Menuju konten utama

Soal Uang Pengamanan Berkedok CSR, Harvey: Itu Uang Kas Sosial

Istilah CSR, kata Harvey, muncul saat dia diperiksa oleh penyidik yang kemudian istilah tersebut digunakan dalam kasus ini hingga saat ini.

Soal Uang Pengamanan Berkedok CSR, Harvey: Itu Uang Kas Sosial
Terdakwa kasus dugaan korupsi tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah tahun 2015-2022 Harvey Moeis saat menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (17/10/2024). ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/tom.

tirto.id - Terdakwa kasus dugaan korupsi di wilayah IUP PT Timah, Harvey Moeis, yang merupakan perwakilan PT Refined Bangka Tin, membantah telah mengumpulkan uang pengamanan penambangan ilegal di wilayah IUP PT Timah berkedok dana corporate social responsibility (CSR) dari smelter swasta.

Harvey mengatakan, uang 500 USD per ton timah yang dikumpulkan dari CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Bina Sentosa, PT Stanindo Inti Perkasa, dan PT Tinindo Internusa itu merupakan dana kas untuk kegiatan sosial.

"Pertama kali saya bertemu dengan para smelter, tidak pernah kami menyebut CSR, Pak. Karena CSR itu saya tahu persis adalah tanggung jawab dari masing-masing perusahaan, yang kami sepakati adalah kami mau mengumpulkan kas yang diperuntukkan untuk sosial," kata Harvey di ruang sidang Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (23/10/2024).

Hal tersebut disampaikan oleh Harvey saat menjadi saksi mahkota untuk crazy rich PIK, Helena Lim; Dirut PT Timah, Mochtar Riza Pahlevi; Dirkeu PT Timah, Emil Elmindra; dan Dirut PT Stanindo Inti Perkasa, MB Gunawan, yang juga merupakan terdakwa dalam kasus dugaan korupsi ini.

Istilah CSR, kata Harvey, muncul saat dia diperiksa oleh penyidik yang kemudian istilah tersebut digunakan dalam kasus ini hingga saat ini.

"Tapi ketika penyidikan ini, tiba-tiba muncullah istilah CSR pak, dan itu dipakai konsisten sama semua orang. Jadi saya, di BAP saya, saya udah sempat menyanggah juga, tapi istilah CSR itu dipakai sampai selesai sampai hari ini, Pak," tambahnya.

Mendengar pernyataan Harvey, jaksa penuntut umum pada Kejaksaan Agung, Zulkipli, mencecar soal keterangan dari Harvey yang menggunakan istilah CSR yang tertuang dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP).

"Iya, pak. Saya sudah menyampaikan itu kas. Tapi dari penyidik bilang CSR, ya sudah lah," ucap Harvey.

"Ya jangan begitu nanti, harus kita clear-kan, karena penyidik bisa kita hadirkan di sini. Kalau saudara dipaksa untuk menyebut istilah CSR itu dalam keterangan saudara," potong Jaksa.

Harvey mengklaim dirinya tidak dipaksa oleh penyidik dalam memberikan keterangan. Menurutnya, dia hanya mengikuti perkataan dari penyidik yang menyebut dana ini sebagai CSR.

"Tidak dipaksa, Pak. Tapi ketika penyidikan, penyidik menyampaikan bahwa semuanya bilang ini CSR. Ya, udah saya bilang ‘ya sudah kalau itu hanya istilah, ya sudah saya ikut aja’," ujarnya.

Lebih lanjut, dia mengatakan, pengumpulan dana yang dia sebut sebagai dana sosial ini dilakukan atas pesan dari Kapolda Bangka Belitung saat itu, mendiang Syaiful Zachri, yang meminta agar tetap memerhatikan kondisi lingkungan. Menurutnya, pesan itu disampaikan pada 2017.

"Betul Pak, harapannya negara bisa untung dan lain-lain, Pak. Lalu beliau bilang, 'ya sudah bagus, kerja yang baik. jangan lupa sama masyarakat dan lingkungan'. Saya sampaikan makanya ke teman-teman juga," tuturnya.

Ketika itu, kata Harvey, dia menyepakati bersama para smelter swasta lainya untuk mengumpulkan dana sosial 500 USD per ton untuk memperhatikan masyarakat.

"Makanya kami sepakati ketika itu, kami coba pakai acuan Pak, benchmark adalah 500 USD per ton. Tapi itu sifatnya adalah sukarela, tidak ada hitam di atas putih," ucapnya.

Terkait perkenalannya dengan Kapolda Babel, kata Harvey, dia diundang untuk membantu PT Timah yang saat itu sedang kekurangan bahan baku timah. Menurutnya, dia dipanggil sebagai teman dari pemilik PT Refined Bangka Tin, Suparta, yang juga menjadi terdakwa dalam kasus ini.

Harvey telah didakwa mewakili PT Refined Bangka Tin melakukan kerja sama dengan pihak PT Timah untuk pengelolaan timah secara ilegal. Dia juga disebut sebagai penyambung antara PT Timah dan para pemilik smelter swasta yang terlibat dalam kasus ini.

Harvey juga didakwa bersama Manajer PT Quantum Skyline Exchange, Helena Lim, yang diduga memperkaya diri sebesar Rp420 miliar dari dugaan korupsi tersebut dan telah merugikan negara sebesar Rp300 triliun.

Atas perbuatannya, Harvey Moeis didakwa melanggar Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 3 UU Tahun 2010 tentang tindak pidana pencucian uang (TPPU).

Baca juga artikel terkait HARVEY MOEIS atau tulisan lainnya dari Auliya Umayna Andani

tirto.id - Hukum
Reporter: Auliya Umayna Andani
Penulis: Auliya Umayna Andani
Editor: Irfan Teguh Pribadi