Menuju konten utama

Situasi Myanmar: Biksu Turun ke Jalan Menentang Junta Militer

Myanmar masih terus bergejolak sejak junta militer melakukan kudeta pada awal Februari lalu.

Situasi Myanmar: Biksu Turun ke Jalan Menentang Junta Militer
Warga berpartisipasi dalam sebuah protes terhadap kup militer di Yangon, Myanmar, Sabtu (20/2/2021). ANTARA FOTO/REUTERS/Stringer/hp/cfo

tirto.id - Puluhan biksu Buddha turun ke jalan untuk melawan junta militer yang telah mengambil alih negara itu sejak awal Februari lalu. Para biksu itu melakukan demonstrasi di kota terbesar kedua Myanmar sebagai peringatan 14 tahun protes massa yang dipimpin pendeta sebelumnya.

France 24 melaporkan, menurut sejarah, biksu di Myanmar yang mayoritas beragama Buddha termasuk dalam golongan otoritas moralitas tertinggi, mereka mampu mengorganisir komunitas dan memobilisasi oposisi terhadap rezim junta militer.

Namun, kudeta terhadap pemerintahan sipil itu telah membagi sikap para biksu menjadi dua bagian. Beberapa ulama terkemuka memberikan restu kepada para jenderal, sedangkan yang lainnya ikut dalam barisan para pengunjuk rasa.

Pada hari Sabtu lalu, sekitar puluhan biksu berjubah oranye terang dan merah tua berbaris melewati jalan-jalan Mandalay dengan bendera dan spanduk sembari melemparkan pita warna-warni ke udara.

"Para biksu yang mencintai kebenaran berdiri di pihak orang-orang," kata seorang pemimpin protes kepada AFP.

Dalam demonstrasi itu, para biksu menuntut pembebasan terhadap tahanan politik termasuk anggota partai politik Aung San Suu Kyi. Beberapa biksu bahkan membawa mangkuk sedekah terbalik (biasanya digunakan untuk mengumpulkan sumbangan makanan dari masyarakat) sebagai simbol protes untuk menolak rezim junta militer yang berkuasa di Myanmar.

"Kami harus mengambil risiko [...] untuk memprotes karena kami dapat ditangkap atau ditembak kapan saja. Kami tidak aman untuk tinggal di biara-biara kami lagi," kata seorang biarawan berusia 35 tahun kepada AFP.

Konflik Myanmar dan Junta Militer

Konflik di Myanmar tak mau mereda sejak junta militer melakukan kudeta pada awal Februari lalu. Dalam berita baru-baru ini, bentrok antara pasukan perlawan bersenjata dengan junta militer telah mendorong gelombang evakuasi baru di wilayah barat laut.

Aljazeera melaporkan, Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Michelle Bachelet telah memperingatkan tentang bencana hak asasi manusia di bawah kekuasaan militer di Myanmar.

Ia pun mendesak masyarakat internasional untuk segera mencegah konflik sebelum bertambah semakin buruk. “Konsekuensi nasional sangat mengerikan dan tragis, konsekuensi regional juga bisa sangat besar,” kata Bachelet dalam sebuah pernyataan pada hari Kamis, 23 September 2021.

“Masyarakat internasional harus melipatgandakan upayanya untuk memulihkan demokrasi dan mencegah konflik yang lebih luas sebelum terlambat.”

Sementara diwartakan Reuters, sekitar 10.000 warga tinggal di Thanlang di Negara Bagian Chin, tetapi sebagian besar dari jumlah itu telah pergi dan mencari perlindungan di daerah sekitarnya termasuk di India. Informasi itu disampaikan oleh pemimpin masyarakat.

Sementara itu, kepala kelompok masyarakat sipil di negara bagian Mizoram, India mengatakan, sekitar 5.500 orang di Myanmar sudah datang di dua distrik selama seminggu terakhir. Hal itu mereka lakukan demi melarikan diri dari tindakan keras militer.

Myanmar berada dalam konflik sejak pemerintah sipil yang dipimpin Aung San Suu Kyi digulingkan pada awal Februari lalu sehingga memicu kemarahan nasional, pemogokan, protes, bahkan muncul pemerintah bayangan yang didominasi anggota parlemen Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD). Mereka mendeklarasikan perang melawan junta militer.

Baca juga artikel terkait KABAR MYANMAR atau tulisan lainnya dari Alexander Haryanto

tirto.id - Politik
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Iswara N Raditya