tirto.id - Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) memberhentikan dengan tidak hormat Stepanus Robin Pattuju. Hasil persidangan kode etik pada Senin (31/5/2021) memutuskan Robin telah melakukan pelanggaran berat dan menyalahi kode etik sebagai penyidik KPK.
"Menghukum terperiksa [Robin] dengan sanksi berat berupa diberhentikan dengan tidak hormat sebagai pegawai KPK," ujar Ketua Dewas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean dalam persidangan.
Dewas KPK menilai perbuatan Robin yang menjalin hubungan dengan pihak-pihak yang sedang beperkara di komisi antirasuah sangat tak pantas. Robin juga melakukan perbuatan terlarang, yaitu menunjukkan kartu identitas sebagai penyidik KPK kepada pihak yang tak berkepentingan. Ia juga bersalah karena meminta sejumlah uang dan gratifikasi kepada pihak beperkara tersebut.
"Itu pelanggaran kode etiknya. Semuanya oleh majelis dinyatakan terbukti sesuai dengan pedoman perilaku kode etik yang telah ditetapkan oleh Peraturan Dewas Nomor 02 Tahun 2020 Pasal 4 ayat 2 huruf a, b, dan c," ucap Tumpak.
Tak ada sama sekali hal meringankan yang menjadi pertimbangan putusan Dewas KPK.
Pihak beperkara yang dimaksud adalah Wali Kota Tanjungbalai Sumatera Utara Syahrial. Robin memerasnya sebesar Rp1,6 miliar sebagai imbal jasa agar perkara diupayakan dihentikan. Kasus Syahrial sendiri terkait penerimaan hadiah atau janji lelang jabatan pada 2019.
Perkenalan Robin dengan Syahrial diduga melibatkan dan difasilitasi oleh Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin di rumah dinasnya pada Oktober 2020.
Robin mengaku bersalah. "Saya minta maaf kepada institusi KPK. Saya minta maaf yang sebesar-besarnya kepada institusi asal saya, Polri," katanya usai putusan. Ia berjanji akan bertanggung jawab.
Lulusan Akpol, Masuk KPK dengan Nilai di Atas Rata-Rata
Robin berpangkat Ajun Komisaris Polisi (AKP). Ia adalah lulusan Akademi Kepolisian (Akpol) 2009 yang menyandang pangkat Iptu.
Kariernya sebagai perwira terus menanjak hingga ditugaskan sebagai Kapolsek Gemolong, Sragen, Jawa Tengah pada 2017. Salah satu pekerjaan yang tercatat saat itu adalah penangkapan kawananan perampok yang menyatroni rumah pensiunan PNS. Meski tidak membawa hasil, perampok tersebut sempat melukai pemilik rumah menggunakan senjata tajam.
Pada 2019 Robin dimutasi ke Polda Maluku Utara. Ia pun sempat diangkat menjadi Kepala Bagian Operasional Polres Halmahera Selatan. Ia menggantikan Kabag Ops sebelumnya yang dicopot karena diduga menyelewengkan anggaran pengamanan Pemilu 2019. Pencopotan dipicu adanya aksi protes personel polres setempat yang menuntut honor pengamanan pemilu.
Tak berselang lama, ia dinyatakan lolos dalam seleksi penyidik KPK. Ia pun berangkat ke Jakarta untuk bergabung sebagai penyidik muda. Karier Robin sebagai penyidik KPK dimulai pada 1 April 2019.
Ketua KPK yang juga dari Polri Firli Bahuri menyebut hasil tes Robin di atas rata-rata. "Hasil tesnya menunjukkan sebagai berikut: potensi di atas rata-rata, di atas 100 persen, yaitu di angka 111,41 persen. Hasil tes kompetensi di atas 91,89 persen. Artinya, secara persyaratan mekanisme rekrutmen tidak masalah," ujar Firli, Kamis (22/4/2021) malam, dilansir dari Antara.
Firli mengatakan kasus Robin adalah bukti bahwa nilai tes bagus tidak selamanya berbanding lurus dengan integritas. Kewenangan sebagai penyidik ia salahgunakan untuk memeras pihak-pihak yang beperkara dan menguntungkan diri sendiri.
Diduga Tak Cuma Peras Wali Kota Tanjungbalai
Kuat dugaan selama di KPK Robin tak hanya memeras Wali Kota Tanjungbalai Syahrial. Ia juga diduga memeras Ajay Muhammad Priatna, eks Wali Kota Cimahi yang tersangkut kasus suap perizinan rumah sakit.
Dalam satu sidang, Sekda Kota Cimahi Didik Suratno Nugrahawan mengatakan Ajay pernah diminta uang Rp1 miliar dari pihak yang mengaku penyidik KPK agar tak terkena operasi tangkap tangan (OTT) pada 27 November 2020. KPK pun telah memeriksa Ajay dan sejumlah pejabat Pemkot Cimahi.
"Seluruh saksi tersebut didalami pengetahuannya, antara lain terkait dugaan adanya pemberian sejumlah uang oleh Ajay M. Priatna kepada pihak-pihak tertentu yang mengatasnamakan tersangka SRP," ujar Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri di Jakarta, Jumat (28/5/2021) dilansir dari Antara.
Peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana berpendapat Robin tak bergerak sendiri. Kurnia menduga ada banyak pihak yang terlibat dalam pemerasan. Untuk itulah menurut Kurnia Dewas KPK seharusnya tak hanya memeriksa Robin, tetapi juga memeriksa atasan-atasannya.
"Jadi pemeriksaan harus berjenjang, tidak hanya kepada penyidiknya, tetapi kepada atasannya, deputi penindakan, itu semua harus diperiksa," kata Kurnia kepada reporter Tirto.
Editor: Rio Apinino