tirto.id - Badan Anggaran DPR dan Kementerian ESDM menyepakati penghapusan subsidi listrik golongan 900 Volt Ampere (VA) untuk rumah tangga mampu (RTM) dalam RAPBN 2020.
Rencananya, pemerintah bakal mendorong pelanggan PLN golongan tersebut mengikuti skema penyesuaian tarif atau tariff adjusment. Mereka akan membayar tarif listrik seperti yang berlaku bagi pelanggan golongan 1.300 VA serta 11 golongan non-subsidi lain.
Dengan penghapusan subsidi listrik, sekitar 24,4 juta pelanggan yang saat ini menikmati tarif Rp1.300/kWh (kilowatt-jam) harus merogoh kocek lebih dalam untuk membayar tagihan listrik mereka mulai tahun depan. Subsidi energi dalam Rancangan APBN 2020 pun berubah dari yang sebelumnya diusulkan sebesar Rp62,2 triliun.
"Kalau lihat sekiranya RTM enggak masuk, maka subsidinya menjadi Rp54,79 triliun," kata Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Rida Mulyana, dalam rapat di kompleks Parlemen, kemarin (3/8/2019).
Selama ini, pemerintah memang masih menanggung beban subsidi untuk tiap kWh rumah tangga golongan tersebut. Padahal, sejak Januari 2018 mereka seharusnya membayar tarif yang disesuaikan tiap tiga bulan.
Dalam Peraturan Menteri ESDM No. 41/2017, penyesuaian tarif itu didasarkan pada fluktuasi harga minyak mentah (ICP), perubahan nilai tukar rupiah terhadap kurs dolar AS, dan tingkat inflasi bulanan.
Jika mengacu ketentuan itu, kata Vice President Public Relation PLN Dwi Suryo Abdullah, tarif yang harusnya dibayar pelanggan 900 VA RTM mencapai Rp1.467,82/kWh.
Namun karena mempertimbangkan daya beli masyarakat, pemerintah belum menerapkan penuh skema tariff adjustment terhadap pelanggan golongan tersebut.Alhasil, pada 2018, kompensasi yang dibayar negara kepada PLN mencapai Rp23,17 triliun.
"Untuk tahun ini berapa kompensasinya? Hitung-hitungannya nanti sama BPK karena pemakainya listriknya beda-beda. Ada enggak peningkatan pemakaian. Kalau ada berarti peningkatan kompensasi tidak cuma didasarkan pada penambahan pelanggan RTM kategori 900VA," ucap Dwi.
PLN menghitung saat ini rata-rata pemakaian listrik untuk pelanggan RTM 900VA sebesar 126 kWh per bulan. Jika memakai tarif Rp1.300 per kWh, rata-rata pengeluaran mereka mencapai Rp163.000 per bulan. Namun jika memakai tarif baru, rata-rata pengeluaran RTM 900VA melonjak menjadi Rp190.000 per bulan.
Mendorong Inflasi dan Turunkan Daya Beli
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Suahasil Nazara menuturkan tingkat konsumsi diprediksi akan tetap stabil sesuai dengan proyeksi pemerintah pada 2020.
Dia menjelaskan, subsidi PLN tahun depan dialokasikan secara khusus untuk masyarakat miskin dan tidak mampu dan meningkatkan rasio elektrifikasi dalam negeri.
"Seperti yang disampaikan perwakilan Kementerian ESDM, [subsidi] yang dikurangi untuk masyarakat yang dinilai sudah mampu, untuk masyarakat miskin dan kurang mampu tidak ada perubahan signifikan," ujarnya di DPR, Selasa (3/9).
Terkait dengan penurunan subsidi energi serta pengaruhnya terhadap daya beli dan inflasi, Suahasil menuturkan pihaknya melakukan kajian. Namun yang pasti, penghapusan subsidi untuk golongan tersebut dapat menghemat anggaran hingga Rp5,9 triliun.
Jika ditarik ke belakang, dampak kenaikan listrik terhadap inflasi sebenarnya cukup besar. Saat tarif listrik mulai naik pada 2017, tarif listrik menjadi penyumbang terbesar inflasi sepanjang 2017.
Kala itu, andil inflasi dari tarif listrik mencapai 0,81 persen, paling tinggi ketimbang komoditas lainnya. Di posisi kedua saja, yakni biaya perpanjangan STNK hanya menyumbang 0,24 persen dari tingkat inflasi nasional sepanjang 2017 sebesar 3,61 persen.
Direktur Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah mengatakan kenaikan tarif tersebut dipastikan bakal mendorong inflasi administered price. Dampaknya, daya beli akan menurun sebab kenaikan listrik akan mempengaruhi komponen inflasi lainnya.
"Second round effect-nya banyak yang menggunakan listrik untuk produksi juga ikut naikkan harga, karena mempengaruhi produksi dan akan berdampak pada kenaikan harga komoditas lain. Bisa-bisa baso naik, makanan jadi naik," ucapnya.
Padahal, lanjut Peter, pemerintah perlu mendorong konsumsi domestik untuk bisa memacu pertumbuhan ekonomi di tengah-tengah perlambatan ekonomi global.
"Kita enggak bisa mengandalkan ekspor, tapi ekonomi domestik. Artinya pemerintah harus mendorong konsumsi rumah tangga, bukan sebaliknya," pungkasnya.
Editor: Ringkang Gumiwang