Menuju konten utama

Stereotip yang Melukai

Orang Indonesia adalah orang yang tidak pernah on-time, orang Asia secara umum terkenal pandai dalam matematika, sementara Korea identik dengan pekerja keras. Setidaknya, kita pernah mendengar salah satu dari pernyataan itu, sebuah stereotip. Stereotip itu bisa jadi benar, tetapi bisa pula salah kaprah. Di balik itu semua, stereotip menyimpan bahaya yang laten.

Stereotip yang Melukai
(Ilustrasi) Stereotip global. Orang Amerika Serikat sering disebut bebal, tidak mau tahu tentang negara-negara lain, dan aksennya konyol. [Antara Foto/Fikri Yusuf.]

tirto.id - Dua orang anak berkulit hitam, lelaki dan perempuan, berusia mungkin sekitar lima tahun duduk di sebuah ruangan. Di hadapan mereka terdapat sebuah kertas yang memiliki gambar kartun deretan beberapa orang anak yang memiliki warna kulit berbeda.

Di sisi paling kanan merupakan gambar anak dengan kulit hitam legam, dan semakin ke kiri warna kulit yang dimiliki olah gambar kartun anak tersebut semakin putih.

"Apakah kamu ingat ketika kamu ditanyai, warna kulit apa yang kamu inginkan?" tanya seorang pria setengah baya berkulit putih.

"Ya," jawab sang anak lelaki. "Ya, yang manakah?" lanjut sang pria setengah baya. "Yang itu," jawab sang anak, sembari menunjuk gambar paling kiri, gambar kartun seorang anak dengan kulit paling putih.

Sang pria setengah baya itu kemudian berpaling kepada anak perempuan dan mengajukan pertanyaan yang sama. Si anak perempuan menunjuk gambar kartun anak kedua dari paling kiri, seorang anak dengan kulit sedikit lebih gelap dari pilihan anak lak-laki.

"Mengapa kamu menginginkan warna kulit itu?" tanya sang pria. "Sebab warna kulitnya lebih putih dari warna kulit ini [sembari menunjuk wajahnya]," jawab sang anak perempuan.

"Aku hanya tidak menyukai bagaimana kulit ini tampak coklat [menunjuk tangannya sendiri] karena beberapa alasan warna coklat ini tampak buruk, tapi aku tidak tahu mengapa."

"Jadi kamu berpikir bahwa kamu terlihat buruk?" tanya sang pria. "Hmm, tidak juga, hanya terkadang," jawab sang anak perempuan.

"Apakah kamu ingat apa jawabanmu ketika ditanya warna kulit apa yang orang dewasa tidak sukai?" sang pria meneruskan pertanyaannya. Anak perempuan itu kemudian menunjuk gambar kartun anak paling hitam di sebelah kanan.

"Menurutmu, mengapa orang dewasa tidak menyukainya?" lanjut sang pria. "[Berkulit] Hitam," balas anak perempuan tersebut singkat.

Kejadian itu merupakan cuplikan dari rekaman wawancara Anderson Cooper, sang pria setengah baya pembawa acara AC360 di CNN, kepada dua orang anak yang merupakan subyek dari sebuah studi percobaan mengenai stereotip warna kulit.

Studi itu dilakukan oleh CNN bekerja sama dengan psikolog anak terkenal dari University of Chicago profesor Margaret Beale Spencer pada tahun 2010 di Amerika Serikat.

Spencer, bersama dengan timnya, melakukan tes terhadap 133 anak berusia 4 hingga 5 tahun dan 9 hingga 10 tahun dari delapan sekolah. Empat berlokasi di area kota New York dan sekitarnya, sisanya terletak di Georgia.

Ia mencoba mengkreasi ulang tes Doll pada tahun 1940'an, sebuah studi yang kemudian menjadi dasar dari desegregasi sekolah di AS.

Hasil dari studi itu mengungkap sebuah hal yang sangat "meresahkan" yakni sisi kelam dari stereotip yang sudah mengakar dalam kultur masyarakat di Negara Adi Daya tersebut.

Tes yang dilakukan Spencer menunjukkan bahwa anak-anak kulit putih, secara keseluruhan, mengidentifikasi warna kulit mereka sendiri dengan atribut positif dan kulit yang lebih gelap dengan atribut negatif. Spencer juga mengatakan bahwa secara keseluruhan anak-anak kulit hitam memiliki beberapa bias terhadap kulit putih, meskipun jauh lebih sedikit daripada anak-anak kulit putih.

Studi itu memang tidak dapat dijadikan sebagai petunjuk akan sebuah tren. Namun, studi itu membuat Spencer menarik sebuah kesimpulan bahwa bahkan di tahun 2010, dengan Barack Obama sebagai Presiden kulit hitam AS pertama, "kita masih hidup di tengah masyarakat di mana hal-hal yang berwarna gelap direndahkan, dan hal-hal berwarna putih dihargai."

Bahaya Terselubung Stereotip

Banyak orang mungkin memandang stereotip dengan sebelah mata, bahkan kadang dianggap sebagai hal yang wajar ataupun lucu. Memang tidak semua stereotip menjurus kepada hal yang negatif. Yang pasti, stereotip sadar maupun tidak sadar hadir di tengah-tengah masyarakat.

Akan tetapi, berdasarkan sejumlah penelitian ilmiah, stereotip dapat menjadi sebuah "alat" yang berbahaya, istilahnya adalah ancaman stereotip. Claude M. Steele dari Stanford University dan Joshua Aronson dari University of Texas merupakan ilmuwan yang pertama kali menyebut istilah tersebut.

Pada tahun 1995, eksperimen yang mereka lakukan menunjukkan mahasiswa perguruan tinggi berkulit hitam di tahun pertama dan keduanya mendapat hasil yang lebih buruk pada sebuah tes berstandar dibandingkan mahasiswa berkulit putih ketika ras mereka mendapat penekanan.

Sebaliknya, ketika ras mereka tidak ditekankan, mahasiswa kulit hitam mendapat hasil yang lebih baik yang setara dengan hasil yang diperoleh mahasiswa kulit putih. Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa kinerja dalam konteks akademik dapat "dilukai" oleh kesadaran bahwa perilaku seseorang dapat dilihat melalui lensa stereotip rasial.

Penelitian yang dilakukan oleh Aronson dan Steele dengan Michael Lustina serta Kelli Keough, dari University of Texas di Austin, beserta dan Joseph Brown dari Universitas Stanford pada tahun 1999, juga menunjukkan jika ancaman stereotip mampu "mencederai" performa akademis mahasiswa kulit putih ketika mereka dihadapkan dengan momok superioritas orang Asia di bidang matematika.

Ratusan eksperimen mengenai dampak dari ancaman stereotip telah dilakukan dalam dua dekade terakhir. Tidak hanya mengenai kulit hitam dan putih dan di luar jangkauan dunia akademis, ancaman stereotip ternyata juga mempengaruhi performa pria kulit putih dalam olahraga, perempuan dalam negosiasi, dan perempuan ketika mengemudikan kendaraan, demikian seperti dikutip dari reducingstereotypethreat.org.

Yang Terjadi di Indonesia

Baru-baru ini, seorang wanita, sebut saja X, lulusan sebuah universitas swasta di Indonesia mengalami sendiri dampak buruk dari ancaman stereotip dalam sebuah sesi wawancara yang bersifat akademis. Sebagai catatan, si X kebetulan memiliki darah etnis Cina.

Dalam sesi wawancara tersebut, ia dipojokkan oleh para pewawancara karena identitas etnisnya. Berdasarkan keterangannya, salah seorang pewawancara tersebut menghantamnya dengan stereotip bahwa mereka yang merupakan keturunan Cina hanya berpikir mengenai profit apa yang dapat mereka peroleh.

“Saya marah dan tidak dapat berkata apa-apa,” kata X kepada tirto.id, sembari menambahkan performanya dalam sesi wawancara tersebut kemudian jatuh.

Apa yang dialami X bisa jadi merupakan potret skala kecil dari ancaman stereotip yang mungkin terjadi dalam masyarakat Indonesia yang dihuni oleh berbagai macam suku dan etnis.

Jumat pekan lalu, ancaman stereotip juga tampak dengan jelas dilancarkan oleh sekelompok organisasi masyarakat (ormas) terhadap mahasiswa Papua, yang kebetulan pula memiliki warna kulit lebih gelap karena masih bagian dari ras Melanesia, di Yogyakarta.

Ketika itu, mahasiswa Papua yang tergabung dalam Persatuan Rakyat untuk Pembebasan Papua Barat(PRPPB) berencana untuk melakukan long march sebagai upaya dari ekspresi dukungan mereka terhadap United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) agar menjadi anggota penuh Melanesian Spearhead Group (MSG).

Mereka diteriaki "Monyet!" dan "Anjing!" oleh beberapa ormas seperti Pemuda Pancasila, Paksi Katon, dan Laskar Jogja, sebuah makian yang muncul dari stereotip bahwa orang-orang Papua masih merupakan orang yang terbelakang.

Apabila penelitian para pakar di Amerika tersebut tepat, bukan tidak mungkin perlakuan sejumlah oknum terhadap orang Papua berdasarkan stereotip tersebut-lah yang membuat mahasiswa Papua sendiri memandang mereka tidak mampu berprestasi seperti etnis-etnis lain di Indonesia.

Atau yang lebih buruk, jangan-jangan stereotip-lah yang menghambat kemajuan Indonesia sebagai sebuah bangsa? Nah, butuh keberanian lebih lanjut dari para peneliti untuk membuktikan hal itu.

Baca juga artikel terkait SOSIAL BUDAYA atau tulisan lainnya dari Ign. L. Adhi Bhaskara

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Ign. L. Adhi Bhaskara
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti