tirto.id - Presiden Joko Widodo heran dengan kondisi suku bunga kredit perbankan Indonesia yang masih tinggi. Padahal dalam empat bulan terakhir, Bank Indonesia sudah memangkas suku bunga acuannya hingga ke level 5 persen.
"Saya mengajak serius memikirkan untuk menurunkan suku bunga kredit. Masa negara lain sudah turun turun, BI rate sudah turun, [tetapi] banknya belum," ujarnya saat membuka gelaran Indonesia Banking Expo 2019 di Hotel Fairmont, Jakarta Pusat, Rabu (6/11/2019).
Jokowi nampaknya memang harus sabar dan menunggu penyesuaian suku bunga kredit bank setidaknya hingga akhir tahun. Sebab kata Kepala Ekonom Bank Mandiri Anton Hermanto Gunawan, perbankan memang kurang responsif terhadap penurunan suku bunga acuan.
Ia mencontohkan, saat BI menaikan suku bunga acuan sepanjang April-November 2018 hingga 6 persen, bank tidak segera menaikan suku bunga kredit mereka. Data yang dirilis OJK pada April lalu menunjukkan, kredit untuk konstruksi, perdagangan sampai konsumsi seperti KPR dan kendaraan bermotor tak banyak berubah meski BI menaikkan suku bunganya .
Perubahan suku bunga kredit, menurutnya, justru lebih dipengaruhi kondisi likuditas perbankan. Di tengah likuiditas perbankan yang sedang seret seperti saat ini, sudah pasti perbankan tak mau ambil risiko dengan langsung menurunkan bunga kredit.
Sebab perubahan tersebut akan mempengaruhi margin yang diperoleh dan karena itu, perbankan perlu menyiapkan sejumlah strategi demi kelangsungan bisnisnya.
Apalagi, menurut Anton, perbankan Indonesia masih berkompetisi memperebutkan dana pihak ketiga (DPK). Suku bunga deposito masih dikerek demi menarik dana nasabah dan hal ini turut mempengaruhi tingginya suku bunga kredit.
“Ada bank-bank yang memang banyak likuiditasnya. Mereka lebih mudah menurunkan suku bunga. Tapi secara umum perbangkan lebih responsif terhadap suku bunga dana [deposito]. Kalau diturunin susah dapat pendanaan,” ucap Anton kepada wartawan saat ditemui di Le Meridien, Kamis (7/11/2019).
Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani mengatakan, pertimbangan perbankan untuk menurunkan suku bunga makin pelik. Sebab hingga saat ini mereka harus berkompetisi dengan pemerintah dalam menarik dana masyarakat.
Kompetisi itu tak mudah sebab suku bunga Surat Berharga Negara (SBN) berada di kisaran 6,8 persen. Sementara deposito perbankan yang mengikuti acuan LPS hanya di kisaran 5 persen.
“Orang kan kalau punya uang selalu memindahkan ke sana [imbal hasil lebih tinggi],” tuturnya
Aviliani juga menyoroti banyaknya proyek infrastruktur pemerintah yang bergantung pada dana perbankan seperti yang sekarang terjadi di bank BUMN. Akibatnya lebih banyak uang digunakan untuk proyek jangka panjang ketimbang kredit konsumer.
Merugikan Masyarakat
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah menilai, bank memang tidak bisa dipaksa menurunkan suku bunganya di tengah kondisi likuiditas yang mengalami pengetatan.
Di sisi lain pemerintah juga perlu segera memberikan tekanan. Sebab suku bunga tinggi dalam jagka waktu cukup panjang akan merugikan publik. Selain itu, biaya untuk menunjang aktivitas ekonomi seperti berusaha, investasi, dan konsumsi akan menjadi mahal.
Secara lebih luas, kerugian masyarakat ini akan jadi hambatan untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Hal ini tentu akan menyulitkan pemerintah dalam menjaga konsumsi domestik di tengah perlambatan perekonomian global.
Menurut Piter, yang diuntungkan justru hanya segelitir orang yang memiliki dana besar dan mendepositokan uangnya di bank. Dengan suku bunga tingi, mereka akan mendapat imbal hasilnya yang besar.
“Publik sangat dirugikan. Ini penyebab ekonomi berbiaya tinggi. Akan sulit memacu pertumbuhan ekonomi,” ucap Piter saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (7/11/2019).
Meski tahu dampak dari tingginya suku bunga, sejumlah bank juga belum memberi respons positif terhadap imbauan Jokowi. Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Sunarso misalnya, menyebut permintaan itu tak bisa dipenuhi dalam waktu dekat. Sebab bank butuh waktu untuk melakukan analisis demi menjaga kualitas asetnya.
"Pasti akan turun, tinggal time lag-nya itu berapa. Dan mempercepat time lag itu banyak caranya. Tergantung tadi, apabila kita bisa temukan cara yang lebih efisien," ucap Sunasro di sela acara Indonesia Banking Expo.
Di samping itu, kata dia, penurunan suku bunga kredit juga bergantung pada kondisi pasar. Dengan kata lain, jika permintaan sedang tinggi, tak mungkin bunga kredit tiba-tiba diturunkan.
Bank Indonesia sendiri mencatat pertumbuhan kredit 2019 mengalami perlambatan dari posisi 9,58 persen year on year (yoy) pada Juli, menjadi 8,59 persen yoy pada Agustus.
Lantaran itu lah, Hasil survei BI menunjukkan, para bankir memprakirakan pertumbuhan kredit hanya mampu mencapai 9,7 persen yoy lebih rendah dari prakiraan sebelumnya yang sebesar 11,2 persen yoy.
“Sekarang market-nya turun, jangan khawatir. Pasti suku bunga akan turun,” jelas Sunarso.
Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk Jahja Setiaatmadja menyebut, tingkat suku bunga kredit tak selalu mempengaruhi naik atau turunnya pertumbuhan kredit.
Pada 2018 lalu, sebut Jahja, kredit perbankan bisa tumbuh double digit meski bank sentral menaikkan tingkat suku bunga acuan hingga 1 persen. "Loan growth bukan satu-satunya karena interest rate. Meskipun interest rate dibutuhkan oleh para pelaku pasar agar bisa bersaing dengan pasar di luar negeri, tetapi ekspor sekarang masih lesu juga,” ucapnya dala kesempatan yang sama.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Hendra Friana