tirto.id - Hari cerah, dari balik panggung sederhana yang punya hajat, Diana Sastra melenggang seraya menyapa hadirin yang tengah menikmati hidangan. Penonton lainnya berdesakan di sekitar tenda dan bilik pagar sang tuan rumah.
Mengenakan topi hitam, blus putih berbalut hitam, Diana langsung menghibur diiringi tarling dari organ tunggal yang ia kelola sendiri.
Remang-remang sinar lampu wayah sore
Lilin tugel ganti surupe srengenge
Para penonton mulai naik panggung saat lagu “Remang-remang” mulai dinyanyikan. Mereka berjoget sembari membagikan saweran dengan pecahan ribuan hingga lembaran ratusan ribu. Diana lalu menyebut nama-nama penyawer untuk memancing penonton lain naik ke atas panggung.
"Dia sosok penyanyi komplet, perpaduan antara suara indah, gaya panggung eksentrik, musik yang canggih dan bodoran (lawakan) yang sangat lucu," tutur Abdul Rosyidi dalam salah satu kolomnya di Alif.
Diana seorang perfeksionis yang menghargai profesionalisme dan memperhatikan detail terkecil dalam penampilannya. Dia menggunakan mikrofon khusus berwarna emas, tidak bisa dipinjamkan sebagai penekanan akan dedikasinya pada seni tarling.
Pada 2008, Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dibuat kesengsem sama lagu tersebut. Saat pertama kali mendengarnya di radio Muara FM Jakarta, tiba-tiba di tengah lagu muncul iklan. Ajudannya lantas menelepon stasiun radio dan meminta kembali memutarnya secara utuh.
Setelah itu Diana diminta untuk menyanyikan langsung di hadapan Gus Dur yang kemudian menerima kepingan lagu dalam format MP3 yang diberikan Diana. Saat bepergian, lagu "Remang-remang" kerap diputar Gus Dur.
Lagu yang diciptakan Papa Rama ini mengusung tema keseharian Pantai Utara (Pantura) yang romantis dengan gadis-gadis manis yang sedang bergelut dalam perjuangan hidup.
Prostitusi di Pantura
Lagu "Remang-remang" berkisah tentang seorang perempuan yang berprofesi sebagai Pekerja Seks Komersil (PSK) tengah menunggu laki-laki yang tak kunjung muncul. Menggambarkan rumitnya hubungan dan kesulitan yang dihadapi perempuan itu yang menjadi tulang punggung keluarga.
Prostitusi di Jalur Pantura merupakan fenomena yang kompleks dan multidimensi. Sejarahnya dimulai pada masa penjajahan Belanda terutama saat pembangunan Jalan Raya Pos (De Grote Postweg) yang digagas Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels.
Jalan ini dibangun untuk memodernisasi Jawa terutama di bidang pemerintahan dan pertahanan. Ia menghubungkan sejumlah kota, dari Anyer hingga Panarukan. Pembangunannya dimulai pada 1808 dan selesai tahun 1811.
Jalan Raya Pos yang merentang sekitar 1000 kilometer melintasi Pantura dan menjadi jalan utama untuk transportasi barang dan orang selama masa kolonial.
Sepanjang jalur Pantura terdapat beberapa pelabuhan penting sejak masa kerajaan Kahuripan di bawah kendali Raja Airlangga pada abad ke-14 hingga era kolonial Belanda.
Pelabuhan Tuban, Pelabuhan Tanjung Emas, hingga Pelabuhan Tanjung Priok menjadi area sibuk perdagangan rempah-rempah antarbenua.
Pada zaman Hindia Belanda, para pelaut Eropa yang berlabuh di pelabuhan-pelabuhan sepanjang jalur Pantura membutuhkan hiburan, termasuk kenikmatan seksual, maka tumbuhlah praktik prostitusi.
Pada dekade 1800-an, prostitusi di Pantura kian meluas seiring perkembangan populasi dan dibukanya jalur kereta api. Industri prostitusi pun kian semarak dan terbuka di tempat-tempat seperti hotel, karaoke, dan salon-salon kecantikan.
Dalam sejarah, Pantura menjadi gudang, kantor dagang, dan pabrik bagi para pengusaha perkebunan. Pantura tumbuh menjadi kawasan industri dengan pabrik-pabriknya yang menyebar di sepanjang jalan.
Seturut Endah Sri Hartatik dalam Dua Abad Jalan Raya Pantura: Sejak Era Kerajaan Islam hingga Orde Baru (2018:37), pada 1970 kendaraan pribadi seperti mobil dan motor mulai menjejal sepanjang Pantura untuk mengangkut berbagai layanan barang.
"Kota-kota yang dilewati oleh jalan raya tersebut membentuk simpul-simpul pertumbuhan ekonomi," sambung Endah.
Pada 2020, Kementerian Perindustrian mencatat terdapat 70 kawasan industri potensial di sepanjang jalur Pantai Utara Jawa. Untuk mendukung akses industri tersebut, jalur Pantura mengalami beberapa pelebaran jalan hingga empat lajur.
"Namun, pelebaran jalan Pantura juga belum mewadahi pejalan kaki, pengguna sepeda, becak, dan sepeda motor. Mereka dipaksa bertarung dengan bus dan truk di jalan. Kondisi jalan itu pun tidak terlalu mulus, berakar pada buruknya drainase jalan," tutur tim ekspedisi Kompas dalam buku 200 Tahun Jalan Raya Pos: Menyusuri Jejak Daendels “Anyer Panarukan” (2020:51).
Narasi yang berkembang kemudian menjadikan kawasan ini sebagai jalur macet, bising, pengap, dan keras, termasuk pungutan liar, premanisme, dan tentu saja pelacuran.
Hingga dekade 1980-an, praktiknya mulai menyasar warung-warung di pinggir jalan yang menyediakan prostitusi instan. Para pengemudi truk dari kawasan industri yang suntuk dan kelelahan sepanjang jalan sering kali mampir di warung untuk melampiaskan hasrat seksual.
Lalu, meningkatnya jumlah Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang bekerja ke luar negeri, khususnya Jazirah Arab, membawa perombakan strata ekonomi dan membangun budaya baru di Pantura. Para suami yang ditinggal istrinya merantau menjadi pengunjung warung-warung itu.
Lahir dari Kerasnya Persaingan Ekonomi
Ketika populasi bertambah, masalah selanjutnya ialah dampak sosial, seperti persaingan pendatang dengan penduduk setempat dalam hal kesempatan kerja. Efek jangka panjangnya melahirkan kecemburuan sosial sebab sering kali penduduk lokal kalah bersaing dengan para pendatang.
Lalu anggapan akan pendatang yang membawa budaya lain dapat menyebabkan konflik dan benturan-benturan yang akhirnya melahirkan kriminalitas.
Prostitusi di jalur Pantura tak bisa dipungkiri menjamur salah satunya karena meningkatnya persaingan ekonomi, pengangguran, pendidikan yang rendah, dan budaya patriarki.
Selain itu, kehilangan penghasilan akibat anomali cuaca dan banjir rob mendorong beberapa keluarga nelayan di Subang hingga Indramayu memilih prostitusi sebagai jalan keluar ekstrem, seperti yang dihadapi perempuan bernama Yuli.
Perempuan asal Subang itu bercita-cita membuka salon atau restoran kecil-kecilan di Jakarta. Namun, hidupnya menjadi lebih buruk ketika bisnis perikanan ayahnya menurun, menyebabkan kesulitan keuangan bagi keluarganya.
"Kita, kan, punya mimpi ya. Nah Yuli sama kayak lainnya, juga ingin mewujudkan mimpi-mimpi itu," ucapnya kepada Vice Indonesia.
Dalam keadaan terdesak, ia rela menikah dengan pria yang nyaris tidak dikenalnya demi melunasi hutang keluarga. Pernikahannya ternyata penuh kekerasan, Yuli akhirnya memutuskan untuk menceraikan suaminya.
Dia kembali ke rumah orang tuanya lalu menerima tawaran untuk bekerja di sebuah kafe yang juga beroperasi sebagai rumah bordil.
Prostitusi di jalur Pantura di Subang, Jawa Barat, termasuk prostitusi rumahan, masih marak meski sudah ada upaya penertiban. Beberapa wanita penghibur atau PSK bahkan menggantungkan hidup mereka hanya dari praktik prostitusi.
Praktik ini sering dilakukan di rumah-rumah warga dan melibatkan makelar atau broker sebagai perantara. PSK rumahan biasanya memasang tarif antara 200 ribu hingga 500 ribu rupiah.
Prostitusi di Pantura juga melibatkan gadis remaja. Upaya penertiban dan penyuluhan para pekerja seks komersial belum membuahkan hasil, namun upaya mencegah penyebaran HIV/AIDS telah dilakukan.
Praktik prostitusi di Pantura sudah lama menjadi bagian dari kehidupan warga, dan kemiskinan sering menjadi alasan bagi wanita untuk terjerumus ke dalamnya.
Fenomena prostitusi di Pantura semakin memprihatinkan ketika melibatkan anak-anak di bawah umur. Kemiskinan dan kurangnya pendidikan menjadi penyebab. Mereka menjadi korban perdagangan manusia yang dilakukan para pelaku bisnis prostitusi.
Selain di Subang, Alas Roban dan Panundan di Batang, Jawa Tengah, juga menjadi lokasi prostitusi yang populer, terutama bagi pengemudi truk yang kelelahan karena perjalanan jauh.
Area tersebut menawarkan berbagai layanan, termasuk hiburan plus-plus dengan biaya tertentu, berkisar antara 150-300 ribu rupiah per check-in. Prostitusi di wilayah ini telah berkembang selama tiga dekade terakhir.
Prostitusi juga merebak di daerah-daerah lain seperti Desa Maribaya di Tegal dan Kecamatan Lasem di Rembang.
Prostitusi membawa dampak yang signifikan bagi masyarakat di jalur Pantura. Di sisi negatif, ia menyebabkan penyebaran penyakit menular seksual, kriminalitas, dan kekerasan terhadap perempuan. Di sisi lain, prostitusi menjadi sumber mata pencaharian bagi banyak orang, terutama perempuan dari keluarga kurang mampu.
Sebagaimana digambarkan dalam "Remang-remang" tentang pergulatan emosional seorang wanita yang menunggu di senja hari, lagu ini menangkap kompleksitas dan tantangan dalam mencari cinta sejati di tengah norma-norma masyarakat, diakhiri dengan lirik yang membuat kita tertegun akan kerinduan dan air mata kesulitan hidup.
Jare seneng bisa mbantuni wong tua / Katanya bahagia bisa membantu orang tua
Kadang nangis urip mengkenen sampe kapan? / Kadang menangis hidup begini sampai kapan?
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi