tirto.id - Pemandangan sebuah rumah tangga tipikal di akhir pekan adalah seorang bapak yang membaca berita online lewat gawainya sambil meminum kopi panas. Tentu saja kopi itu dibuatkan oleh istri yang sedang berjibaku dengan letupan minyak goreng di dapur atau lemak-lemak yang tertinggal di piring-piring kotor dalam wastafel. Di sisi lain, balita di ruang keluarga tengah rewel meminta perhatian dari ibunya, ingin ditemani bermain lego atau barbie atau squishy.
Penelitian Claire Kamp Dush dari The Ohio State University yang diterbitkan Sex Roles menunjukkan bahwa gambaran itu masih jamak terjadi. Seorang ayah, menurut riset itu, cenderung menghabiskan waktu 101 menit bersantai di hari libur, sementara istrinya hanya 46-49 menit.
“Hal ini tentu membuat frustrasi. Tugas rumah tangga, termasuk juga tugas mengurus anak masih belum dibagi rata antara ibu dan ayah. Bahkan [itu terjadi] pada pasangan responden yang kami harapkan memiliki pandangan yang lebih egaliter perihal bagaimana membagi tugas-tugas parenting,” kata Dush.
Baca juga: Belajar Jadi Bapak Rumah Tangga
Bekerja atau tidak, seorang ibu biasanya juga memasak, mencuci, hingga mengurus anak. Di sisi lain, masyarakat kita menempatkan posisi bapak dalam keluarga sebatas berperan sebagai pencari nafkah saja.
Baca juga: Calon Istri Idaman Pemuda Milenial
Abbie E. Goldberg dalam Journal Family and Psychology menemukan bahwa perempuan yang bekerja, dalam kenyataannya mempunyai jumlah jam kerja per minggu 35 jam lebih banyak dibanding laki-laki. Sebab, mereka juga harus mengerjakan tugas-tugas rumah tangga di luar pekerjaannya di luar rumah.
Kerja rumah tangga tetap dipersepsikan sebagai kerja tanpa batas waktu dan tanpa penghargaan. Rumah diposisikan tak dianggap sebagai ruang produktif, pekerjaan rumah tangga, meski berat dan banyak, tidak dikategorikan sebagai pekerjaan yang menghasilkan pendapatan.
Manneke Budiman, pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, dalam tulisannya "Bapak Rumah Tangga: Menciptakan Kesetaraan atau Membangun Mitos Baru" menyatakan bahwa keluarga tidak boleh terjebak dalam pembagian kerja berdasarkan gender.
Hubungan antar-anggota sebuah keluarga tidak hanya bersifat saling melengkapi, tetapi juga saling mengisi. Setiap orang dalam keluarga memiliki tanggung jawab yang sama untuk merawat kebersamaan yang ada di dalamnya, tak peduli apakah ia bapak atau ibu atau anak ataupun anggota keluarga yang lain.
“Keluarga tidak dibagi-bagi atas ruang yang berorientasi pada kerja dan gender, seperti dapur, kebun, ruang belakang, ruang tengah, ruang depan, dan lain-lain. Keluarga sudah selayaknya dipahami sebagai kumpulan manusia, bukan satuan kerja ataupun denah fisik yang terdiri atas ruang-ruang,” kata Manneke.
Menurutnya, seorang laki-laki dalam keluarga juga mempunyai kapasitas untuk bisa membuang sampah, menyiapkan makanan untuk semua, menyetrika pakaian, memandikan bayi, belajar, dan mencari uang di luar, demikian pula perempuan, bisa mengurus kebun, mencuci piring kotor, berbelanja keperluan keluarga, dan bekerja di luar mencari nafkah.
Baca juga: Jadi Bapak Rumah Tangga, Kenapa Tidak?
Pembagian pekerjaan tentu perlu, tapi tidak didasarkan karena perbedaan gender istri dan suami. Apalagi ketika satu pasangan sudah memutuskan untuk mempunyai anak. Suami dan istri punya tanggung jawab yang sama dalam ranah domestik dan merawat anak. Ketika seorang suami mengambil peran sebagai pencari nafkah utama, bukan berarti tanggung jawabnya sebagai ayah lantas hilang sama sekali.
Pembagian tugas ini bukan saja penting untuk keberimbangan dalam menjalani kehidupan berumah tangga, tapi juga berdampak positif untuk perkembangan anak. Dr. Kyle D.Pruett, seorang ahli psikiatri anak, dalam bukunya yang berjudul Fatherneed: Why Father Care is as Essential as Mother Care for Your Childmenyatakan bahwa relasi ayah dengan anak di masa kecilnya akan meningkatkan perkembangan empati anak.
Kyle juga menyatakan bahwa bayi berusia 7-30 bulan lebih responsif terhadap sentuhan dan gendongan ayah. Peran aktif ayah dalam pendidikan anaknya akan berdampak positif dalam perkembangan keseimbangan emosi, rasa ingin tahu, dan rasa percaya diri anak.
Dari segi perempuan, suami yang membantu istri merawat anak akan mengurangi risiko sindrom baby blues. Selain itu, berbagi pekerjaan rumah tangga dapat meningkatkan kadar kebahagiaan pasangan. Simbol kepedulian dalam pembagian pekerjaan rumah tangga ini otomatis dapat meningkatkan kualitas kebahagiaan antara suami-istri.
Hal tersebut juga diungkapkan oleh Adam Galovan, peneliti bidang pembangunan manusia dan studi keluarga. Galovan dan rekan-rekannya dari Utah State University melakukan survei terhadap 160 pasangan heteroseksual untuk melihat bagaimana orangtua membagi tanggung jawab rumah tangga dan bagaimana pekerjaan tersebut mempengaruhi hubungan suami dan istri.
Hasilnya adalah, sebagian besar istri berpendapat bahwa keterlibatan suami dalam melakukan pekerjaan rumah tangga akan menjadikan hubungan keluarga mereka menjadi semakin baik.
“Melakukan pekerjaan rumah tangga dan berhubungan lebih dekat dengan anak-anak nampaknya merupakan cara terpenting bagi suami untuk terhubung dengan istri mereka, dan perilaku ini berpengaruh pada hubungan pasangan yang lebih baik. Kedekatan antara ayah dan anaknya adalah hal yang sangat penting untuk setiap ibu," lanjut Gallovan.
Penulis: Yulaika Ramadhani
Editor: Maulida Sri Handayani