tirto.id - Suasana rapat Pemuda Indonesia tahun 1927 di Bandung tiba-tiba memanas. Rapat yang dipimpin Sutan Sjahrir itu diwarnai percekcokan antara Sukarno dengan Suwarni Pringgodigdo, ketua organisasi Putri Indonesia.
Suwarni memprotes gaya pidato Sukarno yang gemar mencampuradukkan bahasa Belanda dengan bahasa Indonesia-Melayu. Padahal menurut kesepakatan, setiap rapat pemuda wajib menggunakan bahasa Indonesia-Melayu sebagai pengantar. Selain itu, cara Sukarno membanggakan dan membesar-besarkan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang baru seumur jagung pun secara tidak langsung mengusik Suwarni.
Burhanuddin dalam Mengenang Sjahrir (2010) mengisahkan bahwa Sukarno sempat kehilangan kata-kata menghadapi serangan dan tangkisan-tangkisan Suwarni. Bung Besar akhirnya memungkasi kegusarannya dengan membentak gadis 17 tahun itu dalam bahasa Belanda. Wajah seluruh peserta rapat pun mendadak tegang.
Sjahrir dari atas kursi ketua segera mengayunkan palunya menghentak meja. Ia yang usianya sembilan tahun di bawah Sukarno dengan tegas meminta seniornya untuk tidak mengucapkan kata-kata kasar dalam bahasa Belanda kepada perempuan Indonesia.
Sukarno terperangah atas sikap keras Sjahrir kepadanya. Akan tetapi, hal itu tak menghalanginya untuk meminta maaf kepada seluruh peserta sidang, khususnya kepada Suwarni.
Mendukung Hukum Perkawinan Kolonial
Saat Indonesia belum merdeka, Suwarni adalah perempuan Jawa langka di masanya. Ia selalu digambarkan sebagai sosok perempuan keras yang tidak takut mengemukakan pendapatnya di muka forum. Burhanuddin bahkan menyebut Nining--panggilan akrab Suwarni--sangat mirip dengan Madam Sun Yat Sen yang terkenal pandai berdebat.
Sebagian golongan nasionalis sering menganggap Suwarni selalu tampak galak saat menuntut perubahan dan kemerdekaan. Apalagi jika menyangkut masalah hak dan kemerdekaan perempuan dalam pernikahan, Suwarni tidak akan pernah mau tutup mulut.
Susan Blackburn dalam Women and the State in Modern Indonesia (2004: hlm. 121) mendeskripsikan Suwarni sebagai “Perempuan yang sangat pandai berbicara dan tidak mudah terpengaruh orang lain, dia menentang poligami berdasarkan harapan untuk mendapatkan pernikahan yang aman dan stabil.”
Dalam Kongres Perempuan Indonesia II yang diadakan pada 20-24 Juli 1935 di Jakarta, Suwarni berdebat dengan salah seorang delegasi Persatuan Muslimin Indonesia (Permi). Untuk kesekian kalinya ia secara terbuka menyatakan perang terhadap poligami.
Kecaman Suwarni terhadap poligami mula-mula dikemukakan dalam sebuah pertemuan tahun 1929 di Bandung. Setelah menikah dengan Abdul Karim Pringgodigdo dan pindah ke Batavia, perlawanan Suwarni terhadap poligami lebih banyak dilakukan dari balik meja redaksi majalah Sedar.
Cora Vreede de-Stuers dalam Sejarah Pencapaian Indonesia (2008: hlm. 168) mencatat, tulisan-tulisan pertama Suwarni dengan lugas menunjukkan keresahan dan keberatannya terhadap hasil kongres Aisyiyah pada Maret 1932. Secara garis besar organisasi itu mendukung poligami karena dianggap dapat menangkal pelacuran.
Warsa 1937, pemerintah kolonial mengeluarkan proyek ordonansi perkawinan yang cenderung menganjurkan monogami sekaligus menghalangi poligami melalui pendaftaran pernikahan. Sebelum sempat disahkan, rancangan peraturan itu menyulut gelombang protes dari sejumlah partai politik dan organisasi Islam, di antaranya Partai Sarekat Islam, Partai Indonesia Raya (Parindra), dan Nahdlatul Ulama.
Meski proyek ordonansi perkawinan itu tidak bermaksud melindungi perempuan pribumi, melainkan untuk menghalangi perkawinan campuran yang mulai marak terjadi di antara perempuan Eropa dengan laki-laki Muslim, tapi Suwarni tetap bertekad memperjuangkan peraturan tersebut. Menurutnya, pernikahan monogami akan membawa keselarasan karena istri tidak harus bersaing dengan perempuan lain dalam sebuah rumah tangga.
“Seperti halnya sekarang, perempuan tidak suka menabung […] tapi seterusnya ia akan menabung untuk membeli rumah dan tanah, karena ia tidak akan lagi menjadi korban dari perasaan cemas mempunyai rekan istri lain untuk bersaing,” tulisnya dalam majalah Sedar edisi Juni 1937 seperti dikutip oleh Stuers (hlm. 167).
Suwarni yakin, pernikahan seharusnya menyenangkan kedua belah pihak, baik istri maupun suami. Blackburn menyebut pemikiran Suwarni tentang ikatan kuat dalam pernikahan sangat bergantung kepada gagasan para Suffragist Eropa awal abad ke-20, seperti Emmeline Pankhurst dan Alleta Jacobs.
Ia barangkali satu-satunya feminis sosialis paling modern di masa sebelum kemerdekaan. Suwarni banyak “mengimpor” pemikiran-pemikiran progresif tentang perempuan Barat yang ia terjemahkan ke dalam kondisi masyarakat Hindia Belanda saat itu. Ketimbang menjadikan buku Door Duisternis Tot Licht karya Kartini sebagai bahan kutipan, Suwarni lebih suka menyelipkan pandangan tokoh-tokoh perempuan penggagas gerakan sosial asal Amerika seperti Charlotte Perkins Stetson.
Meskipun demikian, imbuh Susan Blackburn, sejatinya tidak ada aktivis perempuan pribumi di masa kolonial yang mau dijuluki feminis. Blackburn sendiri tidak menuliskan apakah perempuan-perempuan pergerakan seperti Suwarni sudah mengenal istilah itu atau sebaliknya. Yang terang, apa yang menjadi dasar perjuangan Suwarni ialah persamaan hak dan kewajiban antara istri dan suami dalam menyongsong kemerdekaan.
Ibu Militan Ala Suwarni
Pada 22 Maret 1930, Suwarni melakukan reorganisasi perkumpulan Putri Indonesia yang kemudian melahirkan Isteri Sedar. Organisasi ini didirikan untuk menampung aspirasi para perempuan dalam menyadarkan kaumnya yang masih terikat nilai-nilai tradisional agar tidak merasa lebih rendah dari kaum laki-laki.
Saskia Wieringa dalam Penghancuran Gerakan Perempuan: Politik Seksual di Indonesia Pascakejatuhan PKI (2010: hlm. 128) menerangkan bahwa Suwarni banyak menggunakan metafora Srikandi sebagai tokoh pewayangan Jawa, untuk mendukung argumennya tentang ikatan perkawinan. Meskipun dimadu, Srikandi kerap digambarkan oleh Suwarni sebagai pendamping yang sepadan dengan suaminya, Arjuna.
“Perhimpunan Isteri Sedar menuju pada kesadaran perempuan Indonesia dan derajat serta penghargaan sama antara perempuan dan laki-laki, di dalam pergaulan hidup di Indonesia untuk mempercepat Indonesia merdeka,” demikian rumusan Anggaran Dasar Isteri Sedar seperti dikutip Suzanna Hamdani, pengurus Isteri Sedar cabang Bandung.
Suzanna melalui tulisannya yang dikumpulkan Lasmidjah Hardi dalam antologi Sumbangsihku Ibu Pertiwi: Kumpulan Pengalaman dan Pemikiran Jilid V (1985: hlm. 208) menuturkan bahwa organisasi bentukan Suwarni ini menuai banyak kritik karena dianggap melangkahi norma hidup orang Jawa. Kelompok tradisional cenderung menunjukkan sikap permusuhan lantaran kedekatan Isteri Sedar dengan pemikiran Barat. Selain itu, karena sikap anti-poligami yang menggebu, Isteri Sedar juga menuai banyak protes dari organisasi-organisasi Islam.
Sebagaimana termaktub dalam Anggaran Dasarnya, perkumpulan Isteri Sedar sedari awal dibentuk di bawah perasaan nasionalisme yang tinggi. Meskipun tidak pernah berpolitik secara langsung, Isteri Sedar diketahui kerap mendukung partai-partai pecahan PNI seperti Partai Indonesia (Partindo) dan Partai Pendidikan Nasional Indonesia.
Pada 1954, Isteri Sedar yang sudah melebur menjadi Gerakan Wanita Sedar (Gerwis) merombak kebijakan organisasinya dan berganti nama menjadi Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Sepanjang paruh kedua tahun 1950-an, Gerwani dekat dengan PKI dan menjadi organisasi perempuan yang memiliki hubungan paling baik dengan pemerintahan Sukarno.
Perdebatan antara Suwarni dengan Sukarno di masa lalu tidak mengusik hubungan keduanya. Dalam Seperempat Abad Badan Penghubung Organisasi-Organisasi Wanita (1979: hlm. 43) diterangkan, segera setelah kemerdekaan diproklamasikan, Sukarno berbincang empat mata dengan Suwarni dan memintanya untuk menghimpun tokoh-tokoh perempuan dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
Suwarni kemudian diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung mulai September 1945 sampai Desember 1949. Meskipun tidak lagi menduduki jabatan inti dalam Gerwani, gagasan Suwarni tentang Srikandi masih terus dipertahankan. Saskia Wieringa menyebutnya sebagai ideologi ibu militan.
“Gebrakan Gerwani itu mencampurkan sosok Srikandi yang militan dengan penerimaan peran utama perempuan sebagai ibu,” tulisnya.
Editor: Irfan Teguh Pribadi