomena berebut jatah menteri menggunakan kacamata politik praktis, memang tak ada yang salah. Sebab, kata dia, sudah menjadi hal lumrah partai-partai koalisi meminta jatah kursi menteri apabila calon yang diusungnya keluar sebagai pemenang.
Namun, kata Wawan, kalau membacanya pakai kacamata etika politik, justru apa yang dilakukan PKB dan NasDem itu tidak wajar.
“Seharusnya partai-partai yang berada di dalam satu koalisi untuk mendukung karena punya kesamaan visi, misi, dan cara pandang yang sama dalam membangun Indonesia. Bukan karena bagi-bagi kursi,” kata dia.
Hal senada diungkapkan pengajar ilmu politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarrudin. Ia menilai banyaknya "proposal menteri" yang saling diajukan banyak pihak akan memberatkan Jokowi sendiri.
“Bisa saja Jokowi pusing [karena banyak permintaan] Kalau PKB minta 10, lalu Nasdem minta 11. PDIP sebagai partai pemenang dapat berapa? Kementrian cuma 34. Bisa habis jatah menteri oleh tiga partai tersebut jika semuanya di-acc,” kata Ujang saat dihubungi reporter Tirto, Kamis siang.
Menurut Ujang, pembentukan kabinet itu hak prerogatif presiden. “Jadi kalaupun ada sistem jatah-jatahan kavling menteri bagi partai koalisi Jokowi, PKB dan Nasdem tidak sebanyak itu lah. Pasti akan ditentukan berdasarkan proporsionalitas,” kata Ujang.
Ujang menilai, saat ini sejumlah partai koalisi Jokowi saling mendesak jatah menteri dengan menyebut nominal karena tak ingin jatahnya diambil oleh oposisi yang baru masuk belakangan.
"Saat ini partai koalisi Jokowi-MA, hanya tidak ingin jatah kursi menterinya dikurangi. Akibat adanya partai oposisi yang akan masuk koalisi Jokowi. Menaikkan angka jumlah kursi, hanya sebagai tanda, bahwa mereka tidak mau jatahnya dikurangi," kata dia.
Politikus PDIP Hendrawan Supratikno justru menilai hal yang berbeda dari Wawan dan Ujang. Ia mengatakan orang-orang yang dinilai "terbaik" di dalam lingkaran Jokowi relatif sedikit, sehingga Jokowi tak akan kebingungan dalam menentukan kabinet.
“Tidak juga. Orang-orang terbaik jumlahnya secara relatif pasti tidak banyak. Bila parameternya integritas, jumlahnya lebih sedikit lagi. Jadi presiden harus berani memilih yang terbaik saja. Presiden justru lebih leluasa. Enggak percaya? Bisa hubungi Pak Jokowi langsung," kata Hendrawan.
“Yang minta-minta itu hanya gaya saja. Campuran lelucon, suara hati atau manuver aspirasi dan latihan negosiasi,” kata Hendrawan menambahkan.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Abdul Aziz