tirto.id - Setidaknya ada dua partai oposisi yang mungkin akan pindah haluan ke kubu pemerintah: PAN dan Demokrat.
Demokrat adalah partai oposisi pertama yang tercium tengah bermanuver. Usaha Demokrat merapat ke kubu pemerintah segera dilakukan setelah pengumuman Pilpres 2019, ditandai dengan bertamunya Komandan Kogasma Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono ke Istana Negara, bertemu Joko Widodo.
Yang kedua adalah PAN, ditandai dengan pernyataan Wakil Ketua PAN Bara Hasibuan yang menyebut mayoritas kader PAN ingin bergabung di Jokowi. Pada 12 Juli lalu dia bahkan mengklaim "sebagian besar pengurus provinsi menerima ide membangun pemerintahan Jokowi." "Mereka (DPD) mengatakan persetujuannya, untuk tak menolak Jokowi," tambah Bara.
Namun manuver ini sangat mungkin tak mulus karena perkara soliditas di internal partai.
Ketua DPP Partai Demokrat Jansen Sitindaon, misalnya, secara tidak langsung bilang memang ada perbedaan pendapat di antara para kader terkait posisi Demokrat. Ada yang setuju gabung ke Jokowi, ada pula yang tidak. Meski begitu, dia bilang perdebatan adalah dinamika internal biasa yang akan selesai saat "Pak SBY selaku Ketua Umum memutuskan".
Hal serupa diungkapkan Wakil Ketua Umum PAN Viva Yoga Mauladi, bahwa ada perbedaan pendapat di antara para kader. Namun dia bilang, keberagaman itu justru baik bagi PAN. "Itulah dinamika di internal PAN. Proses kesadaran politik pengurus, kader-kader, sangat terbuka dan relatif baik," Kata Viva di DPR, Jakarta, Selasa (16/7/2019).
Viva menegaskan, tak ada masalah bagi PAN jika akhinya tetap jadi oposisi atau misalnya jadi bergabung ke Jokowi. "Karena menurut platform PAN mau di dalam atau di luar kekuasaan sama-sama mulianya."
Satu partai lain yang punya peluang--meski kecil--bergabung ke petahana adalah Gerindra. Ini ditandai dengan pertemuan sang ketua umum Prabowo Subianto dan Jokowi, Sabtu lalu. Meski begitu anggota Badan Komunikasi Gerindra Andre Rosiade menegaskan kepada reporter Tirto bahwa keputusan resmi partai baru diumumkan setelah mereka menyelenggarakan rakernas pada Agustus atau paling lambat September nanti.
Apa pun keputusannya, kata Andre, para kader akan "bersama partai dan Pak Prabowo."
Merugikan atau Menguntungkan?
Meski akhirnya semua partai ini gabung ke koalisi Jokowi, bukan mustahil kader-kadernya tidak bertindak layaknya politikus penyokong pemerintah. Dengan kata lain, alih-alih membantu, mereka justru jadi pengganggu.
Hal ini terjadi di era SBY dan bahkan Jokowi periode pertama. Pada periode SBY, PKS pernah walkout saat pemerintah ingin menaikkan harga BBM, padahal saat itu mereka satu koalisi dengan Demokrat. Di era Jokowi, PAN yang sudah mendapat kursi menteri tetap mengkritik pemerintah.
Berkaca dari pengalaman itu, pengamat politik dari Voxpol Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago mengatakan efektivitas partai di pemerintahan sangat tergantung kepada kepatuhan kader. Jika tak disiplin dengan pilihan politik partai, para politikus ini justru akan mengganggu pemerintahan.
"Itu kemudian mengapa SBY membuat sekretariat bersama pada periode kedua. Pusing SBY. Koalisi sudah gemuk, kekuasaan sudah dibagi, tapi tetap saja enggak mulus ada pro-kontra di parlemen," kata Pangi kepada reporter Tirto.
Sikap PAN yang mengkritik Jokowi meski masih bagian dari koalisi, atau kisah PKS yang mengkritik SBY saat memerintah, harus jadi pertimbangan Jokowi sebelum memilih berkoalisi dengan oposisi. "Jokowi harus merekrut partai-partai yang pendukungnya disiplin, loyal," pungkas Pangi.
Satu hal lain yang juga patut dipertimbangkan Jokowi adalah penerimaan partai koalisi. Beberapa partai pendukung menunjukkan resistensi. Mereka merasa Jokowi tak perlu lagi menarik partai oposisi karena, pertama, koalisi sudah besar; kedua, perlu tetap ada oposisi di negara demokrasi.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Rio Apinino