tirto.id - Bank Indonesia (BI) memutuskan menaikkan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 50 basis poin menjadi 4,25 persen. Selain itu, bank sentral juga menaikkan suku bunga deposit facility 50 basis poin menjadi sebesar 3,50 persen dan suku bunga lending facility naik menjadi sebesar 5,00 persen.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira mengatakan, kenaikan suku bunga acuan sebesar 50 bps jadi sinyal BI ingin mengimbangi naiknya suku bunga bank sentral Amerika Serikat (AS).
The Federal Reserve Amerika Serikat (AS) atau The Fed sebelumnya telah menaikan kenaikan suku bunga sebesar tiga perempat poin persentase atau 75 basis poins (Bps).
The Fed menaikkan suku bunga target ke kisaran 3,00 persen - 3,25 persen, merupakan level tertinggi sejak 2008. Proyeksi baru menunjukkan suku bunga kebijakan naik menjadi antara 4,25 persen - 4,50 persen, pada akhir tahun ini sebelum mencapai puncaknya 4,50 persen - 4,75 persen pada 2023.
“Selain itu ada kekhawatiran inflasi karena naiknya harga BBM cukup berbahaya sehingga respons BI naikkan bunga cukup agresif," kata Bhima kepada Tirto, Kamis (22/9/2022).
Lebih lanjut, Bhima mengatakan kenaikan suku bunga BI dampaknya akan jelas terhadap sektor riil. Karena hal ini bisa mengurangi minat pelaku usaha meminjam dari perbankan.
“Bunga jadi lebih mahal, sementara permintaan konsumen lemah,” kata Bhima.
Kenaikan ini juga akan berdampak kepada kredit konsumsi seperti KPR dan kredit kendaraan bermotor dalam beberapa bulan ke depan. Sehingga bank harus bersiap cari cara agar nasabah KPR masih tertarik meminjam.
“Misalnya promo bunga fix rate untuk KPR diperpanjang hingga 5 tahun," kata dia.
Dihubungi terpisah, Ketua Komite Analis Kebijakan Ekonomi APINDO, Ajib Hamdani mengatakan, peningkatan suku bunga BI akan berimbas terhadap pengurangan likuiditas dan penurunan daya beli masyarakat. Risiko selanjutnya akan terjadi pelambatan pertumbuhan ekokomi.
“Dunia usaha harus membuat penyesuaian sehingga tetap bisa survive sampai terjadi keseimbangan baru ekonomi setelah masa pandemi dan inflasi," imbuhnya.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz