tirto.id - Suatu siang, keluarga besar saya berkumpul di rumah adik ayah saya di daerah Tangerang. Ada beberapa wajah asing yang terlihat pula di sana. Kali itu, keluarga tuan rumah tengah menggelar acara lamaran untuk Putri, si bontot yang berusia 25. Di sela-sela acara, kami berbincang seputar rencananya setelah menikah nanti.
“Put, kamu mau tetap kerja atau jadi ibu rumah tangga kalau sudah nikah?”
“Aku sih maunya tetap kerja, Mbak. Mengurus rumah tangga kan enggak sedikit biayanya, apalagi nanti aku rencananya enggak menunda punya anak,” ia berujar seraya merapikan kebaya jambonnya.
Bagi sebagian perempuan masa kini, meneruskan berkarier atau memilih seratus persen mengurus rumah kerap dilihat sebagai pilihan. Berbeda dengan laki-laki, yang acapkali diasumsikan pasti memegang peran utama mencari nafkah alias bekerja.
“Perempuan terserah deh, mau kerja atau di rumah saja. Yang penting, laki-laki harus tetap cari duit,” demikian kredo yang sering terdengar dalam percakapan-percakapan kasual.
Kendati perempuan semakin dimungkinkan untuk terjun ke dunia kerja dan berpenghasilan, pandangan bahwa laki-laki merupakan pencari nafkah utama tetap mendominasi di berbagai budaya di dunia. Pemisahan peran laki-laki dan perempuan sudah kadung kuat melekat di benak masyarakat sehingga baik secara sukarela maupun mau tak mau, perempuan ditempatkan di ruang domestik.
Tak percaya? Tengok saja UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 31 menyebutkan, suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga. Dan stereotip macam ini masih berlaku hingga kini. Bahkan di AS yang sering diasumsikan jauh lebih maju dibanding negara-negara Timur, terdapat penelitian yang menunjukkan laki-laki milenial di sana lebih mengidamkan istri yang berperan sebagai ibu rumah tangga.
Baca juga:Calon Istri Idaman Pemuda Milenial
Pandangan dikotomis antara peran laki-laki dan perempuan setelah menikah bukan tanpa dinamika. Cotter dan Pepin yang membuat studi di AS tersebut melihat adanya pergeseran nilai yang dipegang dari beberapa dekade. Semangat pemberdayaan perempuan yang mendorong mereka berpartisipasi dalam dunia profesional sempat membuat sebagian laki-laki menggeser cara pandang konservatifnya.
Tahun 1994 misalnya, 42 persen laki-laki AS menilai merekalah yang pantas menjadi pencari nafkah utama. Dua puluh tahun kemudian, persentase ini merangkak naik hingga 58 persen.
Terlalu kuatnya anggapan bahwa laki-laki harus menjadi tulang punggung keluarga membikin seluruh kaum Adam enggan bertukar peran dengan perempuan. Benarkah demikian?
Tak Tabu Menjadi Bapak Rumah Tangga
Pengalaman Bhagavad Sambada (30) bisa menguliti buah pikiran macam tadi. Sebagaimana sosok perempuan atau istri, definisi peran laki-laki atau suami pun tak pernah dan tidak semestinya tunggal. Kepada Tirto, laki-laki yang akrab disapa Bhaga ini memaparkan ceritanya menjadi seorang bapak rumah tangga (BRT), atau yang lebih beken dikenal dengan sebutan househusband atau stay-at-home dad.
“Jadi, saat gue nikah dengan Lika (25) tahun 2014, kondisinya gue sudah enggak bekerja tetap lagi. Gue memilih pekerjaan-pekerjaan freelance, sementara istri gue justru baru bekerja tetap di digital agency. Pada tahun yang sama, setelah melahirkan, Lika memutuskan balik kerja dan gue full di rumah ngurus Astu (3), anak gue,” kata laki-laki bertato ini.
Sejak awal, Bhaga-Lika memilih tidak menyewa jasa asisten rumah tangga. Pengasuhan anak terkadang dibantu oleh orangtua mereka bila Lika bekerja atau Bhaga sedang mendapat proyek. Sejak menjadi BRT, Bhaga melakukan sendiri penggantian popok, memandikan, hingga memberi makan Astu.
Tidak jarang ditemukan pola asuh berlainan antara ayah dan ibu. Bhaga memandang, sebenarnya tak ada perbedaan yang benar-benar mencolok terkait pola asuh Astu yang dilakukannya dengan Lika, “Kalau masih bayi sih enggak ada [perbedaan], ya. Paling, ke sini-sini, Lika bilang, gue terlalu kenceng, sementara dia lebih manjain, sih. Kayak misalnya, waktu Astu mainin makanan, gue akan marahin. Kalau sebatas banting-banting barang sih, gue biasa saja.”
Meskipun Astu lebih sering menghabiskan waktu bersama Bhaga, anak itu lebih menempel kepada ibunya. Begitu Lika pulang kerja, Astu langsung menyambut Lika dengan senang. Saat tidur pun, Astu lebih suka mendekap Lika dibanding Bhaga.
Perkara mengambil keputusan dalam rumah tangga, Bhaga mengatakan bahwa ia dan sang istri kerap berdiskusi terlebih dahulu sebelum melakukannya. Namun, ada hal-hal tertentu ketika suara Lika berpengaruh besar dalam mengambil keputusan. Perihal menyekolahkan anak contohnya.
“Karena Lika yang punya penghasilan tetap, gue akan berkonsultasi ke Lika dulu. Bukan masalah persetujuannya, melainkan soal perhitungan pengeluarannya,” jelas Bhaga.
Peran yang diambil Bhaga dalam rumah tangga ini memang belum begitu jamak ditemukan. Karenanya, reaksi yang diperolehnya pun tidak datar-datar saja sebagaimana perempuan menyatakan diri sebagai ibu rumah tangga. Beruntung, orang-orang dalam lingkaran pertemanan Bhaga bukan tipe yang mengagung-agungkan laki-laki bekerja.
Sebaliknya, Bhaga mengatakan banyak temannya yang justru mengapresiasi pilihan Bhaga. Bahkan, ada pula yang iri dengan Bhaga yang menjadi BRT, tetapi tidak bisa menjalaninya karena telanjur menjadi tulang punggung keluarga.
“Istilah stay-at-home dad yang sekarang populer bikin temen-temen gue yang sudah nikah merasa hal yang gue jalani adalah hal yang ideal, yang mereka inginkan,” ungkapnya.
Kini, bermunculan kampanye untuk mewujudkan kesadaran akan pentingnya partisipasi laki-laki untuk mendukung perkembangan diri perempuan, atau setidaknya mempromosikan kesetaraan gender. Aliansi Laki-Laki Baru misalnya, menyuarakan feminisme dengan memublikasikan tulisan tentang partisipasi laki-laki di ranah domestik atau tulisan tentang definisi peran ayah dan keterlibatannya dalam pengasuhan anak.
Alasan lain yang menyebabkan menjadi BRT tidak lagi dianggap setabu dulu ialah cara media-media massa merepresentasikan ayah yang keren. Lihat saja bagaimana majalah-majalah gaya hidup luar mencitrakan selebritas laki-laki yang menggandeng anaknya atau memperlihatkan sisi keayahannya.
Berita dengan istilah-istilah semacam househusband, hot daddy, celebrity dads, atau hot guys with babiestidak jarang membuat perempuan kesengsem dengan sosok-sosok laki-laki BRT.
Kemungkinan laki-laki terjun di dunia domestik juga dipengaruhi kemajuan teknologi. Dulu, perempuan sulit beraktivitas di luar bila masih menyusui bayinya. Dengan dimudahkannya perempuan memompa dan menyimpan ASI, laki-laki tak perlu khawatir lagi akan kesulitan memberi makan bayi mereka.
Apresiasi dari sekitar hanyalah satu dari beberapa keuntungan menjadi BRT yang dirasakan Bhaga. Yang paling disenanginya dari menjadi BRT ialah ia bisa benar-benar meluangkan waktu untuk memperhatikan dan terlibat langsung dalam proses tumbuh kembang anaknya.
Berbagai macam alasan tadi bisa mendorong kenaikan jumlah BRT dari waktu ke waktu. Menurut catatan Pew Research Center, terdapat peningkatan jumlah laki-laki AS yang memutuskan menjadi BRT.
Mereka mengambil data dari penelitian Karen Kramer et. al (2013) yang mengumpulkan statistik BRT yang ada di AS dari beberapa dekade. Tahun 1976-1979, ada 2 persen laki-laki yang memutuskan menjadi BRT, tahun 1980-1989 sebanyak 2,8 persen, 1990-1999 sebanyak 2,7 persen, dan tahun 2000-2009, jumlahnya mencapai 3,5 persen atau sekitar 550.000 laki-laki.
Kembali ke cerita Bhaga, menjadi BRT juga menyimpan sisi tak enak. Berbeda dengan pengalaman Lika yang tak menemukan masalah saat mengajak anak berkumpul dengan teman-temannya, Bhaga justru kesulitan melakukan hal serupa.
“Soalnya, teman-teman cewek Lika yang diajak ngumpul kebanyakan senang main sama Astu. Misalnya Lika ke toilet sebentar, mereka enggak masalah dititipi Astu. Nah, kalau teman-teman gue yang kebanyakan cowok kan enggak gitu,” aku Bhaga.
Memutuskan menjadi BRT di tengah lingkungan yang masih mengamini pembedaan peran secara tradisional dan pengagungan konsep maskulinitas tunggal memang tidak mudah. Akan tetapi, jika pihak suami merasa lebih cocok menjalankan peran merawat serta mengelola anak dan rumah tangga, mengapa tak mencoba menjajalnya?
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Maulida Sri Handayani