tirto.id - Pada saat sebagian masyarakat berniat merayakan pernikahannya, menyebarkan seluas-luasnya tentang hari bahagia mereka, dan kerap menunjukkan legalitas relasi romantis mereka sebagai suatu institusi, sebagian masyarakat lain justru memilih menyelubungi pernikahan mereka dari pantauan negara dan khalayak luas alias mengambil opsi nikah siri.
Nikah siri didefinisikan sebagai bentuk pernikahan yang dilakukan hanya berdasarkan aturan agama dan/atau adat istiadat. Pernikahan ini tidak diumumkan kepada khalayak umum dan tidak tercatat resmi di KUA atau Kantor Catatan Sipil.
Jika sebelumnya nikah siri yang dilakukan mempelai hanya diketahui dan difasilitasi oleh kerabat atau kolega dekat, baru-baru ini diberitakan bahwa nikah siri dapat difasilitasi pihak ketiga asing, bahkan melibatkan teknologi digital. Nikahsirri.com hadir pada pertengahan September kemarin dan seketika menyita perhatian publik dengan program nikah siri dan lelang perawan/perjakanya.
Kritik pedas dari berbagai pihak pun menyeruak. Program yang digadang-gadang Nikahsirri.com dianggap melanggengkan perdagangan manusia, tidak ubahnya prostitusi online, serta bertentangan dengan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Praktik nikah siri atau pernikahan yang tak tercatat negara (unregistered marriage) telah ditemukan sejak lama di berbagai kota, baik di Indonesia maupun negara-negara lain. Di Zimbabwe pada 2013, yang mayoritas warganya menganut agama Kristen, 84 persen pernikahan yang dilakukan di sana tidak tercatat negara. Seiring dengan pernikahan siri, poligami pun jamak dilangsungkan di sana.
Di Irak, dikenal dua jenis pernikahan di bawah tangan: mut’ah dan misyar. Mut’ah merujuk pada pernikahan yang dijalankan selama periode tertentu berdasarkan kontrak kedua belah pihak. Pada pernikahan jenis misyar, istri dan suami bisa tinggal terpisah. Hanya pada waktu-waktu tertentu sebagaimana telah disetujui dua pihaklah mereka bisa bertemu, umumnya untuk pemenuhan kebutuhan seksual.
Lain dengan pernikahan legal, istri dalam pernikahan misyar mesti rela hak-haknya tak terpenuhi, bisa karena sang suami mendahulukan kepentingan istrinya terdahulu atau karena tekanan keluarga.
Tidak hanya di Irak praktik nikah misyar ini dilakukan. Di Arab Saudi, nikah misyar juga berkembang karena beberapa alasan seperti tekanan memberikan mahar yang besar, tuntutan sosial untuk menggelar pernikahan mewah bila diketahui khalayak luas, serta keterbatasan untuk memiliki tempat tinggal sendiri. Tidak jarang ditemukan istri dari nikah misyar yang masih tinggal bersama orangtuanya untuk menghemat biaya hidup.
Alasan-Alasan Memilih Nikah Siri
Dalam penelitian yang ditulis Dian Latifiani (2014), faktor ekonomi disebut-sebut menjadi alasan orang menikah siri. Tidak semua orang sanggup membayar biaya administrasi pencatatan pernikahan mereka. Namun sebenarnya, pemerintah sudah membuat kebijakan yang meringankan warganya secara finansial untuk menikah secara legal di KUA.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2015 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Agamamengenakan biaya 0 rupiah bagi pasangan tidak mampu atau korban bencana yang ingin menikah di KUA. Mereka yang ingin pernikahannya diresmikan negara di luar KUA dapat membayar Rp600 ribu. Prosedur pengesahan pernikahan pun dikemukakan dengan jelas di situs Info Nikah dari Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam.
Tidak hanya masalah biaya administrasi pernikahan saja yang tercakup dalam faktor ekonomi. Latar belakang keluarga berfinansial lemah pun membuat orang memilih nikah siri. Inilah yang ditemukan dalam penelitian Sri Hilmi Pujiharti (2010) dalam hasil penelitiannya yang bertajuk “Fenomena Nikah Siri di Kalangan Mahasiswa dan Dampaknya terhadap Perempuan”.
Pujiharti juga mengatakan bahwa mahasiswa-mahasiswa yang ditelitinya memilih menikah siri karena adanya desakan dari pihak keluarga. Lebih lanjut, dengan menikah siri, sebagian informan perempuan Pujiharti yang menjabat sebagai tulang punggung keluarga merasa bebannya terangkat. Pasalnya, tanggung jawab finansial beralih ke suaminya.
Menurut Siti Ummu Adillah (2011), alasan lain orang menikah siri adalah keinginan untuk memperistri perempuan di bawah umur. UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan melarang perempuan di bawah 16 tahun untuk menikah. Regulasi inilah yang ingin dihindari segelintir laki-laki yang ingin meminang perempuan di bawah 16 tahun sehingga mereka tidak mencatatkan pernikahannya secara legal.
Desakan untuk menikahi perempuan di bawah 16 tahun secara siri akan semakin besar bila ia telah mengandung anak seseorang. Untuk menghindari aib dan memastikan anak yang dilahirkan memiliki sosok ayah yang mendukung dirinya (baik secara psikologis maupun finansial), pernikahan siri antara laki-laki dan perempuan di bawah umur pun dianggap opsi paling baik.
Baca juga: Kasus Perkawinan di Bawah Umur Terus Meningkat
Ketika seseorang bekerja atau berkuliah dengan beasiswa, tidak jarang mereka terbentur syarat tidak menikah sampai studinya selesai atau ketika sedang terlibat dalam proyek kerja tertentu. Kondisi ini kemudian dapat mendorongnya untuk memilih nikah siri karena pernikahannya tidak akan terdeteksi oleh atasan atau lembaga pemberi beasiswa.
Tidak semua orang memahami pentingnya mencatatkan pernikahan di catatan sipil atau KUA. Kurangnya sosialisasi mengenai hal ini membuat sebagian masyarakat menikah secara siri. Padahal, efeknya tidak hanya akan dialami oleh pasangan yang menikah siri, tetapi juga anak yang dilahirkan dari pernikahan mereka. Anak tidak akan diakui oleh negara, dan karena itu, ia akan sulit mengakses hak-hak konstitusionalnya, termasuk perlindungan saat terjadi kekerasan di rumah terhadapnya atau hak mendapatkan nafkah dan pendidikan.
Motivasi berpoligami juga dikatakan mendorong seseorang melakukan nikah siri. Meski dilegalkan di negara ini, tidak semua laki-laki siap mental untuk dicap negatif oleh masyarakat karena berpoligami. Maka itu, mereka berupaya memperistri perempuan lain dengan nikah siri supaya mereka terhindar dari dosa bila berhubungan intim dengan orang di luar istri sahnya. Selain alasan menghindari dosa, alasan tidak mendapat izin istri pertama pun memicu niatan seseorang untuk menikah siri.
Jangan sangka nikah siri hanya dilakukan oleh mereka yang tak melek informasi atau berpendidikan rendah. Selebritas pun ada yang memilih menikah siri berulang kali dengan motif-motif tertentu. Terlepas dari status sosial-ekonomi apa pun, satu yang mesti dievaluasi ulang seseorang sebelum menikah siri: dampak yang dapat terjadi kepadanya di kemudian hari setelah memutuskan tak mencatatkan pernikahannya.
Alasan-alasan nikah siri ini menyimpan pesan bahwa laki-laki tetap diandalkan untuk mengangkat perempuan dari kondisi keterbatasannya. Kesukarelaan perempuan ini bukan berarti mereka tengah sepenuhnya membebaskan diri dari belenggu-belenggu yang ada sebelumnya.
Sebaliknya, nikah siri justru potensial mendatangkan mudarat lebih banyak di kemudian hari ketika tiba-tiba suami meninggalkannya atau melakukan kekerasan terhadapnya. Ke mana seseorang dapat mencari advokasi bila kesahihan pernikahannya saja tidak diakui?
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Maulida Sri Handayani