tirto.id - Sebuah laporan pemerintah kolonial (Mailrapport) dari tahun 1887 menyebut kisah konyol bupati yang selingkuh dan asisten residen yang kena sial. Kisah ini diceritakan kembali sejarawan Ong Hok Ham dalam disertasi yang ia pertahankan di Yale University, The Residency of Madiun: Priyayi and Peasant in the Nineteenth Century (1975), dan sebuah esainya di Harian Kompas tanggal 8 Juli 1983 berjudul “Kehidupan Pangreh Praja dan Hndia-Belanda”.
Tersebutlah seorang bupati muda yang tampan bernama Sosrodiningrat. Ia memimpin Kabupaten Ngawi (masuk dalam Karesidenan Madiun) ketika pemberontakan petani sedang marak dan kecurigaan pemerintah terhadap pemimpin-pemimpin pribumi makin meningkat.
Pada 1885, Sosrodiningrat dicurigai “ada main” dengan seorang perempuan indo. Di zaman itu, perselingkuhan para bupati lazim terjadi. Tapi apa yang dilakukan Sosrodiningrat dianggap keterlaluan: seorang pejabat pribumi yang memiliki affair dengan perempuan indo akan mengganggu ketertiban umum dan kewibawaannya bisa jatuh di mata rakyat. Jatuhnya kewibawaan bupati berarti jatuh pula martabat pemerintah.
Dalam negara kolonial yang menganut sistem pemerintahan tak langsung (indirect rule), peran para pejabat pribumi memang sangat menonjol dalam hubungan rakyat dan negara. Mereka bertindak sebagai wakil pemerintah kolonial dalam mengurus rakyat negeri jajahan.
"Pemerintahan tak langsung" adalah istilah yang dikemukakan John Sydenham Furnivall, pegawai kolonial Inggris di Burma, yang pernah meneliti sistem perekonomian Hindia Belanda dan dituangkan dalam buku Netherlands India: A Study of Plural Economy (1939). Yang dimaksud dalam istilah ini ialah Belanda tidak menempatkan pegawai-pegawai berkebangsaan Eropa untuk mengisi jabatan-jabatan level menengah dan bawah di pemerintahan, melainkan menunjuk para priyayi bumiputra.
Sejak zaman VOC dan kemudian dilanjutkan oleh negara Hindia Belanda, mereka selalu menggunakan penguasa lokal untuk menjalankan pemerintahan. Para penguasa lokal ini biasanya berasal dari kalangan priyayi menengah atau rendahan yang diberi status pegawai negeri dalam kategori Inlandsch Bestuur (penguasa pribumi). Lantaran statusnya sebagai pegawai, mereka diwajibkan menjaga kewibawaan dan martabat pemerintah kolonial di depan rakyat.
Maka demi urusan martabat itulah seorang asisten residen—yang berkebangsaan Eropa—diperintahkan menyelidiki affair Bupati Sosrodiningrat. Tuan Asisten Residen sungguh pejabat yang penuh dedikasi. Pada malam hari ketika Sosrodiningrat mengunjungi rumah selingkuhannya, ia memanjat pohon untuk mengintip kelakuan si bupati. Ia ingin sungguh-sungguh memastikan apakah benar terjadi “hal-hal yang diinginkan” antara Sosrodiningrat dengan perempuan indo itu.
Esok harinya, dengan ketekunan penuh ala ambtenaar Eropa di tanah jajahan, ia melaporkan kejadian-kejadian yang dilihatnya kepada gubernur jenderal di Batavia. Laporannya sangat detail, sampai-sampai bagian memanjat pohon pun ia ceritakan.
Yang terjadi tidak terduga. Batavia berpendapat bahwa yang dilakukan Tuan Asisten Residen tak sesuai dengan jabatannya sebagai wakil negara Hindia Belanda. Bagaimana mungkin pejabat negara yang amat terhomat bisa merendahkan diri dengan mengintip sepasang pecinta yang sedang dimabuk asmara, sampai manjat pohon pula. Malang betul nasib Tuan Asisten Residen ini, ia dipecat hari itu juga.
- Baca juga: Mitos-mitos tentang Pribumi
Hal sebaliknya terjadi pada Sosrodiningrat. Karena tidak mempunyai keturunan dan saudara yang dianggap mumpuni untuk meneruskan jabatan sebagai bupati, ia tak ikut dipecat. Ia berjanji untuk mengakhiri hubungan gelapnya dengan si perempuan indo.
Urusan pewarisan jabatan kepada sanak-keturunan memang menjadi perhatian tersendiri bagi pemerintah kolonial. Mereka selalu mengangkat pejabat dari tingkat bupati sampai camat berdasarkan garis keturunan atau perkawinan. Dengan begitu, Belanda bisa memperkokoh kedudukan kaum priyayi di daerah-daerah terutama ketika berhadapan dengan para penguasa Mataram. Merit system jelas tak berlaku di zaman itu. Pelanggaran-pelanggaran etika yang dilakukan para pejabat pribumi juga sering dibiarkan.
Orang macam Sosrodiningrat karena itu bisa selamat. Tapi itu tidak lama. Sosrodiningrat terus membandel.
Barangkali lantaran terlanjur ngebet dengan nona indo itu, Sosrodiningrat tak kuasa mengakhiri cinta terlarangnya. Ia tetap meneruskan affair tersebut. Puncaknya terjadi pada 1887 ketika selingkuhannya hamil. Apa boleh buat, ia mesti mengawini dan si perempuan indo tersebut dipaksa masuk Islam.
Gubernur Jenderal tak punya pilihan lain kecuali memecatnya. Kata Ong Hok Ham dalam disertasinya: “[pemerintah] khawatir akan terjadi guncangan terus menerus terhadap kedamaian keluarga di antara para bupati Karesidenan Madiun. Seorang perempuan indo, meski sudah masuk Islam, akan mengganggu hubungan priyayi dan rakyat” (hlm. 276).
Alasan pemecatan mencerminkan betapa obsesifnya pemerintah Hindia Belanda terhadap ketentraman negara kolonial. Alasan itu memperlihatkan paranoia pemerintah kolonial terhadap segala macam hal yang berpotensi merusak rust en orde (ketenangan dan ketertiban).
Penulis: Ivan Aulia Ahsan
Editor: Zen RS