tirto.id - Suwardi Suryaningrat terkenal dengan artikel yang membuatnya dibuang di negeri Belanda selama 6 tahun lamanya. Esei berjudul "Als Ik Een Nederlander Was" (Seandainya Aku Seorang Belanda) itu ditulis menjelang perhelatan hajat pamer akbar pemerintah kolonial: perayaan seratus tahun merdekanya Belanda dari Perancis.
“Apakah yang akan dicapai dengan pesta perayaan itu disini, di Hindia? Apabila itu maksudnya menyatakan kegembiraan nasional maka tidak bijaksana perayaan itu diadakan disini, di negeri yang terjajah,” tulis Suwardi di harian De Express (13/06/1913).
Heroisme Suwardi Suryaningrat sudah banyak dikenang dalam banyak bacaan sejarah, termasuk bacaan untuk pelajaran di sekolah. Namun, tak pernah dijelaskan bagaimana perayaan kolonial itu digelar. Termasuk berapa jumlah uang yang dihabiskan untuk perayaan besar itu sehingga Suwardi harus mengkritiknya.
Baca juga:Gaya Radikal Ki Hadjar Dewantara
Perayaan seratus tahun kemerdekaan Belanda dari Perancis yang jatuh pada 1914 itu dirayakan dalam sebuah pameran besar-besaran bertajuk "Koloniale Tentoonstelling" alias "Pameran Kolonial." Pameran berkelas internasional macam ini kerap dilakukan negara-negara yang kaya karena kolonialisme. Mereka menjual tanah koloni demi mengundang para pemodal dan meningkatkan perdagangan.
Menurut berita harian Bataviaasch Nieuwsblaad (22/08/1914), penyelenggaraan "Koloniale Tentoonstelling" sudah dibahas sejak 1912. Kota Semarang sudah dibicarakan sejak lama sebagai tempat pameran kolonial itu. Menurut Ketua Panitia Pameran, P.K.W Kern, Semarang adalah kota yang makmur dan berkembang pesat, serta mudah dijangkau dan baik fasilitas perhubungannya.
Ada jaringan kereta api, trem, dan pelabuhan laut. Kota ini bisa dijangkau dari kota-kota lain di Jawa dengan kereta api karena Semarang punya stasiun. Dan dari kota di luar Jawa, Semarang bisa dijangkau dengan kapal, karena kota ini punya pelabuhan.
Semarang Bersolek
Hajat akbar kelas dunia ini dipersiapkan selama dua tahun sebelum dilangsungkan. Dalam sebuah pidato yang tercatat dalam Gedenkboek der Koloniale Tentoonstelling (1915), Semarang bersiap diri. Jaringan trem kota dibenahi.
Jalur baru sepanjang 1,75 KM dibangun: dari lintasan Bodjong Weg (kini Jalan Pemuda) lalu berbelok ke jalan tembus yang menuju Pieter Sythofflaan (kini Jalan Pandanaran), untuk menuju ke lokasi Koloniale Tentoonstelling. Jalur ini dikelola oleh Semarang-Joana Stoomtram Maatschappij (SJS) dan diresmikan pada 5 Mei 1914. Jalan tembus itu kemudian menjadi jalan penghubung baru yang kini dikenal sebagai Jalan Thamrin.
Baca juga:Jejak Stasiun Pertama di Indonesia
Untuk kereta api antarkota, dua stasiun besar dibangun: Stasiun Poncol dan Stasiun Tawang. Stasiun Tawang dibangun oleh Nederlandsch Indie Spoorweg Maatschappij (NIS) dan diresmikan pada 1 Juni 1914. Sementara itu, Stasiun Poncol dibangun oleh Semarang Cheribon Stoomtram Maatschappij (SCS) dan diresmikan pada 6 Agustus 1914. Keduanya menggantikan stasiun-stasiun lama, Stasiun Semarang NIS dan Stasiun Pendrikan, yang dirasa tak mampu menampung pengunjung "Koloniale Tentoonstelling."
"Koloniale Tentoonstelling" diadakan di lahan seluas 26 hektar di Kawasan Mugasari, Semarang, milik taipan kaya raya Semarang, Oei Tiong Ham. Lahan itu dibagi menjadi lima sektor yakni halaman utama berupa boulevard dan taman dengan luasan 3.750 m². Kawasan kedua ada halaman tengah berupa lapangan olahraga dan taman bergaya Perancis seluas 81.000 m².
Kawasan ketiga berisi paviliun-paviliun perwakilan wilayah di Nusantara seluas 53.500 m². Kawasan keempat adalah halaman parkir, jajaran warung, taman bertema luar angkasa bernama Luna Park dan miniatur perkebunan gula, padi, tembakau dan tanaman lokal lainnya seluas 38.750 m². Terakhir, kawasan kelima, adalah kawasan perbukitan seluas 83.000 m².
Baca juga:Oei Tiong Ham Si Raja Gula dari Semarang
Luasnya lokasi pameran itu membuat warga pribumi Semarang mengingatnya. Tentu saja dengan cara pengucapan khas lokal. Gelanggang Olah Raga (GOR) Tri Lomba Juang, bekas lokasi Koloniale Tentoonstelling, diingat sebagai Lapangan Sentiling. Mereka tak mampu terus-terusan menyebut kata Koloniale Tentoonstelling, jadi cukup 'Sentiling' saja.
Karena luasnya areal pameran, disediakan sebuah trem uap dengan lebar rel 70 cm untuk berpindah dari satu anjungan ke anjungan lain. Selain itu, ada juga layanan angkutan mobil yang disponsori Semarangsche Automobiel Maatschappij—dealer mobil terkemuka di Semarang. Pelayanan itu diadakan tiap siang dan sore hari bagi pengunjung yang ingin menikmati pemandangan dari titik tertinggi di kawasan perbukitan di area pameran setinggi 30 mdpl.
Di zaman itu, pelayanan macam itu sangat langka dan menarik pengunjung. Menurut laporan pertanggungjawaban, Gedenkboek der Koloniale Tentoonstelling (1915), sejak dibuka pada tanggal 20 Agustus hingga ditutup pada 22 November 1914, sebanyak 677.266 orang menghadiri pameran ini yang menghabiskan 114.529.526,5 gulden ini. Jumlah itu kira-kira setara dengan Rp24 triliun masa sekarang, jika harga emas 14 karat per gramnya 1,75 gulden.
Uang sebesar 114.529.526,5 gulden itu tentu saja membikin marah tokoh pergerakan macam Suwardi Suryaningrat—yang belakangan dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara. Pameran yang terselenggara dengan biaya berasal dari perut bumi dan keringat kuli Indonesia itu tentu saja dilawan.
"Koloniale Tentoonstelling" ini juga rencananya akan diramaikan dengan paviliun-paviliun dari perwakilan negara-negara sahabat, seperti Colonial Exhibition pada umumnya. Namun, Perang Dunia I di Eropa membuat beberapa duta negara-negara di Eropa tak bisa hadir. Jadi hanya perwakilan Jepang, Japan-Formosa (kini Taiwan), Cina, dan Australia (New South Wales dan Western Australia) saja yang hadir.
Jejak Arsitek Pribumi Pertama
Aboekasan Atmodirono (1860-1920) adalah arsitek yang bekerja di Departemen Pekerjaan Umum kolonial, Departement van Burgerlijke Openbare Werken (B.O.W) di Semarang. Dialah arsitek yang berperan dalam pameran akbar ini. Atmodirono merancang paviliun-paviliun di Seksi VII yang menampilkan perwakilan daerah-daerah di Nusantara, termasuk paviliun perwakilan Kesultanan Yogyakarta, Kasunanan Surakarta, Minangkabau, Bali, dan lainnya.
Harian De Preanger Bode (26/04/1913) memberitakan bagaimana Atmodirono mengawali pekerjaannya dengan merancang paviliun milik Kotapraja Semarang yang dihiasi dengan ukir-ukiran dari Jepara yang sangat indah. Di antara paviliun-paviliun di seksi VII itu, terdapat Paviliun Aceh, sebuah daerah koloni yang baru saja “ditaklukkan” pemerintah kolonial Belanda.
Paviliun jajahan baru itu memperoleh 4 medali emas, 11 perak, 3 perunggu dan piagam penghargaan sebagai Paviliun terbaik. Maka, diusulkanlah kepada Gubernur Aceh agar Paviliun tersebut dibawa kembali ke Aceh dan dijadikan sebuah Museum. Gubernur Aceh setuju.
Pada 31 Juli 1915, paviliun Aceh diresmikan sebagai museum yang berlokasi di sebelah Timur Blang Padang, Banda Aceh. Kini museum yang dikenal sebagai Museum Negeri Aceh itu menjadi satu-satunya paviliun yang tersisa dari "Koloniale Tentoonstelling" 1914.
Penulis: Muhammad Yogi Fajri
Editor: Petrik Matanasi & Maulida Sri Handayani