tirto.id - Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 basis poin menjadi 5,50 persen dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada Desember 2023.
Selain itu, Bank Sentral juga menaikkan suku bunga deposit facility 25 basis poin menjadi sebesar 4,75 persen dan suku bunga lending facility naik menjadi sebesar 6,25 persen.
Keputusan kenaikan suku bunga yang lebih terukur tersebut sebagai langkah lanjutan untuk secara front loaded, preemptive, dan forward looking memastikan terus berlanjutnya penurunan ekspektasi inflasi. Sehingga inflasi inti tetap terjaga dalam kisaran 3,0±1 persen.
Direktur Eksekutif Segara Institut, Piter Abdullah mengatakan, ketika suku bunga acuan BI naik, maka otomatis perbankan lainnya harus menaikkkan suku bunga deposito dan tabungan. Akibatnya cost of fund justru akan menjadi meningkat.
Dengan kondisi tersebut, maka suku bunga kredit ikut naik beserta risikonya. Karena bank hanya bisa mempertahankan Net Interest Margin (NIM) atau bahkan memperkecil NIM.
"Dengan NIM yang tetap atau bahkan lebih kecil sementata risiko naik, keuntungan bank akan lebih kecil," kata Piter dihubungi Tirto, Selasa (10/1/2023).
Dia menilai, perbankan di Indonesia memiliki sifat yang unik. Berbeda dengan sistem perbankan di banyak negara lain. Dalam hampir semua kondisi bank-bank di Indonesia itu bahkan diklaim menguntungkan.
Akan tetapi, lanjut Piter yang paling menguntungkan bagi perbankan adalah ketika suku bunga justru turun. Karena ketika suku bunga turun, mala bank bisa menurunkan cost of fund serendah mungkin, sementara di sisi lain penurunan suku bunga kredit relatif lambat.
"Sehingga yang terjadi NIM melebar. Karena suku bunga yang turun risiko kredit juga menurun. NPL terjaga. Secara keseluruhan keuntungan bank meningkat," jelasnya,
Sementara itu, Praktisi Perbankan BUMN, Chandra Bagus Sulistyo menuturkan, ketika suku bunga kredit perbankan ikut naik akan memiliki dampak bagi bank itu sendiri. Karena akan membuat banyak kreditur yang tidak bisa bayar.
"Oleh karena itu akan mengalami permasalahan ditakutkan kredit macet ada di perbankan," katanya dihubungi terpisah.
Chandra menekankan, bukan berarti ketika perbankan memberikan kredit dengan tingkat bunga tinggi justru menjadi keuntungan bank. Atas dasar itu, dia berharap agar para perbankan tidak menaikan suku bunganya terlalu tinggi,
"Oleh karena itu kalau bisa perbankan tingkat bunganya jangan tinggi tinggi agar debitur bisa mengembalikan pinjamannya," jelasnya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengatakan, kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) akan dinikmati para bankir. Lantaran kenaikan suku bunga tersebut, akan diikuti kenaikan suku bunga kredit yang meningkatkan beban biaya bagi peminjam.
"Tapi sebetulnya saya bicara dengan para bankir, kalau bicara tentang interest rate [suku bunga] naik, itu anda sepertinya malah menari-nari di atas penderitaan semua orang," ujarnya di hadapan para bankir dalam acara CEO Banking Forum, Senin (9/1/2023).
"Karena kalau saya bicara tentang kenaikan suku bunga, kayaknya wajahnya anda malah lebih bahagia gitu," sambungnya.
Meski begitu, Bendahara Negara itu menekankan, tren kenaikan suku bunga tentu akan sangat berdampak pada kegiatan ekonomi. Bahkan bisa mengganggu perekonomian nasional.
Di sisi lain, kenaikan suku bunga juga bisa mengganggu perbankan, sebab kenaikan suku bunga acuan bank sentral juga akan berdampak pada peningkatan bunga terhadap dana pihak ketiga (DPK). Bunga DPK yang harus dibayarkan bank menjadi beban biaya dana atau cost of fund.
"Tapi itu tidak otomatis seperti itu, karena cost of fund yang tinggi pasti akan mempengaruhi kegiatan ekonomi secara menyeluruh," kata dia.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Intan Umbari Prihatin