tirto.id - Kisah seorang perempuan yang memergoki suaminya berpoligami ramai dibicarakan di jagat Twitter beberapa hari lalu. Utas tersebut terkenal dengan tagar 'Layangan Putus'.
Utas tersebut juga mengisahkan sejumlah kejanggalan yang ditemui sang istri dan keseharian dengan empat anaknya. Kemudian, singkat cerita, si istri meminta cerai.
Perdebatan terkait perlu atau tidaknya izin dari sang istri kemudian muncul. Ada yang menilai perlu izin istri, ada pula yang sebaliknya--dan lantas mewajarkan tingkah si suami. Debat-debat seperti ini ada di ranah fikih alias ilmu tentang hukum agama.
Namun jika dalam konteks hukum umum, apa yang dilakukan oleh si suami menyalahi aturan. Dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, disebutkan kalau pengadilan dapat memberi izin poligami “apabila dikehendaki pihak-pihak yang bersangkutan”--termasuk istri.
“Kalau di hutan, hidup di abad ke-8 atau ke-9, atau bukan hidup di Indonesia, ya enggak apa-apa [poligami tanpa izin]. Tapi kalau hidupnya di Indonesia, sejak tahun 1974, ya harus mengikuti aturan negara,” kata Komisioner Komnas Perempuan Nina Nurmila kepada reporter Tirto, Rabu (7/11/2019).
Kesepakatan pernikahan yang diakui dari sisi hukum/negara adalah hal yang penting, tegas Nila. Sebab, pengakuan tersebut menyangkut hak-hak pihak lain, misalnya hak waris.
Nila kemudian menjelaskan panjang lebar apa efek poligami, baik yang mengantongi izin atau tidak. Poligami, terang Nila, juga “menyakiti hati perempuan” meski misalnya di bibir dia mengaku setuju suaminya poligami.
Ia juga rentan memicu “kekerasan fisik”. Data Komnas Perempuan, terjadi 9.609 kasus kekerasan di ranah privat sepanjang tahun 2017 atau mencapai 71 persen dari total kekerasan yang terjadi.
“Belum lagi masalah nafkah. Dia pasti memberikan ke istri yang baru. Dari situ bisa terjadi penelantaran ekonomi. Lengkap itu berbagai jenis kekerasan,” tambahnya.
Baik kekerasan fisik dan penelantaran ekonomi melanggar hukum. Itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Pasal 45 menyebutkan setiap orang yang melakukan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga dipidana penjara paling lama tiga tahun dan denda maksimal Rp90 juta. Sementara Pasal 49 mengatakan orang yang menelantarkan orang lain dipidana penjara tiga tahun dan denda paling banyak Rp15 juta.
Atas dasar itu semua Nina menyimpulkan “poligami adalah sumber kekerasan dan wujud diskriminasi terhadap perempuan.”
Anak Juga Dirugikan
Pera Sopariyanti, Direktur Rahima, sebuah yayasan yang fokus mengkaji Islam dengan perspektif gender, menambahkan keterangan Nina soal apa saja yang buruk dari poligami.
Selain istri, poligami juga dapat memengaruhi psikologi anak. “Ketidakadilan kasih sayang, ekonomi, maupun pandangan sosial yang dirasakan ibunya, pasti berdampak bagi tumbuh kembang seorang anak,” jelas Pera kepada reporter Tirto.
Poligami yang terjadi lewat praktik kawin siri--karena tidak memenuhi syarat UU Perkawinan--juga menyusahkan anak karena dia tidak diakui negara. “Anak akan sulit mendapatkan akta lahir. Jika pun mendapatkan akta lahir akan ditulis nama ibunya saja, atau perkawinan yang belum dicatatkan.”
Hal ini bukan tidak mungkin membuat anak akan mendapatkan stigma sebagai “anak yang lahir di luar perkawinan.”
Kemudian, poligami juga dapat memicu keributan antara dua keluarga.
“Karena pernikahan bukan hanya pertemuan dua insan, tapi menyatunya dua keluarga besar. Meskipun antar istri dapat akur, belum tentu dengan anak-anaknya, keluarga kedua belah pihak, maupun masyarakat di sekitar,” lanjutnya.
Pera kemudian menyinggung sedikit soal hukum poligami dalam Islam. Menurutnya izin dari istri memang bukan syarat sah perkawinan. Namun mengingat salah satu syarat poligami adalah “berlaku adil” dan menurutnya berlaku adil harus didefinisikan kedua belah pihak, maka dalam kasus 'Layangan Putus' sikap si suami tidak bisa dibenarkan sama sekali.
Pera sampai pada kesimpulan yang sama dengan Nina, bahwa dalam poligami, “perempuan menjadi pihak yang dirugikan.”
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Rio Apinino