Menuju konten utama

Skandal Asusila Orang Belanda di Zaman Kolonial

Meski orang-orang Eropa dianggap sebagai orang-orang terhormat di Indonesia pada masa kolonial, namun ada juga orang berdarah Eropa yang bekerja dalam dunia prostitusi, atau setidaknya dunia yang tak mau dibicarakan oleh orang Eropa sendiri.

Skandal Asusila Orang Belanda di Zaman Kolonial
Mata Hari adalah nama panggung dari Margaretha Geertruida "Grietje" Zelle (7 Agustus 1876 – 15 Oktober 1917). Ia adalah seorang penari eksotis dan pelacur yang dihukum tembak mati di Perancis atas tuduhan menjadi mata-mata saat Perang Dunia I. {foto/wikipedia.org]

tirto.id - Ketika Perang Dunia I (1914-1918) berkecamuk, di dunia ini pernah ada dua matahari bagi para intelejen. Yang pertama tentulah matahari yang jadi pusat semesta. Yang lainnya adalah Mata Hari, yang kemudian diredupkan hidupnya oleh juru tembak pada 15 Oktober 1917 di pinggir kota Paris.

Mata Hari adalah nama panggung dari penari erotis merangkap pekerja seks kelas atas Eropa bernama asli Margaretha Gertruida Zelle. Mata Hari, yang kemudian meregang nyawa di tangan algojo tembak Perancis itu karena tuduhan spionase yang merugikan Perancis, adalah perempuan berkebangsaan Belanda.

Sebelum menjadi Matahari dengan tarian erotisnya, Margaretha Gertruida Zelle adalah istri dari Kapten Rudolp McLeod. Dia dan suaminya pernah tinggal satu dekade di Indonesia.Mereka bercerai setelah anak mereka meninggal. Selama di Indonesia, Matahari mulai menari di kelompok tari tradisional.

Setelah bercerai, seperti digambarkan dalam novel Namaku Mata Hari karya Remy Sylado, Margaretha berganti-ganti pasangan. Ia kemudian kembali ke Eropa, persisnya berada di Paris sejak 1903. Di sana, ia menjadi penari dan pekerja seks kelas atas, meski Mata Hari lebih dikenal sebagai mata-mata terkenal dunia.

Profesinya sebagai penari dan posisinya sebagai pelacur kelas atas menjadi kekuatannya sebagai mata-mata. Dia biasa berkencan dengan golongan aristokrat atau pejabat. Dari kencan-kencan itu, info intelijen bisa dikorek. Namun, kiprahnya sebagai agen ganda ketahuan dan segera disingkirkan.

Kisah pelacur yang dibunuh juga terjadi di Indonesia. Jika Mata Hari karena jadi mata-mata, maka Fientje de Feniks dibunuh oleh pelanggan setia yang cemburu, Willem Fredrick Gemsar Brinkman. Sang pelanggan, salah satu pria terpandang di Betawi itu, tidak terima perempuan Indo berumur 20 tahun yang hendak dijadikan nyai-nya itu masih berkencan dengan laki-laki lain.

Mayat Fientje yang membusuk ditemukan mengapung di sekitar Pintu Air pada 17 Mei 1912. Polisi pun melakukan penyelidikan. “Berbulan-bulan berikutnya publik yang keranjingan cerita seks, sensasi, dan kekerasan minta diladeni berita dengan pemberitaan mengenai pembunuhan itu,” tulis Rosihan dalam Sejarah Kecil La Petite Histoire Indonesia (2004).

Semula Brinkman menolak tuduhan bahwa dia adalah pembunuhnya. Tapi rupanya Rosna, kawan Fientje sesama pelacur di rumah bordil milik germo Oemar, menyaksikan pencekikan itu. Meski dituding berbohong oleh Brinkman, Rosna akhirnya bilang: “Saya seorang perempuan, jadi saya penakut, tapi saya katakan sekali lagi laki-laki itu yang telah melakukan pembunuhan.”

Rosna pun menjadi saksi di pengadilan yang mengantarkan Brinkman ke tiang gantungan. Namun sebelum digantung, Brinkman bunuh diri terlebih dahulu, yang membuat Siloen rugi karena tak jadi menerima upah karena Brinkman batal digantung. Padahal Siloen sudah menghabiskan uang untuk mengadakan selamatan yang biasa dilakukan sebelum eksekusi terpidana di tiang gantungan.

Seperti halnya Mata Hari, Fientje de Feniks pun menjadi kisah yang ditulis berulang kali. Mata Hari ditulis kisahnya dalam Namaku Mata Hari (Remy Sylado), Sang Penari (Dukut Imam Widodo), De Moord op Matahari (S. Wagenaar), Matahari Courtesan and Spy (Majoor Coulson), Matahari (J.C. Brokken), dan The Fatal Lover (Juli Wheelwright). Selain novel, kisah Mata Hari juga diadaptasi menjadi film dan serial televisi.

Sementara soal Fientje de Feniks, Tan Boen Kim merilis novelnya berjudul Nona Fientje de Feniks pada 1915, tiga tahun setelah Fientje terbunuh. Selain itu kisah Fientje juga ditulis oleh Pieter van Zonneveld yang menulis De Moord op Fientje de Feniks: een Indische Tragedie (1992).

Dalam karya Pramoedya Ananta Toer, sosok Fientje hadir dalam Rumah Kaca. Namun novel ini bukan tentang seorang pelacur, melainkan tentang seorang perwira polisi bernama Jacques Pangemanann yang sering menghabiskan waktu bersama seorang pelacur. Dalam novel Pram tidak ada nama Fientje, melainkan Rientje de Roo. Dalam novel itu, suatu kali Rientje tidak datang kepada Pangemanan karena ia ternyata terbunuh.

Prostitusi yang melibatkan perempuan-perempuan Indo-Belanda bukan hal baru di awal abad ke-20. Hendrik Naimeijer, dalam Batavia Masyarakat Kolonial Abad XVII (2012), mencatat beberapa pelacur berdarah campuran Portugis pada abad XVII. Mereka adalah Adriana Augustijn, Anna de Rommer, Dominga Metayeel, dan Lysbeth Jansz.

Ayah-ayah mereka Portugis sementara ibu mereka adalah perempuan-perempuan pribumi. Dalam bukunya Bandung Kilas Peristiwa di Mata Filatelis Sebuah Wisata Sejarah (2006), Sudarsono Katam menggambarkan eksistensi pekerja seks keturunan Belanda di Bandung pada era kolonial.

Infografik jejak cabul perempuan

Pelacuran, yang mau tak mau selalu ada di Hindia Belanda, juga menjadi masalah serius. Banyak pegawai kolonial Belanda jika bicara soal perzinahan akan satu pandangan dengan Gubernur Jenderal Jan Pieterzon Coen yang sama-sama moralis yang benci pelacuran dan perzinahan. Gubernur Jenderal Coen pernah menghukum putri angkatnya, Sarah Specx atas tuduhan berzinah dengan Pieter J. Cortenhoeff, di Balai Kota Betawi di tahun 1629. Sarah Specx adalah putri dari pejabat VOC lain dari hasil hubungannya dengan seorang perempuan Jepang.

Banyak yang menduga pemerintah kolonial punya andil dalam menyensor cerita novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis. Selentingan terdengar bahwa dalam versi asli Salah Asuhan, Corrie du Buus si perempuan Belanda kesayangan Hanafi itu meninggal karena penyakit kelamin. Dalam novel yang kemudian terbit, kisah Corrie yang tak meninggal karena penyakit kelamin adalah demi menjaga citra orang-orang Belanda saat itu.

Di dunia nyata, pejabat kolonial Belanda di Palembang juga berusaha membersihkan citra orang-orang Belanda dari prostitusi. Di tahun 1906, Asisten Residen Palembang van Mark melaporkan kehidupan seksual seorang perempuan muda 24 tahun bernama Henriette Anderson alias Nona Jet.

Menurut catatan asisten residen, dulunya Nona Jet datang ke Plaju dan tinggal seatap dengan Sersan Nachtzijl. Mereka hidup di sebuah tangsi militer di Plaju, seberang kota Palembang. Suatu hari, Sersan itu berniat untuk menikahi Nona Jet, namun Nona Jet menolak dan minggat dari tangsi. Kemudian dia tinggal di Perkebunan Karang Ringin, Musi Ilir.

Nona Jet tinggal “di Jalan Sajangan, di kawasan 16 Ilir Palembang. Dia sudah memulai hidup cabul. Dan lebih buruk setelah Nachtzijl pergi ke Eropa,” lapor Asisten Residen Van Mark kepada Residen Palembang pada 27 Juni 1906. Mark dan beberapa orang lainnya menilai Nona Jet melakukan prostitusi terselubung. Banyak laki-laki pernah menginap di rumahnya. Sang Nona pernah juga jadi perempuan simpanan seorang Tionghoa kaya di sekitar Palembang.

Suatu kali, Asisten Residen Palembang, Van Mark, memberi surat perintah pada Jet untuk memeriksakan diri ke dokter militer. Dia juga diberi uang untuk berobat ke Jakarta agar menjauhi Palembang. Nona Jet rupanya tersinggung dan tidak terima seolah dirinya dituduh sebagai pelacur. Maka, ia pun mengirim surat keberatannya kepada Residen Palembang.

Baca juga artikel terkait PELACURAN atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani