Menuju konten utama
5 Januari 1943

Soejono, Orang Indonesia yang Jadi Menteri di Kabinet Belanda

Soejono adalah orang Indonesia yang dijadikan menteri kabinet Belanda era PD II. Ketika itu dia bicara soal hak menentukan nasib sendiri bagi Indonesia.

Soejono, Orang Indonesia yang Jadi Menteri di Kabinet Belanda
Pangeran Adipati Soejono. tirto.id/Deadnauval

tirto.id - Waktu bala tentara Jepang hendak menyerbu Indonesia, banyak pejabat kolonial yang melarikan diri ke Australia. Pangeran Raden Adipati Ario Soejono adalah salah satu pegawai tinggi kolonial yang atas petunjuk Gubernur Jenderal Hindia Belanda ikut serta ke Australia. Sebelum Hinda Belanda bertekuk lutut kepada Jepang, Soejono adalah anggota Raad van Indie (Dewan Hindia), anggota Dewan Rakyat (Volksraad), dan Bupati Pasuruan.

Soejono, seperti dicatat Netherlands News Digest (Volume 1, 15/1/1943) terbang dari Jawa ke Australia bersama Hubertus Johannes van Mook. Menurut Yong Mun Cheong dalam H.J. van Mook and Indonesian Independence (1982: 25), van Mook berangkat dari Jawa pada 6 Maret 1942 dan baru tiba dua hari kemudian, persis ketika Hindia Belanda menyerah tanpa syarat pada 8 Maret 1942 di Kalijati, Subang.

Harry Poeze dan kawan-kawan dalam Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda, 1600-1950 (2008: 342) menyebut bersama mereka berdua pergi pula Lukman Djajadiningrat ke Australia. Lukman adalah saudara dari Pangeran Achmad Djajadiningrat.

Di masa sulit itu, masih menurut Poeze dan kawan-kawan, Belanda merasa perlu menunjukkan kepada Sekutu—dalam hal ini Amerika—bahwa Belanda bukan negara kolonial yang reaksioner. Sekutu dianggap perlu untuk diperlihatkan soal nasib Indonesia setelah PD II selesai. Soejono pun akhirnya masuk kabinet Perdana Menteri Pieter Sjoerd Gerbrandy. Sejak Juni 1942 Soejono adalah Menteri tanpa Portofolio—menteri yang tidak memimpin sebuah departemen.

Pengangkatannya dalam kabinet pada 10 Juni 1942 itu, seperti dicatat Netherlands News Digest, ditafsirkan sebagai indikasi adanya partisipasi orang-orang Indonesia dalam Kerajaan Belanda. Pada 12 Juni Soejono ditempatkan dalam Dewan Penasihat Luar Biasa pemerintah Belanda dan pada 16 Juni dijadikan anggota Dewan Konsultasi Hindia Belanda.

Soejono pun harus terbang jauh dari Australia ke London, di mana pemerintahan pengasingan Kerajaan Belanda berpusat, karena Belanda sudah diduduki tentara Jerman. Bagi Perdana Menteri Gerbrandy, hari pengangkatan Soejono adalah saat-saat yang bersejarah. “[…] sekarang untuk pertama kalinya seorang putra bangsa Indonesia menjadi anggota pemerintah Belanda,” kata Gerbrandy dengan disambut gembira sidang kabinet.

Meski hanya tampak sebagai simbol di kabinet Gerbrandy, Soejono seolah-olah mengulangi apa yang pernah dilakukan Soetardjo Kartohadikoesomo pada 15 Juli 1936 yang menginginkan adanya perwakilan untuk sebuah pemerintahan di Indonesia—yang dikenal sebagai Petisi Soetardjo. Pada Oktober 1942, seperti dicatat Poeze dan kawan-kawan, Soejono mengajukan dua nota. Dalam nota tersebut Soejono menyatakan bahwa di kalangan orang-orang Indonesia ada keinginan yang laten untuk memutuskan hubungan dengan Belanda. Ia menginginkan pernyataan-pernyataan Belanda haruslah mendorong untuk menjamin lahirnya kebersamaan sukarela dalam ikatan ketatanegaraan.

Seperti dicatat Loius de Jong dalam Het Koninkrijk der Nederlanden in de Tweede Wereldoorlog: Deel 9: Londen (1979: 372), Soejono tampak menginginkan adanya pengakuan secara prinsip terhadap hak Indonesia untuk menentukan nasib sendiri. Tapi pendapat Soejono tak didengar rekan-rekan kabinet yang orang Belanda, bahkan oleh wakil kelompok sosialis, dan tentunya oleh orang yang bersamanya kabur dari pendudukan Jepang, van Mook, yang dijadikan Menteri Tanah Jajahan. Tidak elok bagi kolonialis Belanda di masa genting melawan Jerman dan Jepang, tiba-tiba orang Indonesia dalam jantung pemerintahan minta merdeka.

Soejono kemudian terasing di London hingga akhirnya meninggal setelah tujuh bulan jadi menteri. Pangeran Raden Adipati Ario Soejono tutup usia di London pada 5 januari 1943, tepat hari ini 77 tahun lalu, dalam usia 56. Louis de Jong (hlm. 372) menyebut kematiannya tak terduga dan kemungkinan karena tidak terbiasa dengan cuaca di sana. De Jong memperikirakan bahwa Soejono telah merasa sangat terasing dari masyarakat Indonesia, namun dia menyadari dirinya dapat melakukan sesuatu untuk kepentingan masyarakat Indonesia. Di masa jadi menteri itu, Soejono merasa tanggung jawabnya besar.

Infografik Mozaik Pangeran Ario Soejono

Infografik Mozaik Pangeran Ario Soejono. tirto.id/Quita

Dari Tulungagung hingga London

Soejono adalah anak Bupati Tulungagung, Jawa Timur. Koran Belanda De Tijd (10/1/1940) menyebut Soejono lahir di kabupaten itu pada 31 Maret 1886. Di Tulungagung dia memulai sekolah dasarnya dan menyelesaikannya di Surabaya. Di Surabaya dia menjalani masa-masa menjadi siswa sekolah elite HBS hingga lulus.

Setelah lulus ujian calon pegawai kolonial pada 1908, dia bertugas di Magelang sebagai asisten wedana dan mantri polisi. Pada 1911 dia diangkat menjadi Wedana Kedoyo dan pada 1914 diangkat menjadi Wedana Pare, Kediri. Di tahun 1915 barulah dia menjadi Bupati Pasuruan hingga 1927. Dia juga sudah jadi anggota Volksraad sejak 1920 hingga 1930.

Dia kemudian dikirim ke Belanda untuk belajar soal pajak tanah. Selama masa belajarnya di negeri penjajah, dia pernah ikut delegasi Belanda dalam Konferensi Buruh di Jenewa pada 1930. Pulang dari Belanda dia jadi anggota Volksraad lagi.

Bersama Achmad Djajadiningrat dan Adipati Koesoemo Oetojo, Soejono adalah segelintir bupati yang menonjol di Hindia Belanda awal abad ke-20. Ketiganya, seperti dicatat Loius de Jong (hlm. 370), adalah Drie Musketiers alias tiga ksatria. Di antara ketiganya, Soejono adalah yang termuda. Ketiganya mendapat gelar pangeran dan naik ke jabatan yang lebih tinggi dengan menjadi anggota Dewan Rakyat atau Dewan Hindia.

Selama 1930-an dia ke Belanda lagi. Anak-anaknya, Irawan dan Sutiasmi Soejono, pun bersekolah di sana. Semasa Belanda diduduki Jerman, Irawan adalah bagian dari gerakan bawah tanah perlawanan anti-Nazi di Belanda. Irawan terbunuh dalam sebuah razia aparat Jerman pada 13 januari 1945. Dia menyusul ayahnya yang tutup dua tahun lebih dulu darinya.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Politik
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan