tirto.id - Istri mana yang lebih unggul? Yang menjadi ibu rumah tangga atau wanita karier?
Perdebatan macam ini seolah baru akan usai pada akhir zaman kelak. Dengan macam-macam pembenaran seperti semangat emansipasi perempuan dan pertimbangan realistis untuk memenuhi kebutuhan hidup, pihak-pihak yang pro terhadap istri bekerja mencoba meyakinkan orang untuk sepaham dengannya.
Ibu-ibu rumah tangga pun menjabarkan sederet alasan yang membenarkan pilihan mereka untuk tinggal di rumah. Mulai dari argumen menyediakan waktu berkualitas dengan anak sampai pembenaran lewat ayat-ayat agama dilontarkan agar sekitarnya mengiyakan pilihan itu.
Zaman berubah, nilai bergeser. Tak terkecuali nilai-nilai terkait rumah tangga. Dengan melebarnya akses ke pendidikan dan gembar-gembor pemberdayaan perempuan, perempuan pun menjajal peran-peran yang semula cuma disematkan kepada laki-laki: mencari nafkah.
Namun, ternyata penerimaan anggapan bahwa perempuan sepatutnya bekerja sebagaimana laki-laki masih diamini sebagian milenial saja. Di Amerika Serikat, banyak milenial masih mendamba ibu rumah tangga untuk menjadi pasangannya.
Kesimpulan itu datang dari penelitian yang dilakukan David Cotter, profesor Sosiologi dari Union College, bersama Joanna Pepin, kandidat doktor dari University of Maryland. Ia melakukan studi tentang pandangan laki-laki milenial terhadap peran perempuan dalam rumah tangga. Dalam studinya, mereka melihat pergeseran cara pandang responden—yang merupakan siswa-siswa SMA tingkat akhir—tentang bagaimana istri mereka seharusnya menjadi dari beberapa latar dekade.
Pada 1994, 42 persen responden mengatakan bahwa laki-lakilah yang semestinya menjadi pencari nafkah utama, sementara perempuan mengurus hal-hal di ranah privat. Kala itu, 29 persen responden juga memandang bahwa suami yang memegang peran utama untuk mengambil seluruh keputusan penting dalam keluarga. Beranjak ke tahun 2014, persentase responden yang ingin laki-laki menjadi pencari nafkah utama naik hingga 58 persen, sementara yang menyatakan suami mesti menjadi pengambil seluruh keputusan penting dalam keluarga melonjak hingga 37 persen.
Dari data ini, dapat dipahami bahwa di AS, pembagian peran tradisional justru lebih dipertahankan seiring dengan perkembangan waktu.
Mengapa bisa demikian? W. Bradford Wilcox and Samuel Sturgeon membeberkan analisisnya dalam The Washington Post. Menurut mereka, meningkatnya jumlah kaum minoritas di AS memberi sumbangsih terhadap pergeseran pandangan tentang rumah tangga.
Sejak dekade 1970-an, setelah semangat pemberdayaan perempuan digencarkan di sana, perlahan tapi pasti, masyarakat menerima kehadiran perempuan di ranah-ranah publik. Namun tampaknya, yang terpapar oleh semangat ini adalah mereka yang berprivilese mengecap pendidikan, serta datang dari kalangan mayoritas kulit putih. Sebagian besar kelompok Hispanik (Amerika Latin) dan Afrika-Amerika masih menyenangi pembagian peran secara patriarkis dalam rumah tangga.
Pada 1980-an, keturunan Hispanik di AS usia 18-25 hanya sebesar 7 persen. Persentase ini merangkak naik sekarang: mencapai 22 persen. Pertambahan jumlah milenial dari kelompok ini turut berkontribusi terhadap hasil survei mengenai gagasan rumah tangga yang ideal.
Tidak cuma komunitas Hispanik saja yang menunjukkan kecenderungan memilih pembagian peran pasangan secara patriarkis. Banyak anak muda Afrika-Amerika yang juga meyakini hal itu lebih tepat diterapkan dalam rumah tangga mereka. Singkat kata, menurut pandangan Wilcox dan Sturgeon, multikulturalisme yang ada di negara tersebut membawa tantangan tersendiri bagi nilai-nilai progresif yang dipegang sebagian masyarakat kulit putih.
Tidak hanya multikulturalisme yang menimbulkan pergeseran pandangan tentang rumah tangga ideal. Cotter dan Pepin juga melihat ada beberapa faktor lain yang membuat anak-anak muda di sana lebih memilih bentuk rumah tangga tradisional.
Promosi menjadi ibu rumah tangga yang gencar pada dekade 90-an, tantangan besar untuk menyeimbangkan kehidupan kerja dan keluarga, serta kritik terhadap semangat feminisme yang mendorong perempuan untuk merengkuh banyak ranah disebut sebagai pendorong mereka untuk lebih mengutamakan perempuan sebagai ibu rumah tangga.
Pandangan Beberapa Laki-Laki Milenial di Sini
Bila di AS terdapat kecenderungan laki-laki milenial lebih suka perempuan mengurus pekerjaan domestik, lain halnya dengan beberapa laki-laki milenial Indonesia yang Tirto mintai pendapatnya. Gery (31) misalnya, mengatakan lebih senang bila istrinya kelak tetap bekerja. Ia ingin supaya sang istri tidak bergantung secara ekonomi kepadanya.
“Seandainya ada apa-apa, istri gue nanti bisa tetap survive,” komentar laki-laki yang berprofesi sebagai pengarah artistik ini. Dengan membiarkan sang istri bekerja, Gery berharap dapat memiliki waktu lebih banyak untuk mengurus rumah sembari mengambil pekerjaan freelance atau membuka usaha sendiri.
Baca juga: Mengapa Milenial Kepincut Pekerjaan Freelance
Kecenderungan Gery untuk memiliki istri bekerja ini juga dilandasi pengalaman orangtuanya yang berpisah dan melihat ibunya yang seorang ibu rumah tangga sempat bingung ke mana mencari pemasukan. Ditambah lagi, lingkaran pergaulan Gery juga mendukungnya memiliki gagasan ini. Beberapa teman laki-laki sepantarnya pun tidak segan terjun ke ranah domestik.
Baca juga: Belajar Jadi Bapak Rumah Tangga
Senada dengan Gery, Ibrahim Ukrin (24) pun tidak keberatan bila kelak memiliki istri yang bekerja. “Tidak masalah kalau istri bekerja karena membangun ekonomi rumah tangga enggak gampang. Apa-apa mahal. Selain itu, gue sebenarnya enggak pengen pasangan gue menjadi istri yang pasrah dan enggak punya ambisi,” ujar lulusan Institut Teknologi Bandung ini. Perkara pembagian peran dalam rumah tangga, menurut Ibrahim, suami dan istri juga perlu bernegosiasi.
Meski laki-laki memiliki preferensi tersendiri terkait aktivitas calon istri idaman mereka, bukan berarti mereka tak memberi peluang bagi pasangan untuk menentukan sendiri mana yang paling nyaman baginya. Pendapat ini dinyatakan oleh Anda (28).
Secara personal, ia memilih istri yang bekerja. Alasannya, kebanyakan aktivitas yang dilakukannya dan pasangan lebih bersifat outdoor dan saat menikah nanti ia tidak ingin mengubah situasi ini.
“Gue enggak mau pernikahan membuat pasangan gue berpikir untuk tinggal di rumah, karena toh gue enggak mau memaksanya untuk enggak bekerja, kecuali kalau dia memilih demikian. Untuk urusan domestik atau mengasuh anak bisa dilakukan bergantian,” papar laki-laki yang bekerja di media ini. “Intinya, jangan sampai rumah jadi tempat yang membosankan untuk kami berdua.”
Tidak semua laki-laki milenial mengidamkan istri yang bekerja. Aris Masruri (26) mengaku lebih menyukai calon istrinya kelak menjadi ibu rumah tangga. “Menurut saya, agak susah kalau dua-duanya bekerja. Saya khawatir sama perkembangan anak nantinya kalau bukan ayah atau ibunya sendiri yang mengurus,” ungkap Aris.
Sejauh ini, calon istri Aris memang ingin menjadi ibu rumah tangga bila dikaruniai anak kelak, meskipun orangtua sang kekasih lebih senang ia tetap bekerja. Namun, Aris dan calon istrinya tidak akan memenuhi harapan orangtuanya.
“Menurut saya, mertua atau orangtua enggak berhak menentukan pilihan dalam hidup kami. Makanya, kami [nanti] memilih hidup terpisah dengan orangtua,” imbuh laki-laki yang berprofesi sebagai dosen ini.
Rumah Tangga di Era Digital
Aneka kemudahan telah dimungkinkan dengan keberadaan internet, termasuk fleksibilitas tempat kerja. Beberapa perusahaan memungkinkan karyawannya untuk bekerja jarak jauh alias tidak perlu hadir di kantor selama pekerjaan bisa dituntaskan tepat waktu.
Mengirim dokumen? Cukup gunakan e-mail. Berdiskusi dengan rekan kerja atau klien? Manfaatkan aplikasi pesan. Butuh meeting tetapi tidak bisa hadir di kantor? Bisa memilih video call. Cara bekerja karyawan di era digital seperti sekarang telah bergeser, melahirkan suatu gaya hidup baru: digital nomad. Bekerja sekaligus melanglang buana bisa dilakukan bersamaan.
Saat hal ini terjadi, batasan antara sisi privat dan publik dalam kehidupan seseorang pun bisa lebur. Tidak cuma dalam terkait aktivitas bepergian saja. Campur tangan teknologi pun memungkinkan seseorang menebas batas ranah kerja dan ranah domestik. Kini, bukan mustahil bagi milenial atau generasi penerusnya untuk bekerja dari rumah. Bahkan, istilah work-at-home mom/dad pun muncul berkat sokongan perkembangan teknologi informasi.
Bagi sebagian perempuan, kehadiran anak menciptakan keterikatan tersendiri yang membuatnya ingin lebih lama berada di rumah. Separuh bisa jadi memilih berhenti total bekerja, tetapi mereka yang punya ambisi besar terus berkarya atau berbisnis bisa mengakali situasi ini dengan memindahkan pekerjaan ke rumah. Sekali rengkuh, dua tiga pulau terlampaui.
Mengurus anak penuh waktu dimungkinkan, mencari pemasukan selain dari suami pun bisa dilakukan. Dengan tetap mempertahankan aktivitas bekerja, para ibu pun bisa menyalurkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk hal yang produktif dan disenangi tanpa perlu mengorbankan perkembangan diri mereka sendiri ataupun keluarga. Hal serupa pun bisa dilakukan laki-laki sebagaimana Gery isyaratkan.
Baca juga: Mengasuh Anak ala Milenial
Meski teknologi digital dianggap menjadi pendukung negosiasi pembagian peran dalam rumah tangga, bukan berarti hal ini tidak punya cacat cela. Menggabungkan dua ranah di satu lokasi bisa jadi memicu kejenuhan lebih dini. Saat ada masalah dalam pekerjaan yang dikerjakan di rumah misalnya, potensial emosi terlampiaskan ke orang sekitar, termasuk ke anak atau pasangan yang ada di sana.
Selain itu, alih-alih bisa membagi waktu yang adil untuk keluarga dan pekerjaan, sangat mungkin terjadi ketimpangan dalam mengelola waktu dan perhatian saat rumah dijadikan tempat kerja. Klien mengejar-ngejar penyelesaian pekerjaan dibarengi latar suara tangisan anak tentu saja jadi mimpi buruk yang mesti dipikirkan antisipasinya oleh mereka yang memilih bekerja di rumah.
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Maulida Sri Handayani