tirto.id - Pembubaran Koalisi Indonesia Adil Makmur memuluskan jalan partai pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno bergabung ke pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amin. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak dalil gugatan sengketa pilpres disikapi Prabowo dengan mempersilakan partai pendukungnya memilih jalan masing-masing.
Di antara lima partai pengusung Prabowo (Gerindra, PKS, PAN, Demokrat, dan Berkarya), nama Demokrat dan PAN yang santer terdengar merapat ke Istana.
Ada efek negatif yang mungkin muncul jika ini benar-benar terjadi, kata pengamat politik dari UIN Syarief Hidayatullah Jakarta, Tony Rosyid. Dia mengatakan Demokrat dan PAN mungkin akan jadi duri dalam daging di koalisi.
“Akan sehat kalau ada sparring partner. Kalau tidak ada lawan, partai koalisi akan bertengkar di dalam [dan] jadi pembelahan,” kata Tony dalam diskusi bertajuk “Setelah Putusan Mahkamah...” di Jakarta, Sabtu (29/6/2019) kemarin.
Disebut duri dalam daging karena mungkin ada yang akan terganggu dengan keberadaan Demokrat dan PAN yang tak pernah bersusah payah memenangkan Jokowi-Ma'ruf pada masa kampanye dulu. Ini belum termasuk kemungkinan jatah menteri akan berkurang dengan masuknya pemain baru.
“Kayak ‘Jangan ikut-ikutan lah. Yang kalah ya kalah. Menang ya menang.’ Yang sudah nyaman duduk jadi berdiri,” ucap Tony.
Tony juga mengatakan terlalu banyak partai di koalisi Jokowi sebetulnya tidak baik karena mekanisme check and balance--yang lazim dalam sistem demokrasi--jadi berkurang. Kekuatan oposisi jomplang dibanding penguasa.
Hasil rekapitulasi yang diumumkan Komisi Pemilihan Umum pada 21 Mei lalu menyatakan total suara PDIP, Golkar, PKB, Nasdem, dan PPP--partai koalisi Jokowi yang memenuhi parliamentary threshold--mencapai 54,9 persen, sementara koalisi oposisi hanya 35,39 persen.
Dari perolehan suara tersebut, jumlah kursi yang bakal dimiliki partai koalisi Jokowi mencapai 344 atau setara 59,83 persen. Sementara 231 atau 40,17 persen sisanya dikuasai bekas Koalisi Adil Makmur.
Singkatnya, partai koalisi Jokowi adalah parlemen. Kehadiran PAN dan Demokrat semakin memperkuat mereka dan di sisi lain makin memperlemah oposisi.
Pernyataan Tony dikonfirmasi politikus Nasdem T. Taufiquihadi. Dalam kesempatan yang sama, dia bilang: “saya khawatir justru ada pembelahan dalam kabinet. Tidak baik buat koalisi Jokowi sendiri. Lalu tidak baik buat bangsa karena tidak ada lagi kelompok yang merasa terwakili sebagai oposisi.”
Kemungkinan
Wakil Ketua Umum PAN Bara Hasibuan menegaskan opsi merapat ke pemerintahan muncul karena perpecahan yang terjadi karena Pemilu 2019 perlu 'diobati'. Ia merasa PAN dapat melakukannya dengan bergabung ke pemerintahan.
“Kami siap menyebrang untuk mengatakan kepada rakyat [bahwa] PAN punya kebesaran hati untuk mendukung [pemerintahan Jokowi],” kata Bara dalam kesempatan yang sama.
Meski begitu Wasekjen PAN Faldo Maldini mengatakan kalau PAN “juga tahu diri sebagai parpol.” Dia menegaskan posisi politik PAN akan diputuskan dalam Rapat Kerja Nasional yang akan digelar paling lambat tiga minggu lagi.
Ini belum termasuk perhitungan apakah mereka memang akan diminta masuk ke koalisi atau tidak. “Diajak ya syukur,” kata Faldo.
Sementara Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Syarief Hasan masih enggan mengakuinya langsung. Ia mengatakan masih ingin menunggu tawaran-tawaran menarik dari pemerintah. “Kami lihat demand-nya gimana. Kalau demand-nya menguntungkan Demokrat, saya kira akan dipertimbangkan,” ucap Syarief.
Meski demikian, sudah sejak lama Demokrat menunjukkan tanda-tanda hendak gabung ke petahana. Agus Harimuti Yudhoyono, misalnya, sudah bolak-balik menyambangi Istana untuk bertemu Jokowi. Pada 6 Juni 2019 AHY bahkan menemui Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino